Sukses

Wanita Ini Buat Es Krim dari Plastik Daur Ulang, Jadi Perdebatan Netizen

Es krim vanila yang dibuat belum pernah dicicipi seorang pun.

Liputan6.com, Jakarta Kemajuan teknologi saat ini memang cukup menguntungkan banyak masyarakat. Bahkan, dengan teknologi yang ada juga dapat dimanfaatkan oleh banyak orang untuk membuat kreasi makanan baru.

Begitu pula yang dilakukan oleh pria asal Inggris yang bernama Eleonora Ortolani. Dilansir Liputan6.com dari Oddity Central, Rabu (4/10/2023), Eleonora diketahui mengklaim sebagai orang pertama yang membuat es krim berbahan plastik daur ulang.

Tentu saja, klaim yang dibuat oleh Eleonora ini menjadi sorotan netizen. Terlebih, dirinya merupakan seorang desainer yang kerap mengerjakan berbagai proyek seni. Proyek pembuatan es krim dari plastik ini disebut pula masih menjadi bagian dari proyek yang dibuat di Central Saint Martins Design School.

Eleonora Ortolani disebut mulai menjajal membuat sesuatu yang belum pernah dibuat oleh orang lain. Dirinya pun menjajal ide untuk mengubah plastik daur ulang menjadi es krim rasa vanila. Aksi yang dilakukan oleh Elenora ini pun mencuri perhatian banyak netizen di media sosial.

 

2 dari 4 halaman

Es krim rasa vanila bernama Guilty Flavours

Eleonora Ortolani diketahui menjajal membuat es krim dari plastik daur ulang berdasarkan rasa frustasinya mengenai cara untuk mendaur ulang plastik secara umum. Ia menyebutkan jika plastik daur ulang dibuat menjadi produk yang tidak dapat didaur ilang seperti dicampur resin atau lainnya merupakan hal yang percuma. Pasalnya, ia menyebutkan jika cara tersebut justru bisa menimbulkan permasalahan sampah baru di kemudian hari.

Dari rasa frustasi tersebut, dirinya pun mendengar jika ada spesies cacing yang dapat mencerna kantong plastik. Hal ini pun membuatnya berpikir mengenai adakah cara bagi manusia untuk memakan plastik, memecahnya dan menghilangkannya untuk selamanya.

“Saya tidak pernah membayangkan bisa membuat makanan dari plastik. Dan sulit bagi saya untuk menemukan ilmuwan yang benar-benar tertarik bekerja sama dengan saya dalam hal itu.” ujarnya seperti yang dilansir Liputan6.com dari oddity Central, Rabu (4/10/2023).

3 dari 4 halaman

Bekerjasama dengan ilmuwan pangan

Dari pemikiran tersebut, Eleonora pun bertemu dengan seorang ilmuwan pangan dari London Metropolitan University dan peneliti Joanna Sadler dari Universitas Edinburgh. Dengan bantuan kedua peneliti tersebut, Eleonora Ortolani mencoba untuk mensintesis vanilin sintesis dari plastik.

Vanili sintesis ini diproduksi dari bahan mentahyang sama dengan plastik. Ketiganya pun hanya membutuhkan enzim untuk memecah ikatan super kuat antar molekul dalam struktur plastik. Serta enzim lainnya untuk mensitesis molekuk-molekul menjadi vanili.

"Pada saat enzim pertama memutus rantai, ia bukan lagi plastik, bukan lagi polimer. Itu monomer. Itu elemennya. Mikroplastik terlihat seperti sebuah molekul, tapi sebenarnya itu adalah potongan plastik yang sangat kecil dan tidak pecah." lanjutnya.

4 dari 4 halaman

Belum pernah dicicipi

Zat yang dihasilkan dari plastik daur ulang tersebut berhasil menyerupai vanili. Akan tetapi ia dan kedua penili lainnya belum mencicipinya. Hal ini karena proses tersebut menjadi yang pertama di dunia hingga dianggap sebagai bahan baru oleh badan keamanan pangan. Sehingga, tidak seorang pun yang boleh memakannya sampai benar-benar dipelajadi dan dianggap aman oleh pemerintah.

“Jika saya memberi tahu Anda ‘bahan dalam es krim itu berasal dari sampah plastik’, Anda akan benar-benar muak dengan hal itu," ujar Eleonora.

Desainer muda ini pun mengungkapkan jika membuat plastik daur ulang sebagai es krim menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi sampah lingkungan. Bahkan, hal tersebut bisa menyelamatkan masa depan mengenai permasalahan sampah yang tak kunjung usai di berbagai belahan dunia.

“Tetapi ketika Anda memahami bahwa pada dasarnya segala sesuatu adalah bagian dari ekosistem yang sama dan kita bahkan dapat menganggap plastik sebagai bagian dari ekosistem yang sama, maka hal ini sangat masuk akal. Kita secara drastis harus mengubah cara kita makan dan cara kita memandang makanan. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus memandang masa depan pangan sebagai segala sesuatu yang bersifat sintetis atau melalui proses super, namun bagi saya ini hanya masalah kompromi.” lanjutnya.