Sukses

Jogja Darurat Sampah: Gunungan Sampah Hiasi Kota, Bencana di Depan Mata

Ancaman bencana akibat darurat sampah Yogyakarta sudah di depan mata.

Liputan6.com, Yogyakarta Seorang pengendara motor matic tampak menepi dengan kantong sampah di dek motornya. Yudi segera meraih dan melemparkan sampah itu ke tengah gunungan sampah di depannya. Tak selang satu menit, datang dua pengendara motor yang melakukan hal sama.

"Dilempar ke tengah, Pak," ujar Yudi seraya menarik kantong sampah agar tidak berada di peinggir jalan.

Pagi itu, Kamis (28/9/2023) adalah hari libur karena bertepatan dengan Maulid Nabi, Depo Sampah Pengok di Demangan, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta kembali dibuka. Sehari sebelumnya, depo ini tutup mengikuti aturan pemerintah daerah, tiga hari buka, satu hari tutup.

Baru sehari tutup, sampah sudah membludak, menggunung setinggi hampir 4 meter dan tumpah hingga satu meter ke bahu jalan. Yudi merupakan salah satu penarik gerobak sampah yang membantu mengatasi sampah agar tak meluber ke tengah jalan.

Penjaga Depo Pengkok, Rukijo bersama dua kawannya, Bejo dan Ismail telah menyaksikan "gunungan sampah" di depo yang mereka jaga selama dua bulan terakhir ini. Sebuah gubuk sederhana di seberang depo jadi pos pemantauan mereka.

Setiap hari mereka bekerja bahu-membahu, ada yang mengatur arus lalu lintas, menyerok sampah agar tak tumpah ke jalan, hingga mengumpulkan sampah yang masih punya nilai ekonomi. Bau kecut sampah tak mengusik hidung mereka.

Aktivitas buang sampah di Depo Pengok dari pukul 06.00 hingga 12 siang sering menimbulkan kemacetan karena berada di pinggir jalan yang ramai lalu lintas, terutama pagi hari. Penyebabnya adalah para pengendara motor yang berhenti untuk membuang sampah dan tumpahan sampah hingga ke jalan yang tidak begitu lebar.

"Ini masih belum seberapa, kalau bukan hari libur, sering macet, orang berangkat kerja atau antar sekolah, pasti mampir buang sampah di sini," ujar Rukijo.

2 dari 3 halaman

Tutupnya TPST Piyungan

Depo Pengok adalah salah satu tempat pembuangan sampah sementara, sebelum diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Semenjak Piyungan ditutup pada 23 Juli - 5 September 2023 dan diikuti dengan pembatasan pembuangan, para penarik gerobak sampah tak bisa mengambil sampah setiap hari. Alhasil, warga memilih membuang sampah sendiri.

Rukijo mengatakan Depo Pengok mendapat kuota 8 ton sampah untuk dibuang ke TPST Piyungan selama tiga hari. Kuota ini lebih kecil dari volume sampah di Depo Pengok. Akhirnya hanya sampah di bagian depan saja yang terangkut. Sisanya menggunung di depo itu.

"Kalau kita berdiri di atas situ, rasanya ada panas dari bawah, matang sampahnya," ujar Rukijo menunjuk pucuk gunung sampah.

Sampah plastik, sayuran, sisa makanan, bangkai hewan, hingga perkakas rumah tangga, semua campur menjadi satu di depo. Sesekali Rukijo dan kawan-kawannya mengambil botol-botol bekas dan galon sekali pakai dari tumpukan sampah. Hari itu mereka juga menemukan teflon dan sepatu.

"Memang (warga) sudah disarankan memilah, tapi sudah dipilah, sampai sini dicampur lagi, kan percuma. "Harusnya ada fasilitasnya, seperti truk pengangkutnya yang dibedakan," tambahnya.

Permasalah sampah kembali menghantui warga Yogyakarta sejak Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menutup Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan pada 23 Juli sampai 5 September 2023. Alasannya sudah over kapasitas. Piyungan menampung sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DIY (2022) menyebutkan TPST Piyungan memiliki daya tampung hingga 780 ton. Data 2023 mencatat tiap hari volume sampah yang masuk ke TPST Piyungan mencapai 1.231,55 ton. Sementara kapasitas pengolahan hanya 756 ton per hari.

Usai dibuka pada 6 September 2023, TPST Piyungan dibatasi hanya bisa menerima sampah sekira 300 ton per hari. Pembagiannya, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman masing-masing mendapat kuota 135 ton dan Kabupaten Bantul, 30 ton.

Pembatasan ini tidak cukup menampung sampah dari Kota Yogyakarta saja. Setiap hari warga lokal dan wisatawan bisa menghasilkan sampah hingga 0,8 kg, sehingga total produksi sampah bisa mencapai sekira 300 ton.

Akibatnya ada “gunungan sampah” di berbagai penjuru kota dan di sejumlah depo, seperti Depo Pengok. Tak sampai 1 kilometer dari depo ini, ada tumpukan sampah yang dibuang masyarakat secara liar. Padahal di situ ada spanduk larangan dan pasal-pasal sanksinya, tetapi tidak dihiraukan.

Akar persoalan sampah di Provinsi DIY yang menyebabkan TPST Piyungan cepat penuh adalah tidak ada pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Pemerintah juga tidak menyediakan fasilitas yang memadai sehingga masyarakat bisa memilah sampah.

3 dari 3 halaman

Gas metana penyebab krisis iklim

Sekjen Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI), Yuningtyas Setyawati (Tyas) mengatakan jika tak segera diatasi, permasalahan sampah di Yogyakarta akan menimbulkan bencana ekologis berkelanjutan. Ia juga menjelaskan model penumpukan sampah yang tidak terpilah di TPST Piyungan itu memendam risiko yang besar.

Sampah yang dibiarkan menumpuk dan menggunung lama kelamaan akan menghasilkan gas metana. Gas ini akan mudah terbakar jika ada pantikan api seperti kebakaran TPA Sarimukti di Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Bahkan bisa meledak seperti tragedi TPA Leuwigajah pada 2005 silam.

"Gas metan itu kalau dibiarkan begitu saja, bisa meledak," ujarnya saat ditemui pada Selasa (26/9/2023).

Selain itu, gas metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim. Di atmosfer, gas ini menahan panas matahari yang seharusnya dilepaskan ke luar angkasa. Akibatnya, suhu bumi meningkat dan terjadi pemanasan global, sumber segala bencana.

The Climate and Clean Air Coalition menyatakan metana memiliki dampak pemanasan 86 kali lebih kuat dibandingkan CO2. Pada 2021, terjadi peningkatan emisi metana tahunan terbesar sejak pemantauan global dimulai empat dekade lalu. Jumlah metana di atmosfer diperkirakan akan meningkat hingga 13% pada 2030.

Lebih dari 60 persen emisi metana berasal dari aktivitas manusia. Pembusukan sampah organik di tempat pembuangan sampah yang tidak terpilah, menyumbang 20 persen.

Tumpukan sampah di TPST Piyungan juga menghasilkan air lindi yang bisa membanjiri pemukiman warga ketika musim hujan tiba. Pada Desember 2021 misalnya, air lindi setinggi 30 cm menerjang pemukiman di bawahnya. Air lindi juga masuk ke saluran air (sungai) yang airnya masuk ke persawahan.

Kepala Balai Pengelolaan Sampah Dinas Lingkugan Hidup dan Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DLHK Provinsi DIY), Aris Prasena mengungkapkan pihaknya sudah memasang pipa-pipa khusus untuk menangkap gas metana dan air lindi tersebut.

"Gas metana itu ditangkap dengan pipa-pipa dan dibakar supaya tidak meledak. Minimal dia tidak terjebak dalam timbunan sampah," ujar Aris, Kamis (21/9/2023).

Sementara itu Tyas menegaskan pemerintah daerah harus bertindak dan memikirkan manajemen sampah yang bagus agar tidak menimbulkan berbagai bencana. Potensi bencana tak hanya terjadi di sekitar TPA, tapi juga di hulu tempat sampah-sampah bermula.

"Pencemaran lingkungan juga terjadi di hulu (masyarakat) karena pembuangan sampah tidak bisa difasilitasi," ujarnya.

Akhirnya masyarakat membuang sampah sembarangan atau membakarnya yang bisa menimbulkan bencana ekologis. Polusi udara dan pencemaran lingkungan menjadi bentuk bencana yang kini mulai dirasakan warga Yogyakarta.

Bersambung