Liputan6.com, Jakarta Fenomena pernikahan di bawah umur di Indonesia cukup banyak terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan yang terbaru adalah pernikahan anak usia dini yang masih belum lulus SD di Madura, Jawa Timur. Hal tersebut lantas menjadi pertanyaan publik tentang bagaimana pandangan Islam dan hukumnya di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Menurut ajaran Islam, pernikahan di bawah umur menjadi perdebatan banyak ulama. Sebab ada yang pro dan kontra akan fenomena yang sedang terjadi di masyarakat ini, sehingga masalah pernikahan di bawah umur membelah pendapat para ulama.
Sementara menurut hukum di Indonesia, pernikahan di bawah umur sangat tidak dianjurkan mengingat banyaknya dampak negatif yang akan ditimbulkan, mulai dari masalah kesehatan, ekonomi, hingga kesiapan mental.
Berikut Liputan6.com ulas mengenai pernikahan di bawah umur menurut Islam dan hukum di Indonesia yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (2/11/2023).
Batas Usia Pernikahan dalam Hukum di Indonesia
Ketentuan terkait pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang Undang ini menjadi harapan terkait berbagai upaya pencegahan atau penghapusan perkawinan usia anak di Indonesia. Perubahan mendasar regulasi ini yakni adanya perubahan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai.
Selain itu, seseorang yang belum menginjak usia 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tuanya untuk melangsungkan pernikahan. Mengacu dengan ketentuan tersebut, hukum pernikahan di bawah umur di Indonesia pada dasarnya tidak memperbolehkan. Hal ini mengingat banyaknya dampak negatif yang akan ditimbulkan, mulai dari masalah kesehatan, ekonomi, hingga kesiapan mental.
Advertisement
Dispensasi Umur Pernikahan
Dikutip dari laman hukumonline.com, Meski pada dasarnya tidak dibolehkan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun sebagai syarat menikah, yaitu dengan cara orang tua pihak pria dan/atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung penyebab pernikahan dini yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan.
Permohonan dispensasi tersebut diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Sanksi Bagi Pelaku Perkawinan di Bawah Umur
Mengutip dari laman Kemenag, menurut Dirjen Bimas Islam Depag, Prof Dr Nasaruddin Umar menegaskan sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur mencapai Rp6 juta dan sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp12 juta dan kurungan tiga bulan.
Sementara itu, bagi seseorang yang memaksakan anak di bawah umur menikah akan dikenakan hukuman pidana sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan pada 12 April 2022 lalu.
Mengacu pada Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022, menerangkan bahwa berbagai bentuk pemaksaan perkawinan, termasuk di antaranya perkawinan anak, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta.
Advertisement
Pernikahan di Bawah Umur Menurut Islam
Sedangkan dalam Islam juga dijelaskan terkait fenomena yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat ini. Masalah ini membuat para ulama membelah pendapatnya menjadi dua. Jumhur atau mayoritas ulama memandang umur bukan bagian dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur. Hal ini disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء
Artinya, “Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijmak atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).
Dikutip dari laman NU Online, pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur. Bahkan mubah hukumnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid. Hukum nikahnya sah dan tidak haram. Namun syara’ hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib).
Sementara itu, beberapa ulama lainnya menolak perkawinan anak di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangan tersebut pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:
المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ
Artinya, “Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Ustaman Al-Bitti RA berpendapat bahwa anak kecil laki-laki dan perempuan di bawah umur tidak boleh dinikahkan sampai keduanya baligh, berdasarkan ‘Sampai mereka mencapai usia nikah,’ (Surat An-Nisa ayat 6). Kalau juga perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak memberikan manfaat karena keduanya belum berhajat pada perkawinan. Ibnu Hazm berpendapat bolehnya perkawinan anak kecil perempuan di bawah umur dengan dasar sejumlah riwayat hadits perihal ini. Sedangkan akad perkawinan anak kecil laki-laki di bawah umur batal sampai anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka ia harus difasakh,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179).