Liputan6.com, Jakarta - Syekh Siti Jenar dikenal dengan sejumlah nama, yakni termasuk Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang. Lahir dengan nama kecil Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail, serta nama aslinya Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini, pada tahap dewasanya, ia memperoleh gelar Syekh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil.
Baca Juga
Advertisement
Dalam kisahnya yang tercatat dalam buku berjudul Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa (1999) karya Abdul Munir Mulkham, Syekh Siti Jenar diketahui telah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk memperdalam pengetahuan agama Islam di Bagdad, Irak. Selama masa pendidikannya, ia mempelajari berbagai aspek ilmu agama Islam dari seorang guru Yahudi yang menyamar sebagai seorang Muslim. Diyakini bahwa guru tersebut bernama Abdul Malik Al-Baghdadi, yang kemudian menjadi mertuanya.
Ia dikenal sebagai sosok yang kontroversial soal ajaran. Dalam penelitian berjudul Syekh Siti Jenar : Pemikiran dan Ajarannya (2014) oleh Saidun Derani, Syekh Siti Jenar memiliki tujuh pemikiran yang membahas tentang Tuhan, manusia, hingga kehidupan.
Nama Syekh Lemah Abang juga tercatat dalam dokumen Kropak Ferrara, sebuah dokumen kuno yang belum lama ditemukan. Meskipun asal-usul dan identitas sejati Syekh Siti Jenar tidak diuraikan dalam dokumen tersebut, keberadaan tokoh ini dalam jajaran Walisongo menjadi lebih jelas.
Abdul Munir Mulkhan, yang dikenal karena banyak menulis buku dan memperkenalkan nama Jenar di awal abad ke-21, masih meragukan apakah nama Jenar benar-benar pernah berada di wilayah Nusantara, meskipun namanya dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa. Namun, menurut Profesor Hasanu Simon, keraguan tersebut mulai terhapus seiring dengan adanya dokumen Kropak Ferrara yang menyebutkan nama tersebut.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang tujuh pemikiran Syekh Siti Jenar yang dimaksudkan, Kamis (2/11/2023).
1. Tuhan Menurut Siti Jenar
Pemikiran Syekh Siti Jenar, menurut Munir Mulkhan dan Sudirman Tebba, berpusat pada gagasan tentang ketuhanan. Pandangannya tentang Tuhan sangat terkait dengan konsep manunggaling kawula-Gusti, yang menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan secara teologis, sosiologis, dan ekologis.
Dalam konsep mistik manunggaling kawula-Gusti, yang terwakili dalam budaya Jawa, manusia dipandang sebagai manifestasi zat Tuhan, mencerminkan gagasan kesatuan antara manusia dan Tuhan. Perspektif ini tampak serupa dengan pandangan penganut wahdah al-wujûd, menunjukkan kesamaan gagasan dalam pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya.
2. Manusia Menurut Siti Jenar
Pemikiran Syekh Siti Jenar mengenai manusia menegaskan bahwa setiap individu memiliki fitrah keagungan dan kemuliaan, sebagai keturunan Adam, yang disebut sebagai adimanusia (al-insân al-kâmil). Manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan menjadi wakil-Nya di bumi.
Konsep ini mengungkapkan bahwa dalam tubuh manusia, yang berasal dari tanah, ada ruh yang memiliki sifat Ilâhiyyah, yang ditiupkan oleh Allah ketika menciptakan manusia pertama.
Namun, meskipun manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia, pemikiran Jenar menyatakan bahwa adanya sifat nafsu rendah badani dalam diri manusia—kecenderungan kepada kesenangan materi dan duniawi—menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Jenar, penting untuk melawan nafsu rendah badani tersebut sebagai bagian dari "jihad akbar."
3. Jiwa Menurut Siti Jenar
Dalam pemikiran Syekh Siti Jenar, jiwa dianggap sebagai suara hati nurani yang merupakan ekspresi dari zat Tuhan. Jiwa ini adalah ungkapan kehendak Tuhan yang harus dipatuhi dan diikuti. Syekh Siti Jenar membedakan jiwa dari akal. Jiwa dianggap sebagai manifestasi dari Tuhan yang berada di dalam manusia, sehingga tubuh fisik dianggap sebagai manifestasi Tuhan.
Di sisi lain, akal dianggap sebagai kehendak, angan-angan, dan ingatan yang seringkali tidak stabil dan bisa berubah. Berbeda dengan akal, jiwa yang berasal dari Tuhan dianggap memiliki sifat kekal yang bertahan setelah kematian, membebaskan jiwa dari keterikatan tubuh manusia.
Advertisement
4. Alam Semesta Menurut Siti Jenar
Selain itu, Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai sebuah makrokosmos (jagat besar) yang setara dengan mikrokosmos (manusia), yang keduanya merupakan ciptaan baru Tuhan (hawâdits). Ia menegaskan bahwa baik manusia maupun alam semesta tidak kekal, melainkan akan mengalami kerusakan dan tidak abadi (fanâ’).
Manusia, menurut Jenar, terdiri dari jiwa sebagai manifestasi zat Tuhan, sementara raga adalah penampilan fisik dari jiwa yang dihubungkan dengan pancaindera dan organ tubuh seperti daging, darah, dan tulang.
5. Akal Menurut Siti Jenar
Syekh Siti Jenar menghubungkan fungsi akal dengan intuisi, yang mempengaruhi tata aturan formal syariah, terutama dalam hal "lima rukun Islam." Pandangan ini menekankan bahwa kata 'akal', sering didefinisikan sebagai 'budi eling', di satu sisi dianggap sebagai pedoman hidup, namun di sisi lain, merujuk pada kehendak, angan-angan, dan ingatan, yang menurut Jenar, tidak dapat dipercaya kebenarannya. Baginya, akal selalu berubah dan bisa mendorong perilaku buruk.
Jenar meyakini bahwa kebenaran yang diperoleh melalui pancaindera, akal, dan intuisi, mirip dengan pengetahuan tentang wahyu yang bersifat intuitif. Kekuatan intuisi ini muncul bersamaan dengan kesadaran individu. Dalam pandangannya, proses pengetahuan ini tumbuh seiring dengan kesadaran subjek terhadap objek. Oleh karena itu, Jenar percaya bahwa pemahaman akan kebenaran tentang Tuhan diperoleh bersamaan dengan kesadaran individu terhadap Tuhan.
Â
Â
6. Kehidupan Menurut Siti Jenar
Pemikiran Syekh Siti Jenar mengenai kehidupan menekankan bahwa pemahaman tentang hidup dan cara menjalaninya adalah konsep yang tidak mudah dicerna. Pemikiran ini berkaitan dengan kebenaran intuitif sebagai dasar perilaku manusia yang hanya dapat diperoleh melalui pencapaian kesadaran diri. Ajaran Jenar yang kaya dengan pengalaman rohani tentang ketuhanan yang bersifat subjektif menekankan aspek kebatinan lebih dari aspek fisik.
Jenar memberikan wejangan kepada sahabat-sahabatnya, yang mencakup pemahaman tentang penguasaan hidup, pengetahuan tentang makna kehidupan, keabadian kehidupan di masa depan, pengalaman kematian di dunia saat ini, dan pengajaran mengenai kedudukan yang lebih tinggi. Dalam ajaran Jenar, aspek kebatinan dan pemahaman tentang dimensi rohani dalam kehidupan lebih diutamakan daripada aspek luariah atau fisik.
7. Tindakan Manusia Menurut Siti Jenar
Pemikiran Syekh Siti Jenar tentang tindakan manusia menggarisbawahi bahwa tindakan manusia merupakan kehendak Tuhan, sejalan dengan pandangan Jabariah. Namun, Jenar menyatakan bahwa jika Allah hadir bersama manusia, maka manusia akan bertindak dengan baik dan membersihkan diri dari kehidupan yang terkontaminasi oleh hawa nafsu.
Meski begitu, menurut Jenar, manusia pada dasarnya memiliki kehendak sendiri untuk bertindak, sesuai dengan sudut pandangnya dalam ilmu kalam dan teologi Islam, yang serupa dengan pandangan qadariyah atau Mu`tazilah.
Dalam pandangan Jenar terhadap syariat dan politik, dalam lingkup sufi dikenal adanya empat tingkatan dalam ibadah: syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Hal ini dihubungkan dengan tingkatan keimanan manusia menurut al-Ghazali. Jenar menganggap bahwa syariat hanya diperlukan oleh orang awam, tarekat diperlukan oleh para ulama, sementara para wali dan nabi hanya memerlukan hakekat dan makrifat. Jenar, yang merasa setara dengan para wali bahkan mungkin nabi, tidak merasa perlu untuk mematuhi syariat.
Advertisement