Sukses

Hadrah adalah Seni Pertunjukan, Simak Pengertian dan Hukumnya dalam Islam

Hadrah adalah sebuah seni tradisional yang kaya akan makna, sejarah, dan budaya.

Liputan6.com, Jakarta Hadrah adalah sebuah seni pertunjukan tradisional dalam budaya Islam yang melibatkan musik, nyanyian, tari, dan gerakan-gerakan tubuh yang bersifat spiritual dan religius. Pertunjukan hadrah sering dilakukan dalam rangkaian acara keagamaan atau perayaan agama.

Hadrah adalah bentuk pujian yang sangat penting dalam budaya Islam. Ia bukan hanya sekadar ungkapan syukur dan penghormatan kepada Nabi Muhammad, tetapi juga menjadi sarana silaturrahim dan kebersamaan dalam umat Islam.

Hadrah adalah seni yang menggabungkan unsur-unsur budaya, dan agama dalam satu kesatuan. Seni hadrah memiliki variasi yang khas dalam berbagai negara dan wilayah, yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hadrah sering dimulai atau diiringi oleh doa dan zikir, yang menciptakan suasana kerohanian dalam pertunjukan. Seni ini memiliki peran penting, dalam menjaga dan mewariskan budaya juga tradisi Islam dari generasi ke generasi.

Berikut ini pengertian dan hukum hadrah yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (7/11/2023). 

2 dari 4 halaman

Pengertian Hadrah

Hadrah (حضرة) adalah sebuah ritual kolektif yang dijalankan dalam kerangka tarekat atau kelompok Sufi. Ritual ini biasanya dilakukan pada malam hari, khususnya setelah shalat malam, meskipun ada juga yang mengadakannya pada hari-hari besar dalam kalender Islam. Secara terminologis, hadrah merupakan salah satu bentuk seni dalam Islam, yang menyertai penyelenggaraan dengan alat musik perkusi yang disebut rebana, sambil melantunkan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Ini adalah bentuk penghormatan kepada Rasulullah, dan juga merupakan bentuk ekspresi cinta dan rasa kasih umat Muslim terhadapnya.

Secara historis, hadrah atau yang saat ini lebih dikenal sebagai musik terbangan atau rebana, sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Ini dapat dilihat dari penyambutan yang diberikan oleh kelompok Anshar kepada Nabi Muhammad Saw, ketika beliau tiba di Madinah setelah hijrah dari Makkah. Hadrah telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya Islam selama berabad-abad, dan peran juga pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.

Pelaksanaan hadrah biasanya berlangsung di berbagai tempat seperti rumah, masjid, zawiyah-zawiyah sufi, atau lokasi lain yang dianggap sesuai. Istilah "hadrah" dalam bahasa Arab secara harfiah berarti "kehadiran" dan berasal dari akar kata "hadlaro-yahdluru-hadlran (hadlratan)," yang artinya "hadir" atau "kehadiran." Hal ini tentu mencerminkan makna ritual hadrah, sebagai suatu bentuk kehadiran spiritual yang kuat, di mana para penyelenggara dan peserta merasa hadir di hadapan Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw.

 

3 dari 4 halaman

Tujuan dan Fungsi

Kesenian hadrah bukanlah sekadar bentuk seni yang dinikmati secara pribadi, tetapi seringkali dipertunjukkan kepada masyarakat sebagai bagian dari acara-acara keagamaan atau tradisi. Meskipun mendengar hadrah dapat memberikan kesenangan, tujuan sejati dari seni ini bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan sebagai bentuk syair yang memuat pesan-pesan agama.

Seni hadrah diperkirakan mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad ke-13 H, dibawa oleh seorang ulama besar dari negeri Yaman yang bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al- Habsyi (1259-1333H/1839-1931 M). Perlu diketahui, bahwa hadrah dan sholawat saling terkait karena sholawat adalah doa kepada Allah SWT untuk Nabi Muhammad SAW, berserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya. 

Seni tradisional Islam ini tidak hanya berkembang di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di Asia, Timur Tengah, Afrika, dan di seluruh dunia di mana umat Islam ada. Hadrah adalah kesenian Islam yang didalamnya berisi sholawat Nabi Muhammad SAW, untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Adapun fungsi seni hadrah membantu merilekskan pikiran manusia, dan memperbaiki perilaku manusia. Tak hanya itu, hadrah juga bertindak sebagai alat manifestasi dan penyemangat untuk meningkatkan moralitas dan spiritualitas dalam kehidupan, juga sarana untuk berdzikir kepada Allah SWT . 

4 dari 4 halaman

Hukum Hadrah dalam Masjid

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum hadrah di dalam masjid ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya.

Ulama yang membolehkan berargumen dengan dalil berikut: 

حَدِيْثُ (أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ) التُّرْمُذِي وَضَعَّفَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ مَنِيْعٍ وَغَيْرُهُمْ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوْعًا بِهَذَا وَهُوَ حَسَنٌ فَرَاوِيْهِ عِنْدَ التُّرْمُذِي وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا فَإِنَّهُ قَدْ تُوْبِعَ كَمَا فِي ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ – المقاصد الحسنة للسخاوي ص: 125

“Umumkanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan terbang” (HR Turmudzi, ia menilainya dlaif dan ulama yang lain juga mendlaifkannya). Namun ahli hadis al-Hafidz as-Sakhawi berkata bahwa hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani’ dan lainnya. Dengan demikian hadis ini berstatus hasan karena diperkuat (mutaba’ah) oleh riwayat lain”. (Al-Maqashid al-Hasanah 125)./

Ibnu Hajar Al Haitami berkata: 

وَفِيهِ إيمَاءٌ إلَى جَوَازِ ضَرْبِ الدُّفِّ فِي الْمَسَاجِدِ لِأَجْلِ ذَلِكَ فَعَلَى تَسْلِيمِهِ يُقَاسُ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا نَقْلُ ذَلِكَ عَنْ السَّلَفِ فَقَدْ قَالَ الْوَلِيُّ أَبُو زُرْعَةَ فِي تَحْرِيرِهِ صَحَّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ وَهُمَا سَيِّدَا الْمُتَأَخِّرِينَ عِلْمًا وَوَرَعًا وَنَقَلَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَكَفَاكَ بِهِ وَرِعًا مُجْتَهِدًا – الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 10 / ص 298 

“Hadits ini mengisyaratkan dibolehkannya menabuh terbang di masjid karena pernikahan. Jika masalah ini dapat diterima maka menabuh terbang di masjid selain karena nikah juga diqiyaskan dengan hukum tersebut (boleh). Hal tersebut disampaikan oleh ulama Salaf seperti Abu Zur’ah, Ibnu Abdi Salam, Ibnu Daqiq al-Id, Asy-Syairazi dan sebagainya” (Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 10/298).

Sedangkan Ulama yang melarang menafsirkan hadis di atas bahwa rebana ditabuh di luar masjid:

ﻓﺈﻥ ﻗﻠﺖ – اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻳﺼﺎﻥ ﻋﻦ ﺿﺮﺏ اﻟﺪﻑ: ﻓﻜﻴﻒ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ؟ (ﻗﻠﺖ) ﻟﻴﺲ اﻟﻤﺮاﺩ ﺃﻧﻪ ﻳﻀﺮﺏ ﻓﻴﻪ، ﺑﻞ ﺧﺎﺭﺟﻪ، ﻭاﻷﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻓﻲ ﻣﺠﺮﺩ اﻟﻌﻘﺪ. اﻩ.

Bukankah masjid tidak boleh ditabuh terbang, bagaimana mungkin diperintahkan menabuh terbang di masjid? 

Jawabannya, terbangan (hadroh) tidak ditabuh di dalam masjid, namun di luar masjid. Perintah dalam hadits ini hanya akad nikah saja di dalam masjid. (Al-Maqashid al-Hasanah, Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I’anah Thalibin, Hasyiah Fathul Mu’in). 

Imam as-Suyuthi dalam kitab al-Amru bi at-Ittiba’ wa an-Nahyu ‘an al-Ibtida’ menjelaskan: 

“Di antaranya (perkara-perkara bid’ah) adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duff (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis alat-alat musik. Maka, barangsiapa yang melakukan itu di masjid maka dia mubtadi’ (pelaku bid’ah), sesat, patut baginya diusir dan dipukul, karena dia meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid. Allah Ta’ala berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya.” (QS. an-Nur ayat 36).