Liputan6.com, Jakarta Profil Bung Tomo perlu dikenali oleh setiap masyarakat Indonesia dalam menyambut Hari Pahlawan Nasional. Seperti yang telah diketahui, Hari Pahlawan diperingati setiap 10 November setiap tahunnya di Indonesia.
Latar belakang ditetapkannya Hari Pahlawan 10 November ini yaitu untuk mengenang peristiwa pertempuran Surabaya pada tahun 1945. Salah satu tokoh utama dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 tersebut adalah Soetomo atau dikenal juga dengan panggilan Bung Tomo.
Advertisement
Baca Juga
Bung Tomo dikenal sebagai salah satu sosok yang paling mampu menggerakkan massa melalui orasi, selain Bung Karno. Lewat kalimat-kalimat patriotiknya, ia terus membakar spirit perjuangan rakyat, khususnya warga Surabaya.
Berikut Liputan6.com rangkum dari laman Kemdikbud dan berbagai sumber lainnya, Rabu (8/11/2023) tentang profil Bung Tomo.
Profil Bung Tomo
Soetomo atau Bung Tomo Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Ia merupakan ikon perlawanan Indonesia menentang pasukan asing pada tahun 1945 di Surabaya. Saat pertempuran 10 November diabadikan menjadi Hari Pahlawan, nama Bung Tomo semakin harum dengan kisah heroiknya dalam mempertahankan kemerdekaan di Surabaya.
Semangat patriotisme Bung Tomo sudah tampak sejak ia masih muda. Kiprahnya dimulai dari anggota gerakan Kepanduan Bangsa Indonesa (KBI). Di usia 17 tahun, Soetomo muda dipercaya menjadi Sekretaris Partai Indonesia Raya (Parindra) Cabang Tembok Duku, Surabaya.
Selain itu, ia juga merambah dunia jurnalistik pada usia 17 tahun, yang semakin menempa semangat juangnya untuk bangsa. Karirnya dalam dunia tulis menulis pertama kali ia rasakan pada harian Oemoem, Surabaya. Jabatan tertingginya sebagai wartawan adalah Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara, 1945.
Bung Tomo yang memiliki kemampuan orasi dengan kalimat-kalimat patriotik terus membakar spirit perjuangan rakyat, khususnya warga Surabaya. Berkat orasi Bung Tomo, pertempuran rakyat Surabaya melawan Belanda pada 10 November 1945 menjadi pertempuran terdahsyat selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Advertisement
Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November
Melansir ditsmp.kemdikbud.go.id, pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang merupakan pertempuran besar antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Inggris. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Surabaya juga merupakan pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia, yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Pimpinan Tentara Inggris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945. Kematian Jendral Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945. Ultimatum tersebut meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Ultimatum tersebut juga disertai ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang Indonesia tidak mentaati perintah Inggris. Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.
Namun ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya, sehingga terjadilah pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat pada tanggal 10 November 1945, selama lebih kurang tiga minggu lamanya. Medan perang Surabaya kemudian mendapat julukan “neraka” karena kerugian yang disebabkan tidaklah sedikit. Pertempuran tersebut telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1.600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak dan hancur.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itu, serta semangat membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya, membuat Inggris serasa terpanggang di neraka dan membuat kota Surabaya kemudian dikenang sebagai Kota Pahlawan. Kemudian, tanggal 10 November diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pahlawan sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengorbanan para pahlawan dan pejuang.
Perjalanan Bung Tomo Setelah Pertempuran Surabaya
Di masa Revolusi Fisik, 1945-1949, Bung Tomo menjabat sebagai Ketua Umum Barisan Pemberon- takan Rakyat Indonesia (BPRI). la juga pernah menjadi Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata seluruh Jawa dan Madura. Bung Karno kemudian melantiknya menjadi anggota pucuk pemimpin Tentara Nasional Indonesia dengan pangkat mayor jenderal.
Melansir laman SMK PGRI 1 Bogor, sekitar tahun 1950-an Bung Tomo mulai aktif dalam kehidupan politik. Ia sempat menjadi Menteri negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 pada kabinet Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga pernah menjadi anggota DPR pada 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia.
Di tahun 1968 ia sempat menyelesaikan studi ekonomi di Universitas Indonesia. Pada masa pemerintahan orde Baru, Bung Tomo banyak mengkritik kebijakan Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng. Akibatnya tanggal 11 April 1978 ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Padahal jasanya begitu besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Satu tahun setelah ditahan, Bung Tomo kemudian dibebaskan dan tidak banyak lagi aktif dalam kehidupan politik.
Bung Tomo wafat ketika sedang menunaikan ibadah Haji di padang Arafah, Makkah pada 7 Oktober 1981. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi kala itu, M Nuh.
Advertisement