Sukses

Kerja Rodi Adalah Sistem Kerja Paksa, Ketahui Sejumlah Tujuan dan Kebijakannya

Kerja rodi adalah sebuah sistem kerja paksa, yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Liputan6.com, Jakarta Kerja Rodi adalah istilah yang merujuk pada sistem kerja paksa, atau penggunaan tenaga kerja yang dipaksa, di mana individu atau kelompok diperlakukan sebagai pekerja, tanpa mendapatkan imbalan yang layak atau tanpa hak untuk memilih jenis pekerjaan yang mereka lakukan.

Dalam konteks sejarah Indonesia, kerja rodi adalah bentuk pekerjaan yang mencolok pada masa penjajahan Belanda, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada masa ini, pihak kolonial Belanda memaksa rakyat Indonesia untuk terlibat dalam proyek-proyek pembangunan seperti pembangunan jalan, bendungan, rel kereta api, dan proyek infrastruktur besar tanpa memberikan imbalan yang layak.

Kerja rodi adalah bentuk eksploitasi, terhadap pekerja oleh pihak yang memiliki kekuatan atau otoritas, dan muncul saat penjajahan oleh bangsa Belanda. Diinisiasi oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang mendapat mandat dari Louis Napoleon, memaksa rakyat Indonesia terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur ambisius.

Salah satu yang paling disorot adalah pembangunan jalan raya sepanjang 1100 km dari Anyer hingga Panarukan. Berikut ini sejarah dan tujuan kerja rodi yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (17/11/2023). 

 

2 dari 4 halaman

Pengertian Kerja Rodi

Kerja rodi adalah sebuah sistem kerja paksa, yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, di mana membentuk bagian penting dari sejarah eksploitasi rakyat Indonesia selama berabad-abad. Fenomena ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, memaksa rakyat Indonesia terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur ambisius yang digerakkan oleh kolonialisme Belanda.

Melansir dari laman Fakultas Hukum UMSU, di bawah sistem kerja rodi yang diterapkan, rakyat Indonesia diperintahkan untuk melakukan pekerjaan tanpa imbalan yang layak, atau bahkan tanpa upah sama sekali. Proyek-proyek tersebut melibatkan pembangunan jalan, bendungan, rel kereta api, dan berbagai infrastruktur besar lainnya. Walaupun di mata pemerintah kolonial proyek-proyek ini dianggap sebagai kemajuan, namun bagi rakyat Indonesia, ini adalah simbol eksploitasi yang tidak adil. 

Kerja rodi tak hanya merupakan gejala di bawah penjajahan Belanda, namun juga berbanding lurus dengan praktik serupa pada masa penjajahan Jepang, dikenal sebagai romusha yang terjadi sekitar tahun 1942 hingga 1945. Meskipun keduanya memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja tanpa imbalan yang setimpal, konteks sejarah dan tujuan pekerjaan memiliki perbedaan. Selama penjajahan Jepang, tujuan utama adalah memanfaatkan seluruh komoditas Indonesia untuk kepentingan ekonomi mereka. Di sisi lain, kerja rodi di bawah pemerintahan Belanda cenderung lebih terfokus pada sektor perkebunan, pelabuhan, pertambangan, dan proyek infrastruktur lainnya. 

3 dari 4 halaman

Sejarah Kerja Rodi

Awal mula munculnya kerja rodi terkait erat dengan peran Louis Napoleon, dalam menunjuk Herman Willem Daendels sebagai gubernur pada 1 Januari 1808 selama pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Daendels diberikan tugas utama, untuk mempertahankan pulau Jawa dari ancaman Inggris dan, sekaligus mengatur pemerintahan Indonesia.

Namun terbeban oleh tanggung jawabnya, Daendels merespons dengan memberlakukan sistem kerja rodi. Ini terjadi karena pada saat itu Inggris mengambil alih kekuasaan VOC di Ambon, Sumatera, dan Banda. Daendels memenuhi tugasnya sebagai gubernur, membuat keputusan kontroversial ini dengan harapan agar masyarakat Indonesia bersedia bekerja, demi kepentingan Kerajaan Prancis. 

Dalam upayanya mempertahankan Jawa, Daendels mengambil langkah-langkah signifikan di bidang pertahanan dan keamanan. Ini termasuk pembangunan benteng pertahanan baru dan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon dan Anyer. Meskipun, pembangunan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon tidak mencapai harapan Daendels. Sebagai bagian dari strategi ini, Daendels melibatkan masyarakat dalam kerja rodi untuk membangun Jalan Raya Pos atau Groote Postweg, menghubungkan Anyer di Ujung Barat Jawa Barat hingga Panarukan di Ujung Timur Jawa Timur dengan panjang sekitar 1000 km. 

Daendels sebagai perwakilan Prancis atas nama Belanda, mencatatkan laporan keuangan terkait program kerja rodi. Meskipun sulit menemukan arsip yang menunjukkan secara pasti besaran dana yang dikeluarkan, Daendels menyediakan anggaran sekitar 30.000 ringgit pada saat itu (1 ringgit = 2,40 gulden) untuk pembangunan Jalan Raya Pos. Namun, dana tersebut terbukti tidak mencukupi, dan Daendels menggunakan uang kertas kredit yang ia keluarkan sendiri.

 

4 dari 4 halaman

Tujuan dan Kebijakan Kerja Rodi

Waktu penerapan kerja rodi di Indonesia, membawa dampak serius terhadap kehidupan rakyat, menciptakan penderitaan karena mereka terpaksa bekerja tanpa upah yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pekerja rodi juga menghadapi perlakuan tidak adil ketika mereka berhenti bekerja. Pembangunan Jalan Raya Anyer hingga Panarukan pada tahun 1809, diketahui telah menelan korban sebanyak 12.000 jiwa. Awalnya, pembangunan jalan ini dilakukan oleh pihak kolonial, namun karena kehabisan dana untuk membayar pekerja profesional dan tentara, Daendels akhirnya mengerahkan rakyat pribumi.

Sebelum memanfaatkan tenaga rakyat, militer terlibat dalam membentuk lahan yang berbukit dan bergunung batu menggunakan alat berat seperti tank dan meriam. Berikut adalah tujuan kerja rodi Herman Willem Daendels diantaranya:

  1. Membangun pabrik persenjataan di Surabaya dan Semarang
  2. Membangun jalan raya sepanjang 1100 km dari Anyer hingga Panarukan
  3. Membangun pangkalan armada di Ujung Kulon dan Anyer
  4. Membuat benteng pertahanan
  5. Membangun pelabuhan dan kapal perang untuk kebutuhan militer
  6. Membangun pangkalan tentara dengan melibatkan pelatihan rakyat pribumi.

Daendels juga menerapkan sejumlah kebijakan untuk mendukung tujuannya melalui kerja rodi:

  1. Memberlakukan pembayaran pajak dengan menyerahkan hasil bumi sebagai gantinya
  2. Menjual tanah rakyat kepada swasta asing, seperti Han Ti Ko, seorang pengusaha China
  3. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk produksi garam, gula, dan sarang burung
  4. Pegawai pemerintahan menerima gaji tetap, tetapi dilarang terlibat dalam perdagangan
  5. Mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi (Prianger Stelsel)