Sukses

Pasal 7 Ayat 1 UU Tentang Usia Perkawinan, Ini Batas Minimal Terbaru

Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 dan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 membahas usia menikah.

Liputan6.com, Jakarta - Ada perbedaan pada Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 dan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019, keduanya membahas batasan usia minimal untuk menikah. Sebelumnya, UU Perkawinan tahun 1974 memungkinkan pria menikah pada usia 19 tahun dan wanita pada usia 16 tahun. 

Namun, perubahan terjadi dengan berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan usia minimal 19 tahun untuk keduanya. Langkah ini dilakukan sebagai respons atas dampak negatif pernikahan dini di Indonesia.

Contoh kasus nyata, kisah seorang gadis di pedesaan yang menikah pada usia 15 tahun dan mengalami komplikasi serius saat melahirkan karena fisiknya belum siap. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, persalinan pada ibu di bawah 20 tahun memberikan risiko tinggi pada bayi dan balita, menyoroti dampak negatif pernikahan usia muda terhadap kesehatan reproduksi.

Perubahan Pasal 7 Ayat (1) ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melindungi perempuan dan mengurangi angka pernikahan dini. Selain itu, langkah ini juga sejalan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup keluarga, terutama dalam hal kesehatan reproduksi dan memberikan kontrol lebih besar kepada perempuan atas masa depan mereka.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan di Indonesia, Jumat (17/11/2023).

2 dari 3 halaman

Pria dan Wanita Minimal Menikah Usia 19 Tahun

Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 dan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 memiliki perbedaan terkait usia minimal yang diperbolehkan untuk menikah. UU Perkawinan tahun 1974 mengatur bahwa pria boleh menikah pada usia 19 tahun sedangkan wanita diizinkan menikah pada usia 16 tahun.

Sementara, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 telah mengubah batasan usia minimal menjadi 19 tahun baik untuk pria maupun wanita. Perubahan ini adalah respons terhadap masalah yang timbul akibat pernikahan dini di Indonesia.

"Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun," demikian bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019.

Wanita yang menikah pada usia dini seringkali menghadapi risiko kesehatan yang tinggi, terutama dalam hal reproduksi. Rentang waktu reproduksi yang panjang dapat meningkatkan risiko penyakit reproduksi serta komplikasi yang berpotensi fatal pada kehamilan dan persalinan.

Contoh nyata dari perubahan Pasal 7 ayat (1) ini adalah kasus seorang gadis di daerah pedesaan yang menikah pada usia 15 tahun dan mengalami komplikasi serius selama persalinan karena tubuhnya belum siap untuk proses melahirkan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemekes RI), ungkap persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun menyebabkan angka kematian yang tinggi pada bayi dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mengungkapkan bahwa risiko kematian neonatal, postneonatal, serta bayi dan balita lebih tinggi pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun daripada pada ibu usia 20-39 tahun.

"Pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan reproduksi," tegas Kemenkes.

Perubahan Pasal 7 ayat (1) sejalan dengan upaya pemerintah untuk melindungi hak dan kesejahteraan perempuan serta meningkatkan kualitas hidup keluarga secara keseluruhan. Meskipun dispensasi masih bisa diajukan melalui proses hukum jika terjadi penyimpangan dari ketentuan umur, namun pengadilan harus mempertimbangkan alasan yang sangat mendesak dan didukung dengan bukti yang memadai.

Tidak hanya itu, perubahan ini bertujuan untuk mengurangi angka pernikahan dini yang cukup tinggi di Indonesia, seperti tercatatnya 300 pasangan pemuda-pemudi yang melakukan pernikahan dini di suatu kota pada tahun 2019, menghimpun data dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng).

Adanya perubahan ini, pemerintah berharap dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan serta mengurangi risiko kesehatan terkait dengan pernikahan dini. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan keluarga, terutama dalam kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan dalam menentukan masa depan mereka.

3 dari 3 halaman

Dampak Buruk Melakukan Pernikahan Dini

  1. Kesehatan Fisik dan Mental: Pernikahan usia muda seringkali berkontribusi pada masalah kesehatan fisik dan mental. Risiko komplikasi kesehatan reproduksi meningkat pada perempuan yang menikah di bawah usia 19 tahun, seperti risiko tinggi terhadap kematian maternal, persalinan prematur, dan berat bayi lahir rendah. Selain itu, stres mental dan masalah psikologis seperti depresi juga lebih mungkin terjadi pada mereka yang menikah pada usia dini.
  2. Pendidikan Terhambat: Pernikahan usia muda seringkali menghambat kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan formal. Keterbatasan akses terhadap pendidikan yang memadai bisa menjadi kendala serius bagi mereka yang menikah pada usia dini, menghambat kemampuan mereka untuk meraih potensi penuh mereka secara akademis dan profesional.
  3. Keterbatasan Ekonomi: Menikah di usia muda sering kali berhubungan dengan keterbatasan ekonomi. Keterbatasan pendapatan, kurangnya keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan yang stabil, dan tanggung jawab keluarga yang tiba-tiba dapat membatasi pertumbuhan ekonomi mereka. Ini bisa memunculkan ketidakstabilan finansial yang berkelanjutan dalam kehidupan keluarga muda.
  4. Tingginya Angka Kematian Bayi: Persalinan pada ibu yang menikah di bawah usia 19 tahun sering kali memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi pada kesehatan bayi, termasuk tingkat kematian neonatal yang lebih tinggi. Pernikahan usia muda sering kali tidak disertai dengan pengetahuan dan kesiapan yang cukup untuk merawat bayi yang sehat dan aman.
  5. Ketergantungan Finansial: Pernikahan usia muda seringkali membuat pasangan muda bergantung pada orang tua atau keluarga lainnya secara finansial. Mereka mungkin belum memiliki kemandirian finansial yang memadai untuk mendukung kebutuhan keluarga mereka sendiri, sehingga tergantung pada bantuan finansial orang lain.
  6. Terbatasnya Kesempatan Karir: Pernikahan usia muda bisa menghambat pengembangan karir dan peluang kerja. Keterbatasan waktu dan energi yang dialokasikan untuk merawat keluarga baru dapat menghalangi kesempatan untuk pengembangan karir yang lebih baik.
  7. Risiko Kekerasan dalam Rumah Tangga: Pernikahan pada usia dini seringkali berhubungan dengan risiko tinggi terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmatangan emosional dan kurangnya pemahaman akan dinamika hubungan seringkali memperburuk situasi konflik dalam rumah tangga.