Liputan6.com, Jakarta - ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder adalah gangguan neurobiologis yang umumnya memengaruhi anak-anak dan dapat berlanjut hingga usia dewasa. Beberapa mitos tentang ADHD termasuk pandangan bahwa kondisi ini hanya terjadi pada anak laki-laki. Bahwa ini hanyalah sebuah masalah perilaku biasa yang dapat diperbaiki dengan disiplin, atau bahwa gula adalah penyebab langsung dari ADHD.
Baca Juga
Advertisement
Namun, fakta menunjukkan bahwa ADHD dapat memengaruhi siapa pun, tidak terbatas pada gender tertentu. Sementara penyebab pastinya masih belum sepenuhnya dipahami dan tidak hanya disebabkan oleh gula atau asupan makanan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemekes RI) menyebut ADHD adalah gangguan psikiatrik yang ditandai dengan kesulitan memfokuskan perhatian dan tingkat aktivitas yang tinggi. Gejala ini bisa mengganggu rutinitas sehari-hari dan umumnya muncul sebelum usia 7 atau 12 tahun.
Mitos ADHD lainnya adalah anggapan bahwa anak dengan ADHD hanya memiliki masalah perhatian, padahal, gangguan ini juga melibatkan masalah kontrol impuls dan hiperaktivitas. Beberapa fakta ADHD meliputi kondisi ini dapat diidentifikasi sejak usia dini. Sejak masa prasekolah, dan memiliki dampak pada banyak aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan, interaksi sosial, dan kemampuan mengatur diri.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang ADHD, penyebab, gejala, dan pengobatannya, Kamis (23/11/2023).
Gejala ADHD
RSUP Soeradji ungkap sebanyak 8,4% anak-anak dan 2,5% orang dewasa diperkirakan menderita ADHD. Meskipun gejalanya dapat berkurang seiring bertambahnya usia, namun sebagian orang tidak pernah benar-benar terbebas dari gejala ADHD mereka.
Namun demikian, mereka biasanya mempelajari berbagai strategi yang dapat membantu mereka mengurangi dan mengendalikan gejala ADHD. Gejala ADHD dapat sangat bervariasi pada setiap individu, namun, terdapat beberapa ciri umum yang sering terlihat sebagaimana diungkap Kemenkes RI.
1. Sulit Fokus
Salah satunya adalah kesulitan dalam mempertahankan fokus perhatian. Anak-anak dengan ADHD cenderung menjadi mudah teralih dan seringkali lupa pada tugas-tugas atau instruksi yang diberikan. Meskipun mereka mungkin tertarik pada suatu hal, tetapi mempertahankan perhatian mereka pada hal tersebut bisa menjadi tugas yang sulit.
2. Hiperaktivitas
Selain itu, hiperaktivitas juga merupakan salah satu gejala yang khas pada ADHD. Anak-anak yang mengalami hiperaktivitas cenderung sulit untuk diam dan sering merasa gelisah. Mereka mungkin terlihat selalu bergerak, seperti sering berlari-lari atau memanjat sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Kecenderungan ini membuat mereka sulit untuk duduk diam dalam waktu yang lama.
3. Impulsivitas
Impulsivitas juga merupakan gejala yang sering terkait dengan ADHD. Anak-anak dengan tingkat impulsivitas yang tinggi cenderung bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu. Mereka bisa sulit menunggu giliran, sering kali terburu-buru dalam mengambil keputusan, dan tidak sabar dalam menyelesaikan tugas.
Kesulitan dalam mengendalikan impuls juga dapat memengaruhi interaksi sosial mereka karena seringnya mereka memotong pembicaraan atau bertindak tanpa pertimbangan lebih lanjut.
Penting untuk diingat bahwa gejala ADHD dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dan kombinasi yang dialami oleh setiap individu. Selain itu, pengamatan serta evaluasi dari profesional kesehatan yang terlatih dalam gangguan ini sangat penting untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan penanganan yang sesuai.
Advertisement
Penyebab ADHD
Menurut ADHDAwarenessMonth 2023, ADHD adalah kondisi yang terjadi karena perubahan kimia dalam otak yang tidak bisa dikendalikan secara sadar. Meskipun orang dengan ADHD terkadang terlihat malas atau kurang termotivasi, ini bukanlah alasan utama dari kesulitan yang mereka hadapi.
Penyebab pasti dari ADHD masih belum sepenuhnya dipahami, namun ada beberapa faktor yang diyakini berkontribusi terhadap kondisi ini sebagaimana diungkap Kemenkes RI:
- Kontaminasi lingkungan: Paparan zat kimia tertentu pada masa kanak-kanak, terutama di lingkungan yang terkontaminasi dengan bahan beracun seperti timbal, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena ADHD. Paparan ini dapat berdampak negatif pada perkembangan saraf dan fungsi otak anak.
- Genetika: Faktor genetik memainkan peran penting dalam kemungkinan seseorang mengalami ADHD. Riwayat keluarga dengan ADHD dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan kondisi ini. Namun, tidak selalu setiap anak dari keluarga dengan riwayat ADHD akan mengalami kondisi serupa.
- Kondisi selama kehamilan: Paparan zat berbahaya seperti alkohol, rokok, atau obat-obatan tertentu selama masa kehamilan dapat memengaruhi perkembangan otak janin. Faktor-faktor ini dapat memiliki dampak negatif pada sistem saraf dan perkembangan otak anak yang sedang dalam kandungan, yang kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya ADHD.
- Cedera otak: Trauma kepala atau cedera otak serius lainnya juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya ADHD. Terkadang, cedera otak yang signifikan dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku, termasuk meningkatkan kemungkinan berkembangnya ADHD pada seseorang yang mengalami cedera tersebut.
Â
Pengobatan ADHD
Kemenkes RI menyebut pengobatan ADHD dapat dilakukan melalui terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi farmakologi melibatkan penggunaan obat, seperti stimulan methylphenidate dan amphetamine sulphate, serta obat nonstimulan seperti atomoxetine.
Methylphenidate, sebagai terapi lini pertama, telah terbukti mengatasi gejala ADHD, bekerja dengan menghambat reuptake neurotransmitter dopamine, norepinephrine, dan katekolamin. Tablet methylphenidate yang tersedia di Indonesia bersifat lepas lambat dan diberikan sesuai dosis dokter.
Pentingnya peran keluarga dalam mendukung keberhasilan terapi tidak dapat diabaikan, terutama karena pasien ADHD kebanyakan adalah anak-anak dan remaja.
Dalam perawatan, dosis methylphenidate ditingkatkan secara bertahap hingga tercapai respon terapi optimal. Meskipun obat ini memiliki efek samping seperti kesulitan tidur, cemas, penurunan berat badan, mual, dan nafsu makan menurun, manfaatnya yang lebih besar membuatnya tetap diberikan. Pemberhentian obat perlu diawasi oleh dokter dan dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, seperti ketidakberhasilan respons atau munculnya efek samping berbahaya.
Obat stimulan lainnya, seperti dexamphetamine, levoamphetamine, dan dextroamphetamine, juga efektif dan aman untuk pengobatan ADHD. Namun, saat ini belum tersedia di Indonesia. Selain itu, obat nonstimulan seperti atomoxetine dapat menjadi alternatif untuk anak-anak dan orang dewasa dengan ADHD. Atomoxetine bekerja dengan menghambat ambilan norepinephrine dan meningkatkan kadar dopamine.
Advertisement