Sukses

Mengenal Wali Hakim Nikah dan Perbedaannya dengan Wali Nasab

Wali hakim pada pernikahan memiliki hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Liputan6.com, Jakarta Wali hakim nikah mungkin belum dipahami oleh sebagian orang. Padahal, wali merupakan salah satu rukun pernikahan, di samping calon suami, calon istri, dua orang saksi, dan akad (ijab dan kabul). Jadi, wali pada pernikahan sangat penting perannya.

Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah ini dibagi menjadi dua, yaitu wali nasab dan wali hakim. Kamu tentu perlu mengenali perbedaan antara kedua wali nikah tersebut.

Wali hakim pada pernikahan memiliki hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Namun, harus ada beberapa ketentuan yang terpenuhi terlebih dahulu agar wali hakim ini dapat bertindak sebagai wali nikah.  

Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (27/11/2023) tentang wali hakim nikah.

2 dari 4 halaman

Mengenal Wali Nikah

Wali hakim nikah adalah salah satu pembagian dari wali nikah, yang merupakan salah satu rukun dalam pernikahan. Menurut bahasa Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan atau perkawinan adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.

Wali nikah merupakan orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya. Wali nikah merupakan salah satu rukun pernikahan yang tidak boleh dilewatkan.  Seperti yang diketahui, pernikahan harus dilaksanakan berdasarkan rukun dan syarat yang diatur dalam fikih munakahat. Rukun dalam akad pernikahan ada 5, yaitu Calon Suami, Calon Isteri, Wali nikah, Dua orang saksi, dan Akad (Ijab dan Kabul).

Hadis nabi tentang sahnya pernikahan menyebutkan bahwa: “La nikaaha illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, yang artinya tidak sah suatu pernikahan kecuali akad nikah itu dilakukan oleh walinya dan disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil” (HR. Thabrani. Hadits ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7558).

Wali nikah dibagi menjadi dua macam, aitu Wali Nasab dan Wali Hakim. Kamu tentunya perlu memahami perbedaan kedua jenis wali nikah ini. Begitu pentingnya wali nikah ini juga terdapat dalam sebuah hadis nabi yang berbunyi:

”Ayyuma imroatin nakahat bi ghoiri idzni waliyyiha fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, fanikahuha baathil, yang artinya wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal." (HR. Tirmidzi, no. 1021).

3 dari 4 halaman

Perbedaan Wali Hakim dan Wali Nasab pada Pernikahan

Seperti yang disebutkan sebelumnya, wali nikah dibagi menjadi dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Pertama-tama, kamu tentu perlu mengenali wali nasab terlebih dahulu sebelum memahami wali hakim nikah.

Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam. Wali nasab yaitu, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, dan seterusnya, yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

Sementara itu, saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli, yang harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Wali nasab ini tentunya berbeda dengan wali hakim nikah. Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

Jadi, wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang karena hal-hal tertentu yang menurut peraturan mengharuskan menikah menggunakan wali hakim. Wali hakim ini biasanya datang atas nama lembaga seperti Kepala KUA, bukan atas nama pribadi. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW, yang artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).

4 dari 4 halaman

Situasi saat Wali Hakim Menjadi Wali Nikah

Melansir laman NU Online, menurut Al-Imam Abdurrahman As-Suyuthi ada beberapa keadaan yang membuat pernikahan harus dilangsungkan dengan wali hakim, yaitu sebagai berikut:

1. Ketiadaan wali

Ketiadaan wali, baik ketiadaan murni maupun ketiadaan secara syariat. Ketiadaan murni misalnya seorang perempuan tidak memiliki satu pun anggota keluarga yang berhak menjadi wali. Sementara ketiadaan wali secara syariat misalnya wali yang ada masih kecil atau mengalami gangguan jiwa. Sekalipun ada orang terdekat, tetapi tidak berhak menjadi wali karena hanya sebagai ayah tiri, ayah angkat, atau bukan ayah kandung yang sah.

2. Ketidakjelasan wali

Ketidakjelasan wali, baik tidak jelas tempatnya dan tidak jelas hidup atau meninggalnya. Siapa pun yang memiliki wali tidak jelas seperti ini, hendaknya memastikannya terlebih dahulu. Jika tidak ditemukan informasi, maka pernikahan dilangsungkan oleh wali hakim. Artinya, ketidakjelasan semisal ini tidak kemudian mengalihkan kewalian kepada wali yang lebih lain. Sebab, kewalian masih melekat padanya sehingga dialihkannya kepada wali hakim.

3. Wali sedang ihram

Wali sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan yang artinya,

“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan juga menikahkan,” (HR  Muslim).

4. Wali menolak menikahkan atau ‘adhal

Lebih jelas, para ulama mendefinisikan wali adhal sebagai wali yang menolak menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang sekufu sesuai permintaannya. Padahal, anak perempuan tersebut berakal sehat, sudah balig, serta memiliki calon suami yang sekufu dan sangat dicintainya.

Syariat menetapkan, hukum penolakan wali tanpa alasan yang benar secara syari’i untuk menikahkan adalah haram berdasarkan ayat, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,” (Surat Al-Baqarah ayat 232). Jika wali ternyata adhal, artinya alasan penolakannya tidak dibenarkan secara hukum, maka penikahan dilangsungkan dengan wali hakim.

Terkecuali jika alasan penolakannya kuat, seperti calon sumi anaknya tidak sekufu, maka hakim tak bisa mengambil alih. Maka dari itu, benar dan tidaknya alasan wali yang enggan menikahkan akan dibuktikan oleh penghulu, petugas pencatat nikah dari KUA, atau hakim di pengadilan negeri agama.

5. Wali sedang bepergian jauh

Wali sedang bepergian jauh, sejauh jarak yang diperbolehkan meng-qashar shalat atau lebih. Jika jaraknya kurang dari jarak yang diperbolehkan shalat, maka diharuskan meminta izinnya terlebih dahulu karena statusnya seperti orang yang hadir di tempat. Sementara wali yang tak bisa hadir karena pingsan, epilepsi,  atau mabuk yang tidak disengaja, tidak bisa diambil alih oleh hakim.

Jika kewaliannya ingin dialihkan, maka harus ditunggu sampai tiga hari. Jika setelah tiga hari tak kunjung sadar, maka kewaliannya dialihkan kepada wali nasab di bawahnya, bukan kepada hakim. Sebab, kondisi tidak sadar karena pingsan, epilepsi, atau mabuk disejajarkan dengan kondisi tidak sadar karena tunagrahita. (Minahul Fattah ‘ala Dhau’il Mishbah fi Ahkamin Nikah, Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, hal. 289).

Demikian pula halnya wali yang sakit. Jika tidak sampai mengganggu kesadarannya, maka kewaliannya tetap melekat dan tidak beralih kepada wali di bawahnya. Jika tak bisa hadir, maka jalan keluarnya bisa menikahkan di tempat atau dengan cara mewakilkan atas izin si perempuan yang akan dinikahkan.

6. Wali sedang Merasa Takut dan Terancam

Wali sedang dipenjara dan dihalang-halangi hadir oleh mayarakat tempat tinggalnya, sehingga ia merasa takut dan terancam. Dalam kondisi ini, pernikahan tetap bisa dilangsungkan dengan wali hakim, mewakilkan kepada yang lain, atau menikahkan di tempat dirinya berada, seperti melalui alat komunikasi. Walhasil, wali yang ada di tempat yang jauh, tidak dengan serta merta kewaliannya beralih kepada wali di bawahnya, sebab kewalian masih melekat padanya.

7. Wali bersikap tawari atau ta‘azzuz

Tawari artinya bersembunyi ketika diminta hadir ke akad nikah. Sedangkan ta‘azzuz adalah ketidakhadiran wali, padahal sudah diminta hadir dan berjanji akan datang. Anehnya, ia tidak menyatakan secara tegas menolak menikahkan.

8. Wali merangkap menjadi penerima nikah untuk dirinya

Contohnya wali sepupu. Sementara wali nasab yang lain atau wali sederajat tidak ada. Seandainya pernikahan tetap dijalankan, si wali akan merangkap selain menjadi wali, juga menjadi pengantin pria penerima akad.

9. Wali hendak menikahkan seorang perempuan kepada anak laki-lakinya yang masih kecil

Sementara wali yang jauh atau wali yang sederajat tidak ada. Wali harus menjadi penerima nikah untuk anak laki-lakinya dan yang menikahkan adalah wali hakim sebab wali hakim tidak menerima pernikahan untuk anak-anak.   

10. Wali yang lain tidak ada, sedangkan satu-satunya wali dalam keadaan kufur

Sementara perempuan yang akan dinikahkan adalah seorang muslimah. Pernikahan perempuan tersebut dilakukan dengan wali hakim. (Lihat Al-Habib Muhammad bin Salim Al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah: 11).