Liputan6.com, Jakarta - Jelang perayaan Nataru 2024 (Natal 2023 dan Tahun Baru 2024), terjadi peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI hingga Jumat (15/12/2023), tercatat sebanyak 336 kasus konfirmasi baru, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
Baca Juga
Advertisement
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama memberikan penilaian terkait lonjakan kasus yang terjadi di Indonesia akhir tahun 2023 ini. Menurutnya, ada tiga faktor yang menjadi penyebab peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia selama masa endemi ini.
Faktor-faktor tersebut adalah terkait dengan musim pancaroba, penurunan imunitas, dan munculnya varian baru yang perlu menjadi perhatian serius. Peningkatan kasus di Indonesia terjadi sejak November 2023, pada saat itu rata-rata kasus harian bertambah 35-40 kasus.
Terjadinya peningkatan kasus COVID-19 di Indonesia tersebut, disebut juga dipengaruhi elemen endemis yang memengaruhi pola penyebaran penyakit suatu wilayah. Kondisi endemis tidak selalu berarti tingkat prevalensi yang tinggi atau gejala yang parah; sebaliknya, penyakit endemis dapat ada dalam tingkat yang tetap atau berubah-ubah seiring waktu.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam penjelasannya, Senin (18/12/2023).
1. Pancaroba atau Peralihan Musim
Pada poin pertama, peralihan musim atau pancaroba di Indonesia dapat menjadi faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan kasus COVID-19. Peralihan musim seringkali disertai dengan perubahan suhu, kelembaban, dan kondisi lingkungan lainnya.
"Jadi, imunitas seseorang menurun, kelembapan udara tinggi membuat virus lebih mudah masuk ke dalam tubuh," kata Ngabila melalui keterangan yang dikutip dari Health Liputan6.com.
Pada saat pancaroba, imunitas seseorang cenderung menurun, membuat tubuh lebih rentan terhadap serangan virus, termasuk virus COVID-19. Kelembapan udara yang tinggi juga dapat memainkan peran kritis, karena kondisi ini memungkinkan virus lebih mudah masuk ke dalam tubuh manusia.
Sebagai contoh, ketika musim hujan tiba di Indonesia, kelembapan udara meningkat secara signifikan. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung kelangsungan hidup virus di udara dan permukaan benda-benda sekitar.
Selain itu, perubahan suhu yang umumnya terjadi selama pancaroba dapat memengaruhi respons imun tubuh, membuat individu lebih rentan terhadap infeksi, termasuk COVID-19.
Advertisement
2. Penurunan Imunitas atau Antibodi Setelah Enam Bulan Pasca Vaksinasi
Pada poin kedua, peningkatan kasus COVID-19 dapat disebabkan oleh penurunan imunitas atau antibodi enam bulan setelah seseorang divaksinasi. Meskipun vaksin COVID-19 efektif dalam memberikan perlindungan, imunitas yang diberikan oleh vaksin tidak selamanya abadi.
Penurunan imunitas ini bisa membuat individu yang telah divaksinasi lebih rentan terhadap infeksi.
Sebagai ilustrasi, seorang individu yang menerima dosis vaksin COVID-19 pada bulan Januari akan mengalami penurunan tingkat perlindungan pada bulan Juli. Hal ini terjadi karena respons imun tubuh terhadap vaksin dapat merosot seiring berjalannya waktu. Penurunan imunitas ini dapat membuat individu tersebut lebih rentan terhadap paparan virus dan peningkatan risiko infeksi.
Dalam konferensi pers pada 8 Desember 2023, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia kembali meningkat dengan rata-rata tambahan 35-40 kasus harian.
Kenaikan ini, menurut Dirjen Maxi, didominasi oleh subvarian Omicron XBB 1.5 yang menjadi penyebab gelombang infeksi di Eropa dan Amerika Serikat. Dirjen Maxi menekankan bahwa vaksinasi, baik dosis lengkap maupun booster, dapat meningkatkan antibodi dalam tubuh dan memperpanjang perlindungan dari keparahan maupun kematian akibat infeksi COVID-19.
"Segera lakukan vaksinasi, jangan ditunda-tunda, karena virus ini cepat menyebar, sehingga dapat sangat berbahaya untuk keluarga maupun orang sekitar," kata Dirjen Maxi.
3. Ada Mutasi Virus atau Munculnya Varian Baru
Ketiga, peningkatan kasus COVID-19 dapat disebabkan oleh mutasi virus atau munculnya varian baru. Meskipun mutasi dapat membuat virus lebih menular, namun gejala yang muncul tidak selalu lebih berat.
Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia akhir tahun 2023 ini. Peningkatan kasus mayoritas dipicu oleh subvarian EG.5, yang merupakan turunan dari varian Omicron.
Subvarian EG.5, menurut catatan Kemenkes RI, memiliki karakteristik khusus yang perlu diwaspadai. Meskipun cenderung meningkatkan kasus, subvarian ini juga diketahui memiliki kemampuan untuk menghindari kekebalan, sehingga memudahkan penularan namun tanpa perubahan signifikan pada tingkat keparahan.
Maka bisa dipahami, peningkatan penularan dapat menyebabkan lonjakan kasus tanpa secara signifikan meningkatkan tingkat keparahan penyakit, karena efeknya dapat bervariasi tergantung pada karakteristik khusus dari setiap varian.
"Walaupun makin virus mutasi seharusnya memang lebih cepat menular virusnya, tetapi gejala yang muncul seharusnya tidak lebih berat," Ngabila menambahkan.
Sementara itu, di negara tetangga, Singapura, situasinya tidak jauh berbeda. Kasus COVID-19 di negara tersebut terus mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan, mencapai kenaikan sebesar 75 persen dalam satu pekan terakhir.
Menurut Kemenkes Singapura, pada tanggal 15 Desember 2023, terdapat 56 ribu kasus baru pada rentang waktu 3 hingga 9 Desember 2023. Angka ini jauh melampaui statistik pekan sebelumnya yang hanya mencapai 32 ribu kasus. Trend ini memberikan sinyal peringatan bahwa situasinya harus diwaspadai juga oleh masyakarat Indonesia.
Advertisement