Liputan6.com, Jakarta Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 1955 menjadi tonggak sejarah yang monumental dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Empat partai pemenang dalam pelaksanaan pemilu 1955 adalah pihak yang banyak berperan pemerintahan Indonesia setelah itu. Meski dilaksanakan pada kondisi keamanan Indonesia yang kurang kondusif, pemilu ini dipandang sebagai yang paling demokratis di Indonesia.
Meskipun situasinya penuh tantangan, pemilu akhirnya berlangsung dengan aman. Empat partai pemenang dalam pelaksanaan pemilu 1955 adalah hasil yang menunjukkan komitmen Indonesia terhadap proses demokrasi pada masa itu. Pemilu ini memiliki tujuan utama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sebanyak 260 kursi DPR diperebutkan dalam kontes demokratis tersebut.Â
Pelaksanaan Pemilu 1955 memang harus melewati berbagai kendala, termasuk perubahan kepemimpinan yang terjadi saat pemungutan suara. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, yang awalnya memimpin persiapan pemilu, mengundurkan diri sebelum pemungutan suara dimulai. Perdana Menteri Burhanuddin Harahap kemudian mengambil alih kepemimpinan pemerintahan.Â
Advertisement
Meskipun terdapat kendala dan tantangan, pemilu ini menciptakan dasar bagi sistem politik Indonesia yang demokratis, menandai langkah awal menuju kemandirian politik dan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah negara. Berikut ulasan lebih lanjut tentang empat partai pemenang dalam pelaksanaan pemilu 1955 adalah yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (27/12/2023).
Perencanaan Pemilu 1955
Dilansir dari kesbangpol.kapuashulukab.go.id, Perencanaan Pemilu 1955 menjadi bagian integral dari perjalanan menuju demokrasi di Indonesia. Pada masa awal, perencanaan ini sudah dihadapkan pada sejumlah tantangan dan hambatan.Â
Pemilihan pertama seharusnya dilaksanakan pada Januari 1946, tetapi karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, pelaksanaannya menjadi tidak memungkinkan. Seiring dengan berakhirnya perang, setiap kabinet menyisipkan pemilihan umum dalam programnya sebagai bagian dari upaya membangun dasar demokrasi di negara yang baru merdeka ini.
Pada bulan Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilu. Namun, kabinet ini jatuh sebelum dapat diperdebatkan di parlemen. Kabinet berikutnya, yang dipimpin oleh Sukiman, berhasil menyelenggarakan beberapa pemilihan regional, namun proses perencanaan pemilu mengalami jeda yang cukup lama.Â
Barulah pada bulan Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU untuk pendaftaran pemilih. Tetapi, diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat baru dimulai pada bulan September karena berbagai keberatan dari partai politik.
Tiga faktor utama yang menjadi hambatan adalah kekhawatiran para legislator kehilangan kursi, kekhawatiran tentang kemungkinan pengaruh partai Islam, dan ketidaksesuaian sistem pemilihan dengan Konstitusi Sementara tahun 1950, yang berarti lebih sedikit perwakilan untuk daerah di luar Jawa.Â
Meskipun perencanaan pemilu dihadapi dengan berbagai kendala, banyak pemimpin politik pada saat itu menyadari pentingnya pemilihan umum. Pemilu perlu segera dilakukan untuk mengakhiri kompromi dengan Belanda dan meningkatkan legitimasi lembaga legislatif di mata rakyat.
"Peristiwa 17 Oktober 1952" menjadi titik puncak yang mempercepat kebutuhan akan pemilihan umum, ketika tentara bersenjata menuntut pembubaran badan legislatif, menciptakan desakan yang lebih besar dari semua pihak untuk pemilihan awal. Pada akhirnya, RUU Pemilu diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 November. Setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut disahkan pada 1 April 1953 dan menjadi hukum pada 4 April. RUU ini menetapkan jumlah keanggotaan legislatif, memberikan hak memilih bagi semua orang yang berusia di atas 18 tahun, atau yang sudah menikah.
Meskipun kabinet yang mengenalkan RUU pemilu jatuh setelah langkah-langkah kontroversial, perencanaan pemilu terus berlanjut. Pada 25 Agustus 1953, perdana menteri baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal persiapan untuk pemilihan selama 16 bulan mulai bulan Januari 1954. Komite Pemilihan Pusat yang baru diumumkan pada 4 November, dengan ketua dari Partai Nasional Indonesia (PNI) S. Hadikusomo yang menjadi representasi dari berbagai partai yang diwakili di pemerintahan.
Meskipun perjalanan menuju pemilu penuh dengan kompleksitas dan perubahan, perencanaan ini menciptakan fondasi bagi sistem demokrasi di Indonesia dan mengukuhkan tekad untuk memberikan suara kepada rakyat dalam menentukan masa depan politik mereka. Pemilu 1955, dengan segala perjuangan perencanaannya, menjadi tonggak bersejarah yang menandai komitmen Indonesia terhadap prinsip demokrasi.
Advertisement
Pelaksanaan Pemilu 1955
Masih dari kesbangpol.kapuashulukab.go.id, pelaksanaan Pemilu 1955 menjadi babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia yang penuh tantangan. Meskipun persiapan awalnya mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditentukan, dengan pengangkatan anggota panitia Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dimulai pada 15 September daripada tanggal 1 Agustus seperti yang direncanakan, tetapi kegigihan panitia TPS di berbagai daerah membuat mereka siap pada hari pemilihan.
Presiden Sukarno, dalam pidato hari kemerdekaan pada 17 Agustus, menegaskan pentingnya pemilihan ini dengan menyatakan bahwa siapa pun yang menghalangi pemilu dianggap "pengkhianat revolusi". Meskipun persiapannya terlambat, pada 8 September, Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur mengumumkan bahwa pemilihan akan tetap dilaksanakan pada 29 September, kecuali di beberapa daerah yang persiapannya belum selesai.
Menjelang hari pemungutan suara, muncul rumor-rumor yang menciptakan ketegangan di masyarakat, seperti ketakutan akan keracunan yang meluas di Jawa. Selain itu, beberapa daerah memberlakukan jam malam spontan dan tanpa pengumuman beberapa malam sebelum hari pemungutan suara. Meskipun demikian, masyarakat tetap tenang, menyadari bahwa pemilu adalah momen penting bagi nasib bangsa.
Pemilu 1955 dilakukan 2 kali, yang pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. kemudian, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Banyak pemilih yang antusias menunggu untuk memberikan suara sejak pukul 7 pagi. Meskipun beberapa ketegangan muncul menjelang hari pemilu, hari itu berjalan dengan aman karena keyakinan bahwa tidak akan ada kejadian buruk yang terjadi.Â
Tingkat partisipasi mencapai tingkat yang tinggi, dengan 87,65% pemilih memberikan suara sah dan 91,54% dari mereka yang terdaftar turut memberikan suara. Jumlah pemilih yang tidak memilih hanya sekitar 6%, jika dihitung dengan mengesampingkan jumlah kematian antara pendaftaran dan pemungutan suara.
Dengan tingkat partisipasi yang tinggi dan suasana yang relatif damai, pemilu ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia pada waktu itu memiliki kesadaran akan pentingnya proses demokrasi. Hasilnya menciptakan legitimasi bagi perwakilan rakyat yang terpilih dan menandai sebuah langkah besar dalam membangun fondasi politik negara yang baru merdeka.Â
Hasil Pemilu 1955
Pemilu 1955 menjadi peristiwa yang monumental dalam sejarah politik Indonesia, dengan hasil yang menciptakan dinamika baru politik pada masa itu. Empat partai pemenang dalam pelaksanaan pemilu 1955 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Pemilu 1955 dilakukan 2 kali. Pemilihan anggota-anggota DPR apad 29 Desember 1955 dan pemilihan anggota-anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.
Dalam pemilu anggota DPR tahun 1955, PNI (Partai Nasional Indonesia) menempati posisi pertama dengan mengumpulkan 8,4 juta suara atau 22,32 persen dari total suara, yang berarti PNI berhak mendapatkan 57 kursi. Disusul oleh Masyumi, yang meraih 7,9 juta suara atau 20,92 persen dari total suara dan mendapatkan 57 kursi juga.Â
Posisi ketiga diduduki oleh NU (Nahdlatul Ulama) dengan perolehan 6,9 juta suara atau sekitar 18,41 persen, dan berhak atas 45 kursi. PKI (Partai Komunis Indonesia) menempati posisi keempat dengan mengumpulkan 6,1 juta suara atau sekitar 16,39 persen dari total suara dan mendapatkan 39 kursi.
Pemilu 1955 untuk anggota Konstituante juga mencatat perolehan yang mirip dengan pemilu anggota DPR. PNI mempertahankan posisinya sebagai partai pemenang dengan 9,07 juta suara atau sekitar 23,97 persen, dan meraih 119 kursi. Masyumi menempati posisi kedua dengan 7,7 juta suara atau sekitar 20,59 persen, serta mendapatkan 112 kursi.Â
NU mempertahankan perolehan ketiga dengan mengumpulkan 6,9 juta suara atau sekitar 18,47 persen dan berhak atas 91 kursi. PKI tetap pada posisi keempat dengan 6,2 juta suara atau sekitar 16,47 persen dan mendapatkan 80 kursi.
Hasil ini mencerminkan keberagaman pandangan politik dan dukungan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu. PNI sebagai partai pemenang menunjukkan popularitasnya di kalangan pemilih, sementara Masyumi, NU, dan PKI juga memegang peranan penting dalam merumuskan dinamika politik dan kebijakan di Indonesia.
Empat partai pemenang dalam pelaksanaan pemilu 1955 adalah perwakilan spektrum ideologi yang beragam, menandai periode awal demokrasi Indonesia yang mencoba mengakomodasi kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda. Perolehan kursi yang merata antara partai-partai ini juga menciptakan kesempatan untuk berdialog dan merumuskan kebijakan bersama dalam proses perumusan konstitusi.
Â
Â
Advertisement
Perolehan Suara Partai yang Berpartisipasi dalam Pemilu 1955
- Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8.434.653 suara, 22,32%, 57 kursi
- Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) - 7.903.886 suara, 20,92%, 57 kursi
- Nahdlatul Ulama (NU) - 6.955.141 suara, 18,41%, 45 kursi
- Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6.179.914 suara, 16,36%, 39 kursi
- Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) - 1.091.160 suara, 2,89%, 8 kursi
- Partai Kristen Indonesia (Parkindo) - 1.003.326 suara, 2,66%, 8 kursi
- Partai Katolik - 770.740 suara, 2,04%, 6 kursi
- Partai Sosialis Indonesia (PSI) - 753.191 suara, 1,99%, 5 kursi
- Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) - 541.306 suara, 1,43%, 4 kursi
- Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) - 483.014 suara, 1,28%, 4 kursi
- Partai Rakyat Nasional (PRN) - 242.125 suara, 0,64%, 2 kursi
- Partai Buruh Indonesia - 224.167 suara, 0,59%, 2 kursi
- Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) - 219.985 suara, 0,58%, 2 kursi
- Partai Rakyat Indonesia (PRI) - 206.161 suara, 0,55%, 2 kursi
- Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) - 200.419 suara, 0,53%, 2 kursi
- Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) - 199.588 suara, 0,53%, 2 kursi
- Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) - 178.887 suara, 0,47%, 1 kursi
- Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) - 178.481 suara, 0,47%, 1 kursi
- Grinda - 154.792 suara, 0,41%, 1 kursi
- Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) - 149.287 suara, 0,40%, 1 kursi
- Partai Persatuan Dayak (PPD) - 146.054 suara, 0,39%, 1 kursi
- PIR Hazairin - 114.644 suara, 0,30%, 1 kursi
- Partai Persatuan Tharikah Islam (PPTI) - 85.131 suara, 0,22%, 1 kursi
- Angkatan Kemenangan Umat Islam (AKUI) - 81.454 suara, 0,21%, 1 kursi
- Persatuan Rakyat Desa (PRD) - 77.919 suara, 0,21%, 1 kursi
- Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM) - 72.523 suara, 0,19%, 1 kursi
- Partai Acoma - 64.514 suara, 0,17%, 1 kursi
- Soedjono Prawirosoedarso - 53.306 suara, 0,14%, 1 kursi
- Lain-lain - 1.022.433 suara, 2,71%, -
JUMLAH - 37.785.299 suara, 100,00%, 257 kursi