Liputan6.com, Jakarta Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati, menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa endemik. Satwa endemik adalah hewan yang mendiami suatu wilayah tertentu dan secara general tidak ditemukan di wilayah lain. Sayangnya, ada beberapa hewan endemik Indonesia yang dinyatakan punah.Â
Baca Juga
Meskipun luas daratannya hanya mencakup sekitar 1,3% dari total daratan di dunia, sekitar 17% dari seluruh jenis satwa di planet ini dapat ditemukan di Indonesia. Indonesia memimpin dalam hal kekayaan mamalia, dengan lebih dari 500 jenis mamalia yang beraneka ragam. Selain itu, negara ini juga menjadi rumah bagi lebih dari 1.500 jenis burung. Bahkan di bawah permukaan air, sebanyak 45% dari seluruh jenis ikan di dunia dapat ditemukan di perairan Indonesia.Â
Advertisement
Namun, karena kurangnya upaya konservasi ada sebagian hewan endemik Indonesia dinyatakan punah. Indonesia memang terkenal dengan daftar panjang satwa liar yang terancam punah. Menurut IUCN, sekitar 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, 32 jenis amfibi, dan 140 jenis satwa lainnya di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat rentan.Â
Bahkan, ada 69 spesies yang dinyatakan sebagai kritis, 197 spesies sebagai terancam, dan 539 jenis sebagai rentan. Berikut ulasan lebih lanjut tentang hewan endemik Indonesia yang dinyatakan punah, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (28/12/2023).
1. Harimau Bali (Panthera tigris Balica)
Harimau Bali yang dalam budaya Bali sering disebut sebagai sang mong, merupakan subspesies harimau pertama yang dinyatakan punah di Indonesia. Harimau Bali merupakan salah satu dari tiga subspesies harimau yang mendiami Indonesia, bersama dengan Harimau Jawa yang kini telah punah dan Harimau Sumatera yang berstatus terancam punah. Keberadaan mereka mencerminkan keindahan dan kekayaan alam Indonesia, namun sayangnya, nasib Harimau Bali berakhir tragis.
Sejarah kepunahannya tercatat sebagai peristiwa dramatis pada tanggal 27 September 1937. Harimau Bali terakhir ditembak mati di wilayah Sumber Kimia, Bali Barat. Kejadian ini terjadi di tengah meningkatnya aktivitas perburuan, terutama setelah kedatangan Belanda ke tanah air. Status kepunahannya baru diresmikan pada tahun 1938.
Berbagai faktor, termasuk perburuan liar yang meningkat, berkontribusi pada kepunahan Harimau Bali. Namun, kelambatan sistem reproduksi mereka juga turut berperan. Proses pembiakan yang berlangsung selama 20-30 hari dan masa kehamilan selama 90 hari hanya menghasilkan 2-3 anak harimau. Bahkan setelah kelahiran, anak-anak harimau itu harus menghadapi risiko menjadi mangsa predator setelah tumbuh besar.
2. Harimau Jawa (Panthera tigris Sondaica)
Pada tahun 1980-an, harimau Jawa resmi dinyatakan punah, meninggalkan tanda tanya besar tentang masa depan keanekaragaman hayati di tanah airnya. Sebagai bagian dari kekayaan alam Indonesia, harimau Jawa menjadi korban dari dua ancaman utama; perburuan liar dan perkembangan lahan pertanian yang semakin mempersempit serta merusak habitat mereka.Â
Upaya manusia untuk mengambil manfaat dari lahan dan kekayaan alam seringkali mengabaikan dampak negatifnya terhadap kehidupan liar. Hharimau Jawa menjadi salah satu korban paling mencolok dari keseimbangan yang terganggu ini.
Pada tahun 1940-an, pemerintah Indonesia mencoba untuk menyelamatkan harimau Jawa dengan membentuk beberapa taman nasional. Sayangnya, upaya ini terhambat oleh dua faktor krusial, yaitu ukuran taman konservasi yang terlalu kecil dan jumlah mangsa yang disediakan yang terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan harimau Jawa. Maka, walaupun ada usaha penyelamatan, harimau Jawa tetap berada di ambang kepunahan.
Keadaan semakin memburuk pada tahun 1950-an, ketika hanya tersisa sekitar 25 ekor harimau Jawa di alam liar. Ironisnya, upaya pengembangbiakan yang dimulai tidak mampu menghentikan penurunan populasi. Pada tahun 1972, hanya tersisa tujuh ekor harimau Jawa, sebuah angka yang sangat meresahkan dan menggambarkan kelemahan serius dalam upaya konservasi.
Advertisement
3. Tikus Pohon Raksasa Verhoeven (Papagomys theodorverhoeven)
Tikus Pohon Raksasa Verhoeven atau dikenal dengan nama ilmiah Papagomys theodorverhoeven, adalah makhluk misterius yang pernah menghuni pulau Flores. Keberadaan spesies ini menjadi bagian dari catatan paleontologi, hanya dapat dijelajahi melalui sisa-sisa fosil yang ditemukan di Gua Liang Toge dan Liang Bua di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejak penemuan pertama kali, tikus pohon raksasa ini telah menjadi bukti sejarah hidup pulau tersebut. Namun, kesedihan menyelimuti narasi ini karena pada tahun 1996, spesies yang unik ini dinyatakan punah. Keputusan ini diambil berdasarkan temuan fosil yang menunjukkan bahwa tikus pohon raksasa telah lenyap dari ekosistemnya.
Meskipun pengumuman resmi kepunahan telah dilakukan pada tahun 1996, beberapa ahli tetap mempertanyakan waktu tepat kehilangan spesies ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tikus pohon raksasa Verhoeven mungkin telah punah pada tahun 1500 Masehi. Debat tentang waktu kepunahan ini menggambarkan kompleksitas dalam menentukan titik hilangnya suatu spesies, terutama ketika hanya sisa-sisa fosil yang dapat diandalkan.
Menariknya, hingga hari ini, beberapa ahli masih mempertimbangkan kemungkinan bahwa tikus pohon raksasa ini mungkin belum sepenuhnya punah. Keyakinan ini muncul dari kenyataan bahwa penelitian menyeluruh di pulau Flores masih harus dilakukan. Eksplorasi yang lebih mendalam di daerah ini dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang sisa-sisa kehidupan yang mungkin telah bertahan dari kepunahan.
4. Tikus Gua Flores (Spelaeomys florensis)
Tikus Gua Flores, yang dalam bahasa ilmiah dikenal sebagai Spelaeomys florensis, juga hanya diketahui keberadaannya melalui fosil di gua-gua Liang Toge dan Liang Bua di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sisa fosil Tikus Gua Flores merupakan jendela ke masa lalu, membawa kita pada petualangan ilmiah untuk memahami kehidupan yang pernah ada.Â
Dalam catatan penelitian MacPhee dan Flemming, tikus ini resmi dinyatakan punah pada ada tahun 1996. Penelitian tersebut juga mengatakan bahwa kepunahan Tikus Gua Flores mungkin telah terjadi jauh sebelum tahun 1500 Masehi, bahkan sejak zaman Holosen.
5. Burung Kuau Bergaris Ganda (Argusianus bipunctatus)
Burung Kuau Bergaris Ganda merupakan bagian dari keluarga kuau yang termasuk ke dalam genus Argusianus bersama dengan kuau raja (Argusianus argus). Kuau bergaris ganda menjadi bukti betapa rapuhnya beberapa spesies terhadap ancaman kepunahan.
Ironisnya, keberadaan kuau bergaris ganda tidak pernah terungkap di alam liar. Sebagian besar informasi tentang spesies ini berasal dari sejumlah bulu yang dikirim ke London untuk diteliti. Penelitian ini menjadi satu-satunya jendela wawasan keindahan dan keunikan burung ini yang telah lenyap tanpa sempat diabadikan di habitatnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menarik garis tegas pada peta keberlanjutan kehidupan kuau bergaris ganda. Hasilnya, burung ini secara resmi dinyatakan punah, menjadi satu lagi bagian dari daftar berat kepunahan spesies asli Indonesia.
6. Ikan Pari Jawa (Java Stingaree)
Pengumuman kepunahan pari Jawa terjadi di panggung dunia, pada KTT iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada awal Desember 2023. Ikan Pari Jawa, dengan nama latin java stingaree, dinyatakan punah dan dikeluarkan dari Red List of Threatened Species oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Spesies ini hanya dikenal dari satu spesimen, yang dikumpulkan pada tahun 1862 di pasar ikan di Jakarta. Dilansir dari Radio Free Asia, Craig Hilton-Taylor, kepala Unit Daftar Merah IUCN mengatakan, “ Hilangnya salah satu kerabat ikan pari ini menandai kepunahan pertama spesies ikan laut akibat aktivitas manusia."Â
Menurut penelitian Julia Constance, ketua penilai dan kandidat PhD di Charles Darwin University di Australia, kepunahan Ikan Pari Jawa disebabkan oleh penangkapan yang intensif dan tidak diatur, bersama dengan degradasi habitat pesisir yang disebabkan oleh industrialisasi tanpa kendali. Faktor-faktor ini bersatu, membentuk badai kepunahan yang melibas keberadaan spesies ini dari perairan Jawa.
Daftar Merah IUCN, sebagai pedoman utama untuk menilai risiko kepunahan dan status spesies, memberikan kita pandangan yang mendalam tentang dampak aktivitas manusia terhadap kehidupan di bumi. Seiring dengan perubahan iklim yang semakin menjadi ancaman, IUCN memperingatkan akan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati planet kita.
Â
Advertisement