Liputan6.com, Jakarta Pemilihan Umum tahun 1995 menjadi tonggak sejarah dalam kisah panjang perjalanan politik Indonesia, terutama terkait dengan Konstituante Republik Indonesia. Pasalnya pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada tahun tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada 1995 bertujuan membentuk dewan perwakilan yang bertugas membentuk konstitusi baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam perjalannya, Konstituante mengalami liku-liku yang signifikan sejak pemilihan umum tersebut.
Namun setelah pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada 1995, konstituante malah terus mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugasnya. Kegagalan ini memuncak dalam dekrit presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang dikeluarkan oleh Soekarno untuk membubarkan Konstituante.
Berikut perjalanan pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada 1995 yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (5/1/2023).
Latar Belakang Pembentukan Dewan Konstituante
Latar belakang sejarah Konstituante dapat ditarik dari momen-momen kunci dalam perjalanan Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dengan terbentuknya PPKI dan pemilihan Soekarno sebagai Presiden serta Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, UUD 1945 menjadi konstitusi sementara yang harus digantikan oleh konstitusi baru yang lebih komprehensif.
Ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada 27 Desember 1949, konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi RIS. Namun, setelah pembubaran RIS pada Agustus 1950, UUDS 1950 menjadi dasar hukum yang mengatur Indonesia. Pembentukan Konstituante diatur oleh Pasal 134 UUDS 1950, yang menetapkan bahwa Konstituante, bersama dengan pemerintah, harus segera menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950.
Pemilu untuk memilih anggota konstituante dilaksanakan pada Pemilu 1955. Anggota Konstituante dipilih oleh warga negara Indonesia berdasarkan dasar umum, dengan cara bebas dan rahasia sesuai aturan yang ditetapkan. Meskipun Dewan Konstituante mengalami kegagalan, Pemilu 1955 memberikan momentum bagi partisipasi rakyat dalam membangun dasar negara yang lebih kokoh dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sejarah ini menjadi bukti betapa pentingnya peran rakyat dalam membentuk arah politik dan konstitusional sebuah negara.
Advertisement
Hasil Pemilu Anggota Konstituante dan Susunan Organisasinya
Pemilihan anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955 menandai babak baru dalam dinamika politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Hasil pemilu ini memperlihatkan komposisi yang mencerminkan keberagaman pandangan politik di tengah masyarakat Indonesia saat itu.
Partai Nasional Indonesia (PNI) tetap menjadi kekuatan utama dengan meraih 23,97% suara dan 119 kursi, sementara Masyumi mempertahankan posisi kedua dengan 20,59% suara dan 112 kursi. PKI juga terus menunjukkan kekuatannya dengan meraih 16,47% suara dan 80 kursi.
Dengan total kursi yang diperebutkan sebanyak 514, pemilu ini memberikan gambaran tentang kontribusi berbagai partai politik dalam membentuk Dewan Konstituante. Meskipun terdapat kendala seperti tingkat buta huruf yang tinggi dan kesulitan dalam mendapatkan tenaga terampil untuk menjadi panitia pemungutan suara, partisipasi pemilih tetap tinggi, melibatkan lebih dari 39 juta orang.
Struktur organisasi Dewan Konstituante mencerminkan representasi dari berbagai partai dan golongan politik. Susunan organisasi tersebut memperlihatkan keberagaman dan inklusivitas dalam pembentukan kebijakan. Berikut susunan organisasi Dewan Konstituante.
- Ketua: Wilopo (Partai Nasional Indonesia)
- Wakil Ketua: Prawoto Mankusasmito (Partai Masyumi)
- Wakil Ketua: Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia/Parkindo)
- Wakil Ketua: Fathurrahman Kafrawi (NU)
- Wakil Ketua: Sakirman (PKI)
- Wakil Ketua: Ratu Aminah Hidayat (IPKI)
Dengan adanya tiga blok utama, yaitu Blok Pancasila, Blok Islam, dan Blok Sosio-Ekonomi, Dewan Konstituante mencerminkan keragaman pandangan politik dan kepentingan masyarakat Indonesia. Blok Pancasila yang memiliki 53,3% kursi menunjukkan dukungan besar terhadap ideologi dasar negara. Blok Islam dengan 44,8% kursi memberikan representasi penting untuk kelompok berbasis agama, sementara Blok Sosio-Ekonomi dengan 2% kursi mencerminkan perwakilan kepentingan sosial-ekonomi.
Meskipun Dewan Konstituante pada akhirnya mengalami kegagalan dalam menetapkan Undang-Undang Dasar baru, susunan organisasinya memberikan gambaran tentang semangat kolaborasi dan dialog di antara perwakilan berbagai partai politik. Dengan demikian, pemilihan dan susunan Dewan Konstituante tahun 1955 mencerminkan langkah-langkah awal dalam proses demokratisasi Indonesia pada masa itu, meskipun penuh dengan tantangan dan kompleksitas.
Kegagalan Dewan Konstituante
Kegagalan Dewan Konstituante pada tahun 1959 menjadi sebuah episode kritis dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Terpilih pada 1955 dengan mandat untuk merumuskan Undang-Undang Dasar baru yang akan menggantikan UUDS 1950, Konstituante seharusnya menjadi lembaga yang menggambarkan kemauan rakyat dan memperkuat fondasi hukum negara. Namun, kenyataannya, proses tersebut justru berakhir dengan kegagalan yang mengesankan.
Sejak awal berdirinya, Konstituante menghadapi tantangan dan kendala yang kompleks. Meskipun terdapat upaya bersungguh-sungguh dari para anggota untuk merumuskan UUD baru, proses tersebut berjalan lambat dan penuh gejolak. Hingga tahun 1958, Konstituante masih belum berhasil mencapai kesepakatan yang memadai untuk merumuskan UUD baru.
Puncak kegagalan terjadi pada Sidang Konstituante tanggal 22 April 1959, ketika Presiden Soekarno menegaskan kembali penggunaan UUD 1945 sebagai landasan negara. Pemungutan suara pada tanggal 30 Mei 1959 menunjukkan persetujuan mayoritas terhadap UUD 1945, tetapi pemungutan suara tersebut harus diulang karena tidak memenuhi kuorum yang diperlukan. Pemungutan suara kedua pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959 kembali berujung pada kegagalan, menandakan kesulitan dalam mencapai kesepakatan di kalangan anggota Konstituante.
Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan penetapan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Kegagalan ini menandai akhir dari peran Konstituante sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang Dasar baru dan menciptakan kevakuman hukum yang memaksa pengembalian pada UUD 1945.
Kegagalan Dewan Konstituante pada tahun 1959 tidak hanya mencerminkan kesulitan dalam mencapai konsensus politik yang kokoh, tetapi juga menyoroti tantangan dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan pembentukan hukum dalam konteks politik yang kompleks. Sejarah ini menjadi catatan pahit dan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, mengingatkan akan perlunya proses politik yang inklusif dan kemampuan lembaga untuk mengatasi perbedaan serta menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat.
Advertisement