Liputan6.com, Jakarta Pada tahun 1960 presiden membubarkan DPR hasil pemilu sebab? Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membuat keputusan kontroversial dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terpilih dalam pemilu 1955. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak dan memicu pro dan kontra di masyarakat. Sebagai orang yang berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia, Soekarno memiliki alasan kuat di balik keputusannya untuk membubarkan DPR tersebut.
Pada tahun 1960 presiden membubarkan DPR hasil pemilu sebab? Salah satu alasan utama di balik keputusan Soekarno adalah situasi politik yang tidak stabil saat itu. Pasca pemilu 1955, terjadi perpecahan di antara beberapa partai politik yang memperparah ketegangan politik di Indonesia. Soekarno percaya bahwa DPR yang ada, tidak lagi mewakili kepentingan rakyat secara utuh.
Untuk itu, ia mengambil langkah tegas dengan membubarkan DPR untuk merestrukturisasi kekuasaan politik di Indonesia. Pada tahun 1960 presiden membubarkan DPR hasil pemilu sebab, tidak mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh negara. Dengan membubarkan DPR, Soekarno berharap dapat menyatukan kekuatan politik di tangan presiden, untuk menghadapi tantangan yang ada.
Advertisement
Meskipun menuai kontroversi, langkah ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik di tengah kekacauan yang terjadi. Berikut ini alasan presiden membubarkan DPR hasil pemilu yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (9/1/2024).Â
Alasan Presiden Membubarkan DPR Hasil Pemilu Tahun 1960
Pada 5 Juli 1959, Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, mengeluarkan Dekret Presiden yang mencatatkan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Keputusan tersebut bermula dari ketidakmampuan Badan Konstituante dalam menetapkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Sebelumnya, Bung Karno telah merilis Dekret Presiden pada tanggal tersebut setelah Badan Konstituante dianggap gagal dalam tugasnya.Â
Dalam 'Dekrit Presiden 5 Juli 1959,' yang terdokumentasi di situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), diumumkan bahwa dekret resmi tersebut dikeluarkan di Istana Merdeka, Jakarta pada Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB. Melalui dekret ini, Presiden Sukarno mengambil keputusan drastis dengan membubarkan lembaga tertinggi negara, yaitu Konstituante hasil dari pemilihan umum tahun 1955 yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia.
Peristiwa pembubaran DPR pada 5 Maret 1960 kemudian menjadi momen bersejarah yang mencatatkan tindakan Presiden Sukarno, sebagai respons terhadap situasi politik dan konstitusional yang dihadapi oleh Indonesia pada masa itu. Salah satu alasan di balik keputusan Sukarno dalam membubarkan DPR adalah, karena ketegangan politik dan konflik internal yang terjadi di DPR. Konflik ini diketahui dipicu oleh ketidakkompakan partai politik yang ada di saat itu. Sukarno bertindak sebagai langkah tegas untuk menenangkan situasi politik yang semakin memanas.
Selain itu, ada juga spekulasi bahwa keputusan ini merupakan langkah strategis Sukarno untuk memperkuat kekuasaannya sebagai presiden. Dengan membubarkan DPR, Sukarno memiliki kesempatan untuk mengendalikan pemerintahan secara langsung tanpa adanya ketergantungan pada parpol dan DPR. Meskipun alasan di balik keputusan tersebut masih banyak diperdebatkan, tak bisa dipungkiri bahwa langkah tersebut memiliki dampak yang besar dalam perkembangan politik di Indonesia. Keputusan ini menjadi salah satu contoh dari kekuasaan dan kepemimpinan Sukarno yang otoriter, selama masa pemerintahannya
Â
Advertisement
Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959
Adapun isi Dekret Presiden Sukarno yang dikeluarkan pada 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini menjatakan dengan chidmat:
Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;
Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja.
Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959
Atas nama Rakjat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
SOEKARNO
Kebijakan Kontroversial Bung Karno
1. Membubarkan DPR pada 1960
Meskipun Pasal 7C UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa seorang presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun pada tahun 1960, Presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno, melanggar norma tersebut. Tindakan kontroversial ini terjadi setelah DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah. Soekarno merespons dengan membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, menganggapnya tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan saat itu. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 kemudian menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) sebagai pengganti, menandai episode penting dalam sejarah politik Indonesia.
2. Jabatan Presiden Seumur Hidup
Soekarno, sebagai presiden pertama Indonesia dari tahun 1945 hingga 1967, mencatatkan sejarah dengan keputusan kontroversialnya untuk menetapkan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Keputusan ini, diakui oleh Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1963, diambil empat tahun sebelum Soekarno lengser dari jabatannya. Chaerul Saleh menjadi arsitek di balik keputusan tersebut, mengklaim bahwa itu adalah langkah untuk melindungi Soekarno dari potensi ancaman, di tengah kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun Soekarno awalnya khawatir akan citra internasionalnya, akhirnya, ia menerima jabatan seumur hidup, meskipun keputusan tersebut dinilai menyimpang dari UUD 1945 dan tidak diakui oleh hukum.
3. Proyek Mercusuar
Prestise Nasional vs. Krisis EkonomiPada masa pemerintahan Soekarno, proyek mercusuar menjadi upaya untuk menarik perhatian dunia internasional dengan membangun infrastruktur megah. Dimulai pada tahun 1962, proyek ini, terutama terkait dengan penyelenggaraan Asian Games, melibatkan enam pembangunan utama: Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, Monumen Selamat Datang, Monas, dan Gedung DPR/MPR. Meskipun proyek tersebut menciptakan simbol-simbol nasional, dampak negatifnya terasa pada perekonomian, terutama di tengah krisis keuangan. Soekarno, dengan tekadnya, menjalankan proyek ini sebagai bukti keberhasilan Indonesia di mata dunia.
4. Keluar dari Keanggotaan PBB
Keputusan kontroversial Soekarno untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1965, memunculkan pro dan kontra di kalangan internasional. Latar belakang keluarnya Indonesia dari PBB terkait dengan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang semakin memuncak, ketika Malaysia menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Pada pidato di PBB pada 7 Januari 1965, Soekarno mengumumkan keluarnya Indonesia dari PBB sebagai bentuk protes. Meskipun keputusan ini mendapat kritik, Indonesia bergabung kembali dalam keanggotaan PBB pada 28 September 1966, menandai akhir dari periode isolasi diplomatis yang kontroversial.Â
Advertisement