Sukses

Konstituante Hasil Pemilu 1955 Bertugas Untuk Apa? Ini Penjelasan Lengkapnya

Konstituante hasil pemilu 1955 bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Liputan6.com, Jakarta Konstituante hasil pemilu 1955 bertugas untuk apa penting diketahui oleh masyarakat Indonesia. Dewan Konstituante dibentuk dari hasil Pemilu tahun 1955. Pembentukan dewan konstituante yakni pada 15 Desember 1955.

Secara umum, konstituante hasil pemilu 1955 bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Sayangnya hal tersebut tidak dapat terlaksana oleh dewan konstituante.

Agar lebih paham mengenai sejarah pemilihan umum 1955, berikut Liputan6.com ulas mengenai konstituante hasil pemilu 1955 bertugas untuk apa yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (11/1/2024).

2 dari 4 halaman

Pembentukan Dewan Konstituante

Pada masa demokrasi liberal yang dikenal pula sebagai masa demokrasi parlementer, yang menunjukan peran parlemen sangat besar dalam perpolitikan di Indonesia saat itu. Selama kurun waktu antara tahun 1950 hingga 1959, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh tujuh kabinet yang bersifat parlementer.

Banyaknya kabinet dalam kurun waktu 9 tahun menunjukan tingkat perkembangan konflik politik sangat tinggi. Hal itu berakibat pada jatuh bangunnya kabinet yang bermuara pada ketidakstabilan politik.

Didorong oleh kesadaran menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakat menuntut diadakannya Pemilihan Umum atau pemilu. Kemudian persiapan Pemilu dirintis oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Pada bulai Mei 1954, pemerintah membentuk Panitia Pemilu yang kemudian merencanakan pelaksanaan Pemilu dalam dua tahap, yakni:

  1. Pemilu tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
  2. Pemilu tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (dewan pembuat undang-undang dasar).

Pemilu tahun 1955 ini merupakan pemilu yang paling demokratis. Meskipun demikian, DPR maupun Konstituante tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Kecenderungan partai-partai politik untuk lebih mementingkan kepentingan kelompoknya daripada aspirasi rakyat masih tetap muncul.

Akibatnya stabilitas politik menjadi terganggu hingga terjadi berbagai pemberontakan. Krisis politik yang semakin memuncak mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan suatu dekrit yang mengakhiri masa demokrasi liberal.

3 dari 4 halaman

Tugas Konstituante Hasil Pemilu 1955

Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, konstituante hasil pemilu 1955 bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Dewan Konstituante dibentuk dari hasil Pemilu tahun 1955. Pembentukan dewan konstituante yakni pada 15 Desember 1955. Namun, situasi politik semakin tidak stabil setelah Konstituante gagal menunaikan tugas yang diembannya. Konstituante gagal merumuskan UUD baru.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibukota Jawa Barat. (Kebetulan, sidang-sidang lembaga itu dilakukan di gedung yang sama dengan Konferensi Asia-Afrika ‘55.) Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf undang-undang dasar berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit.

Meskipun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan pekerjaannya.

Hingga tahun 1958, Konstituante masih belum berhasil mencapai kesepakatan yang memadai untuk merumuskan UUD baru. Puncak kegagalan terjadi pada Sidang Konstituante tanggal 22 April 1959, ketika Presiden Soekarno menegaskan kembali penggunaan UUD 1945 sebagai landasan negara.

4 dari 4 halaman

Pembubaran Dewan Konstituante

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden ‘59 yang secara sepihak membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD ‘45 sebagai dasar negara Indonesia, dan dengan itu juga meningkatkan kekuatan eksekutif dan militer.

Sejak itu, diadakanlah pemungutan suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 1959 menunjukkan persetujuan mayoritas terhadap UUD 1945, tetapi pemungutan suara tersebut harus diulang karena tidak memenuhi kuorum yang diperlukan. 

Pemungutan suara kedua pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959 kembali berujung pada kegagalan, menandakan kesulitan dalam mencapai kesepakatan di kalangan anggota Konstituante. Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan penetapan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Kegagalan ini menandai akhir dari peran Konstituante sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang Dasar baru dan menciptakan kevakuman hukum yang memaksa pengembalian pada UUD 1945.

Dari ketiga pemungutan suara yang dilakukan, sebenarnya mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, tetapi terbentur dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah voting ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959.

Meskipun Konstituante tidak berhasil mengesahkan undang-undang dasar yang baru untuk Indonesia, namun institusi ini tetap penting secara historis. Untuk tujuan proyek ini, keanggotaannya dipandang sangat penting mengingat 610 individu (termasuk anggota pengganti dan anggota yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas) yang berada di dalamnya mencerminkan elit politik pada kasta tertinggi di Indonesia pada saat itu.

Kegagalan Dewan Konstituante pada tahun 1959 tidak hanya mencerminkan kesulitan dalam mencapai konsensus politik yang kokoh, tetapi juga menyoroti tantangan dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan pembentukan hukum dalam konteks politik yang kompleks. Sejarah ini menjadi catatan pahit dan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, mengingatkan akan perlunya proses politik yang inklusif dan kemampuan lembaga untuk mengatasi perbedaan serta menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat.