Sukses

Empat Partai Pemenang Pemilu 1955 Teratas dan Terbawah, Simak Hasil Suaranya

Empat partai pemenang teratas adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Liputan6.com, Jakarta - Pada pelaksanaan pemilu 1955, terdapat delapan partai yang berhasil meraih kemenangan. Empat partai pemenang Pemilu 1955 adalah Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Keempat partai ini berhasil meraih suara tertinggi di antara partai lainnya, dan berhasil menduduki posisi teratas dalam pemilu tersebut.

Masyumi berhasil meraih suara terbanyak dalam pemilu 1955, sehingga menjadikannya sebagai partai pemenang tertinggi. Sementara NU juga berhasil meraih posisi yang kokoh dengan jumlah suara yang signifikan. Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) juga masuk dalam empat partai pemenang dengan perolehan suara yang cukup besar.

Meskipun hanya terdapat empat partai pemenang Pemilu 1955 yang disebutkan di sini, namun penting untuk diingat bahwa terdapat delapan partai yang berhasil meraih kemenangan dalam pemilu 1955. Perolehan suara yang mereka dapatkan mencerminkan keberagaman politik di Indonesia pada saat itu, serta menunjukkan bahwa masyarakat memiliki preferensi yang beragam terhadap partai politik yang ada.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang empat partai pemenang pemilu 1955 teratas dan terbawah yang dimaksudkan, Kamis (11/1/2024).

2 dari 4 halaman

Empat Partai Pemenang Pemilu 1955 Teratas

Pada Pemilu 1955, empat partai teratas yang berhasil memenangkan kursi pemerintahan adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai NU, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keempat partai ini memberikan kontribusi besar dalam bentuk representasi politik pada masa tersebut.

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

Partai Nasional Indonesia (PNI), dipimpin oleh Sidik Djojosukarto, berhasil meraih suara lebih dari 8 juta orang, atau dengan persentase 22,3%, yang berujung pada pemberian 57 kursi pemerintahan. Partai ini memainkan peran penting dalam merepresentasikan suara dari beragam lapisan masyarakat Indonesia, dengan berbagai agenda dan visi politik yang mendapat dukungan luas.

2. Partai Masyumi

Partai Masyumi, yang dipimpin oleh Soekiman Wirjosandyojo, mendapat 7,9 juta suara dengan selisih tipis dibandingkan PNI. Partai ini juga berhasil mendapatkan 57 kursi dengan persentase 20,9%. Masyumi memiliki peran penting dalam mengakomodasi suara dari komunitas Muslim di Indonesia, dan memberikan wakil yang signifikan bagi golongan tersebut dalam ranah politik nasional.

3. Partai NU

Partai NU, dipimpin oleh Abdul Wahab, berhasil memperoleh 6,9 juta suara, dengan pemberian 45 kursi dan persentase 18,4%. Partai NU memberikan wakil bagi komunitas Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam yang luas jangkauannya, sehingga menjadi suara penting dalam politik Islam di Indonesia pada saat itu.

4. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dipimpin oleh Alimin, berhasil mengumpulkan suara lebih dari 6 juta orang dan menguasai 16,4% suara. Partai ini mendapat 39 kursi pemerintahan. Meskipun persentasenya lebih rendah dari partai lain, PKI berperan sebagai wakil bagi kalangan pekerja, buruh, dan golongan komunis, memberikan warna yang beragam dalam ranah politik Indonesia pada masa itu.

3 dari 4 halaman

Empat Partai Pemenang Pemilu 1955 Terbawah

4. PSII, atau Partai Syarikat Islam Indonesia

Pada Pemilu 1955, empat partai terbawah yang berhasil memenangkan kursi pemerintahan adalah PSII, Parkindo, Partai Katolik, dan PSI. Setiap partai tersebut memberikan kontribusi yang berharga dalam keberagaman politik Indonesia pada masa tersebut.

PSII, atau Partai Syarikat Islam Indonesia, merupakan partai politik yang didirikan pada tahun 1937 dan memiliki dasar dukungan yang kuat dari kalangan kaum Muslim di Indonesia. Dipimpin oleh Anwar Tjokroaminoto, partai ini berhasil meraih 1 juta suara atau setara dengan 2,89% dari total suara, dan memperoleh 8 kursi pemerintahan. PSII berperan penting dalam mewakili suara dari komunitas Muslim di Indonesia dan menjadi salah satu suara signifikan dalam politik pada masa itu.

5. Parkindo

Parkindo, yang dipimpin oleh Johanes Leimina, merupakan partai politik lainnya yang berhasil memperoleh 8 kursi setelah mengumpulkan 1 juta suara dengan persentase 2,6%. Parkindo memiliki peran khusus dalam mewakili suara dari komunitas Hindu di Indonesia, dan dalam konteks politik pada masa itu, memberikan wakil yang signifikan bagi golongan tersebut dalam ranah politik nasional.

6. Partai Katolik

Partai Katolik, yang dipimpin oleh I. J. Kasimo, merupakan partai politik yang mewakili komunitas Katolik di Indonesia. Pada pemilu 1955, mereka berhasil meraih 700 ribu suara atau sekitar 2% dari total suara dan memperoleh 6 kursi pemerintahan. Kontribusi Partai Katolik dalam memberikan representasi bagi komunitas Katolik dalam bidang politik sangat penting, menjadikannya sebagai salah satu suara yang diakui pada masa itu.

7. PSI, Partai Sosialis Indonesia

Terakhir, PSI, Partai Sosialis Indonesia, dipimpin oleh Sutan Syahrir. Partai ini berhasil memperoleh 700 ribu suara dengan persentase 1,99% dan berhak mendapat 5 kursi pemerintahan. PSI memainkan peran krusial dalam memberikan representasi bagi ideologi sosialis dan Marxis, serta memberikan suara dari kalangan pekerja dan buruh di Indonesia, serta memberikan corak beragam dalam ranah politik pada masa itu.

 

4 dari 4 halaman

Sejarah Pemilu 1955 di Indonesia

Pemilihan pertama seharusnya dilaksanakan pada Januari 1946, tetapi karena Revolusi Nasional Indonesia masih berlangsung, pelaksanaannya menjadi tidak memungkinkan. Pada bulan Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilu. Namun, kabinet ini jatuh sebelum dapat diperdebatkan di parlemen.

Melansir dari kesbangpol.kapuashulukab.go.id, barulah pada bulan Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU untuk pendaftaran pemilih. Tetapi, diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat baru dimulai pada bulan September karena berbagai keberatan dari partai politik.

Tiga faktor utama yang menjadi hambatan adalah kekhawatiran para legislator kehilangan kursi, kekhawatiran tentang kemungkinan pengaruh partai Islam, dan ketidaksesuaian sistem pemilihan dengan Konstitusi Sementara tahun 1950, yang berarti lebih sedikit perwakilan untuk daerah di luar Jawa.

"Peristiwa 17 Oktober 1952" menjadi titik puncak yang mempercepat kebutuhan akan pemilihan umum, ketika tentara bersenjata menuntut pembubaran badan legislatif, menciptakan desakan yang lebih besar dari semua pihak untuk pemilihan awal. Pada akhirnya, RUU Pemilu diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 November.

Setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut disahkan pada 1 April 1953 dan menjadi hukum pada 4 April. RUU ini menetapkan jumlah keanggotaan legislatif, memberikan hak memilih bagi semua orang yang berusia di atas 18 tahun, atau yang sudah menikah. Meskipun kabinet yang mengenalkan RUU pemilu jatuh setelah langkah-langkah kontroversial, perencanaan pemilu terus berlanjut.

Sejarah pemilu 1955 di Indonesia merupakah tonggak bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Meskipun persiapan awalnya mengalami keterlambatan, dengan pengangkatan anggota panitia Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dimulai pada 15 September daripada tanggal 1 Agustus seperti yang direncanakan, tetapi kegigihan panitia TPS di berbagai daerah membuat mereka siap pada hari pemilihan.

Pemilu 1955 dilakukan 2 kali, yang pertama pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR, dan kemudian 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Hari pemungutan suara berjalan dengan aman, meskipun terdapat rumor-rumor yang menciptakan ketegangan di masyarakat. Tingkat partisipasi mencapai tingkat yang tinggi, dengan 87,65% pemilih memberikan suara sah.

Adanya tingkat partisipasi yang tinggi dan suasana yang relatif damai, pemilu ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia pada waktu itu memiliki kesadaran akan pentingnya proses demokrasi. Hasilnya menciptakan legitimasi bagi perwakilan rakyat yang terpilih dan menandai sebuah langkah besar dalam membangun fondasi politik negara yang baru merdeka.