Sukses

Pemilu 1955 Diselenggarakan pada Masa Kabinet Burhanuddin, Sempat Tertunda

Dalam sejarah politik di Indonesia, pemilu 1955 diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara demokrasi pad 17 agustus 1945. Dilansir dari Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955, pada sebuah negara demokrasi kedaulatan negara berada di tangan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah yang mendapatkan kewenangan atas nama rakyat. Pemisahan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatis, dan yudikatif yang disebut sebagai trias potitika menjadi salah satu pilar demokrasi. 

Selain pemisahan kekuasaan dalam trias politika, Pemilihan Umum (pemilu) juga memegang peranan penting dalam pelaksanaan demokrasi di sebuah negara. Dalam sejarah politik di Indonesia, pemilu 1955 diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. 

Pemilu pertama indonesia dilaksanakan pada masa kabinet Burhanudin pada tanggal 29 September 1955. Rakyat Indonesia pertama kali berpartisipasi dalam pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilu kedua diadakan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante. 

Pemilu 1955 diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin merupakan pemilu pertama di Indonesia. Pemilu yang berlangsung pada era kepemimpinan Presiden Soekarno ini sempat mengalami penundaan beberapa kali karena situasi yang kurang mendukung. Berikut ulasan lebih lanjut tentang pemilu 1955 diselenggarakan pada masa kabinet Burhanuddin yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (16/1/2023).

2 dari 5 halaman

Perjalanan Panjang Pemilu 1955

Dilansir dari esi.kemdikbud.go.id, Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah demokrasinya dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1955. Pemilu yang akhirnya terealisasi pada 29 September 1955 ini mengalami perjalanan panjang selama 4 periode kabinet. Dimulai dari perencanaan pada oleh kabinet Natsir, Wilopo, Sukiman Suwirjo, hingga Ali Sastroamidjojo. Pada akhirnya pemilu ini dapat terlaksana pada era kabinet Burhanuddin Harahap. 

Pemilu pertama di Indonesia mulanya direncanakan untuk diselenggarakan pada Januari 1946.  Penundaan terjadi karena belum adanya Undang-undang terkait pemilu, rendahnya stabilitas keamanan negara, serta invasi asing. Pada Februari 1951, kabinet Natsir memperkenalkan RUU pemilu, tetapi kabinet ini jatuh sebelum RUU tersebut dapat dibahas di parlemen. 

Kabinet berikutnya, di bawah pimpinan Sukiman, berhasil menyelenggarakan beberapa pemilihan regional. Namun, perjalanan menuju pemilihan umum nasional masih terhambat. Pada Februari 1952, kabinet Wilopo memperkenalkan RUU pendaftaran pemilih, tetapi diskusi di Dewan Perwakilan Rakyat baru dimulai pada September karena berbagai keberatan dari partai politik.

Terdapat tiga faktor utama yang menghambat proses penyelenggaraan pemilu nasional. Pertama, para legislator khawatir kehilangan kursi mereka; kedua, kekhawatiran tentang potensi keuntungan bagi partai-partai Islam; dan ketiga, sistem pemilihan sesuai dengan Konstitusi Sementara tahun 1950, yang berarti lebih sedikit perwakilan untuk daerah di luar Jawa.

Sempat muncul keengganan untuk melanjutkan RUU pemilu karena kekhawatiran pada konflik politik yang mungkin timbul. Namun, banyak pemimpin politik mendukung pemilihan umum sebagai cara untuk mengakhiri legislatur yang didasarkan pada kompromi dengan Belanda, yang dianggap memiliki sedikit otoritas rakyat.

Peristiwa penting yang mempercepat proses pemilihan adalah "Peristiwa 17 Oktober 1952", ketika tentara bersenjata menuntut pembubaran badan legislatif, meningkatkan desakan untuk pemilihan awal. Pada 25 November 1952, RUU Pemilu diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, dan setelah 18 minggu perdebatan dan 200 usulan amandemen, RUU tersebut disahkan pada 1 April 1953 dan menjadi hukum pada 4 April.

RUU ini menetapkan jumlah keanggotaan legislatif, di mana satu anggota legislatif mewakili 150.000 penduduk, dan memberikan hak pilih bagi semua orang di atas 18 tahun atau yang sudah menikah. Namun, perselisihan terkait komite pemilihan masih berlanjut, terutama dengan protes dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Perselisihan ini masih menjadi permasalahan ketika kabinet jatuh pada 2 Juni.

3 dari 5 halaman

Persiapan Pemilu di Era Kabinet Ali Sastroamidjojo

Pada 25 Agustus 1953, perdana menteri baru, Ali Sastroamidjojo, mengumumkan jadwal persiapan untuk pemilihan selama 16 bulan mulai Januari 1954. Pada 4 November, pemerintah mengumumkan Komite Pemilihan Pusat baru yang melibatkan berbagai partai yang ada di pemerintahan.

Ini termasuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Ada pula beberapa partai pendukung pemerintah, seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Langkah-langkah ini menandai langkah menuju penyelenggaraan pemilihan yang akhirnya terwujud setelah perjalanan panjang dan penuh tantangan. Proses kampanye pemilu ini dilaksanakan dalam dua tahap yang memperkuat landasan hukum dan penyelenggaraan pemilihan.

Tahap pertama dimulai dengan disahkannya Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 April 1953. UU ini menjadi payung hukum bagi Pemilu 1955, yang diatur untuk dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Dengan diterapkannya UU ini, peraturan sebelumnya seperti UU No. 27 tahun 1948 tentang Pemilu dan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR, dinyatakan tidak berlaku lagi. Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk memastikan pelaksanaan pemilihan yang lebih demokratis dan inklusif.

Tahap kedua dari persiapan pemilu melibatkan masa kampanye yang dimulai pada 31 Mei 1954. Masa ini ditandai dengan disahkannya tanda gambar partai-partai peserta pemilu oleh Panitia Pemilihan Indonesia.

Penetapan tanda gambar partai menjadi langkah kunci dalam mempersiapkan dan memvisualisasikan partisipasi partai politik dalam proses pemilihan, memberikan identitas yang jelas kepada pemilih, serta menciptakan suasana kompetisi politik yang sehat.

Selama masa kampanye, partai-partai peserta memiliki kesempatan untuk menyampaikan visi, misi, dan program-program mereka kepada publik. Inisiatif ini mendorong masyarakat untuk lebih memahami platform politik setiap partai, yang pada gilirannya dapat memberikan dasar informasi bagi pemilih dalam membuat keputusan yang lebih terinformasi.

4 dari 5 halaman

Penyelenggaraan Pemilu 1955

Pelaksanaan pemilu pada tahun 1955 di Indonesia juga mengalami berbagai tantangan. Meskipun Panitia Pusat Pemilihan telah mengumumkan tanggal pemilihan pada bulan April 1954, pada bulan Juli dan awal Agustus, persiapan pemilu mengalami keterlambatan dari jadwal yang telah ditetapkan. Pengangkatan anggota panitia TPS yang seharusnya dimulai pada 1 Agustus tidak dilakukan oleh sebagian besar daerah, dan mereka baru memulainya pada 15 September. 

Pada 8 September, Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur menyampaikan bahwa pemilihan akan diadakan pada 29 September, kecuali di beberapa daerah yang persiapannya belum selesai. Pengumuman ini mencerminkan upaya untuk tetap memastikan pelaksanaan pemilihan meskipun terdapat kendala lokal.

Rumor-rumor menyebar menjelang hari pemungutan suara, termasuk ketakutan akan keracunan di Jawa dan penimbunan barang. Jam malam yang diberlakukan secara spontan dan tidak diumumkan beberapa malam sebelum hari pemungutan suara menunjukkan adanya ketegangan sosial dan kekhawatiran akan keamanan.

Namun, pada hari pemungutan suara sendiri, suasana damai tercipta karena kesadaran masyarakat bahwa tidak ada ancaman serius yang akan terjadi. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, dengan 87,65% suara sah dan 91,54% partisipasi, mencerminkan antusiasme dan komitmen masyarakat terhadap proses demokratisasi. Meskipun terdapat berbagai tantangan dan rumor sebelumnya, hasil pemilu mencerminkan keberhasilan dalam menciptakan pesta demokrasi yang relatif aman dan terlaksana dengan baik.

5 dari 5 halaman

Hasil Pemilu 1955

Pemilu 1955 di Indonesia menjadi titik balik sejarah politik, membawa dinamika baru dan menciptakan representasi yang beragam dalam perwakilan rakyat. Keempat partai pemenang, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), mencerminkan keberagaman pandangan politik dan dukungan masyarakat pada masa itu.

Dalam pemilu anggota DPR 1955, PNI berhasil menempati posisi pertama dengan mengumpulkan 8,4 juta suara atau 22,32 persen dari total suara, memberikan hak kepada mereka untuk mendapatkan 57 kursi. Disusul oleh Masyumi yang meraih 7,9 juta suara atau 20,92 persen dan mendapatkan 57 kursi.

Posisi ketiga diduduki oleh NU dengan perolehan 6,9 juta suara atau sekitar 18,41 persen, berhak atas 45 kursi. PKI menempati posisi keempat dengan mengumpulkan 6,1 juta suara atau sekitar 16,39 persen dan mendapatkan 39 kursi.

Perolehan kursi yang mirip juga terjadi dalam pemilihan anggota Dewan Konstituante. PNI mempertahankan posisinya sebagai partai pemenang dengan 9,07 juta suara atau sekitar 23,97 persen, meraih 119 kursi. Masyumi menempati posisi kedua dengan 7,7 juta suara atau sekitar 20,59 persen, serta mendapatkan 112 kursi.

NU mempertahankan perolehan ketiga dengan mengumpulkan 6,9 juta suara atau sekitar 18,47 persen, berhak atas 91 kursi. PKI tetap pada posisi keempat dengan 6,2 juta suara atau sekitar 16,47 persen dan mendapatkan 80 kursi.

Hasil ini mencerminkan popularitas PNI di kalangan pemilih, sementara Masyumi, NU, dan PKI juga memegang peranan penting dalam dinamika politik dan kebijakan. Keberagaman pandangan politik dan dukungan yang tercermin dari empat partai pemenang menandai periode awal demokrasi Indonesia yang berusaha mengakomodasi berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat.

Perolehan kursi yang merata antara partai-partai ini menciptakan kesempatan untuk berdialog dan merumuskan kebijakan bersama dalam proses perumusan konstitusi. Ini menjadi langkah penting dalam pembentukan dasar hukum dan tata pemerintahan yang mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia pada waktu itu. Pemilu 1955, dengan hasilnya yang menciptakan perwakilan yang beragam, menjadi landasan awal bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.