Liputan6.com, Yogyakarta Jemaat Ahmadiyah di Indonesia merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Berdasarkan data SETARA Institute, dalam rentang waktu 2007 sampai 2020, terjadi 2.713 peristiwa pelanggaran KBB di Indonesia. 570 dari peristiwa tersebut dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Baca Juga
Advertisement
Salah satu bahan bakar dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hoaks. Berita-berita palsu kerap bersembunyi di balik narasi-narasi kebebasan beragama di ruang digital.
Di tahun pemilu, hoaks kerap digunakan dalam agenda politisasi identitas, yang pada akhirnya memicu pelanggaran KBB. Fenomena ini mengungkapkan bagaimana berita palsu dan manipulatif dapat mengubah peta sosial dan politik, meninggalkan komunitas-komunitas yang paling rentan berada di garis terdepan dari sebuah pertarungan yang tidak mereka mulai.
Sasaran hoaks di tahun pemilu
Sekretaris Pers Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana mengungkapkan, narasi-narasi kesesatan tentang Ahmadiyah termasuk berita bohong. Ini karena narasi tersebut dibuat tanpa melalui proses verifikasi langsung ke Ahmadiyah dan tak sesuai dengan fakta yang ada.
Ahmadiyah sering menjadi sasaran hoaks, terlebih di tahun pemilu. Menurutnya, hoaks bisa menjadi alat politik identitas jelang pemilu. Yendra menjelaskan, hoaks-hoaks tentang Ahmadiyah yang muncul biasanya menyangkut perbedaan yang akhirnya ditafsirkan sebagai kesesatan.
"Yang paling sering (hoaks) pertama itu adalah bahwa Ahmadiyah ini adalah kelompok yang menodai agama. Pembuktiannya dengan adanya nabi baru, Nabinya bukan Nabi Muhammad, kitab sucinya bukan Al-Quran, syahadatnya berbeda. Naik haji tidak ke Mekah, tapi ngaku Islam" ujar Yendra saat dihubungi pada Rabu (20/12/2023).
Disinformasi dan misinformasi inilah yang akhirnya dibangun di daerah dan menjadi fakta integritas untuk meraih suara elektoral. Selain itu, hoaks juga digunakan oleh kelompok penekan untuk mendesak pemerintah daerah berkomitmen menghilangkan kelompok yang dianggap sesat.
"Hoaks awal yang dibangun seperti itu. Kalau sukses, biasanya mereka akan masuk ke (hoaks) tahap selanjutnya bahwa Ahmadiyah itu adalah sumber konflik" tambah Yendra.
Yendra menjelaskan dari hoaks inilah akhirnya muncul penolakan masyarakat. Ahmadiyah pun berusaha mempertahankan haknya. Aparat kemudian terlibat. Demi menjaga stabilitas keamanan, dibangun framing bahwa Ahmadiyah menjadi pemicu konflik. Kondisi ini yang kemudian menciptakan kecemasan dan ketakutan jemaah Ahmadiyah.
Advertisement
Hoaks picu perilaku intoleran
Hujan baru saja entas dari Masjid Baitul Karim yang berada di Kompleks Suryapuran, Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta. Di sebelah timur masjid, terdapat sebuah bangunan yang dinamai Tabligh Center sekaligus perpustakaan BRAy Mahyastoeti Notonagara.
Bangunan tersebut pula yang menjadi kantor sekretariat Jemaat Ahmadiyah Solo. Tanah seluas 2.750 meter persegi yang dimiliki Jemaat Ahmadiyah Solo tersebut merupakan hibah dari BRAy Mahyastoeti Notonagara, cucu Paku Buwono X. Sejak mendiami kompleks Suryapuran yang berada di kawasan Keraton Surakarta pada 1998 silam, Jemaat Ahmadiyah Solo selalu mendapat penerimaan baik dari masyarakat sekitar.
Bahkan saat di daerah-daerah lain pecah konflik pada 2008, Jemaat Ahmadiyah Solo justru mendapat perlindungan. Saat itu, pasca terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, muncul aksi-aksi intoleransi Ahmadiyah di sejumlah daerah.
Aksi penolakan juga sempat berlangsung di Solo. Saat itu, sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam sempat melakukan aksi mendesak pembubaran Ahmadiyah. Namun, konflik tak sampai terjadi karena massa tak bisa masuk ke dalam kompleks keraton.
“Kan kita didemo, banyak sekali itu. Waktu 2008 besar-besaran kita Ahmadiyah didemo. Untung kita, satu tempatnya di sini, ya. Dan masyarakat itu membela kita” ujar Maryoto, salah satu pengurus JAI Solo.
Aksi intoleransi terhadap Ahmadiyah tak lepas dari hoaks yang beredar. Maryoto mengungkapkan banyak pihak-pihak yang resisten terhadap Ahmadiyah sebenarnya belum mengenal Ahmadiyah yang sesungguhnya. Tak sedikit pula pihak yang intoleran tersebut hanya sekadar ikut menelan informasi palsu mentah-mentah.
“Ada juga yang mempertanyakannya, tentang keberadaan kita, katanya kita eksklusif. Tapi kita sih menanggapinya biasa, karena kita juga sama seperti orang Islam kebanyakan. Ya salatnya, syahadatnya, dan lain sebagainya sih. Jadi ya kita ngomong apa adanya” ujar Marwoto.
Muhaimin Khairul Amin, mubaligh JAI Solo menyebutkan ada banyak informasi simpang siur yang selama ini meliputi Ahmadiyah di Indonesia. Namun, informasi tersebut menurut Muhaimin adalah sebuah disinformasi.
Ia menjelaskan bahwa junjungan Ahmadiyah tetaplah Nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir. Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok penerus yang tidak membawa risalah, sementara wahyu yang diterima merupakan penjelasan-penjelasan dari ajaran Nabi Muhammad SAW.
Tadzkirah yang selama ini disebut sebagai kitab Ahmadiyah, sebenarnya adalah catatan perjalanan spiritual yang diterima oleh Mirza Ghulam Ahmad. Kitab suci Jemaat Ahmadiyah tetaplah Al Qur’an. Sementara syahadat yang diucapkan juga sama seperti syahadat Islam pada umumnya.
Tuduhan lain yang ditujukan terhadap Ahmadiyah adalah mereka mempunyai tanah suci sendiri untuk naik haji yaitu Qadian, India. Padahal, Ahmadiyah tidak meyakini dan tidak pernah mengatakan naik haji ke Qadian.
“Karena mereka kan istilahnya masih berpraduga, berprasangka. Buktinya setelah berinteraksi ya terkikis sendiri, tidak terbukti. Bagi yang belum mengenal ya masih ada saja yang menganggap kita berbeda” ujar Muhaimin.
Selama mendiami Kompleks Suryapuran, Jemaat Ahmadiyah di Solo tak mengalami resistensi bahkan sampai intoleransi dari warga sekitar. Menurut Maryoto, semuanya hidup berdampingan dan saling melindungi. Resistensi justru kerap datang dari luar. Ini akhirnya membuat disinformasi, misinformasi, hingga malinformasi masih tetap ditemui.
Ragam intoleransi ke Ahmadiyah
Kondisi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Di kota ini, Jemaat Ahmadiyah hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Salah satu masjid milik Ahmadiyah, Fadhli Umar, berdiri megah di pusat Kota Yogyakarta. Masjid yang memiliki empat lantai ini baru saja selesai direnovasi pada 2022 lalu. Masjid ini dibangun untuk memfasilitasi masyarakat sekitar dalam beribadah hingga berkegiatan sosial.
Murtiyono Yusuf Ismail, mubaligh JAI Yogyakarta mengungkapkan, jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta mendapatkan kesempatan yang sama untuk melakukan aktivitas ibadah maupun kemasyarakatan. Murtiyono mengungkapkan, belum pernah ada tindakan diskriminatif di Yogyakarta.
“Kemarin kita bikin acara yang tingkat nasional di sini tiga kali dan semua berjalan lancar” ujar Murtiyono saat ditemui di Yogyakarta, Selasa (26/12/2023).
Sama seperti di daerah lain, usai MUI menetapkan fatwa sesat pada Jemaat Ahmadiyah pada 2005 dan keluarnya SKB 3 Menteri pada 2008, Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta juga sempat mengalami intimidasi dari sejumlah ormas. Namun, pada 2011, Sultan HB X menegaskan tidak ada dan tidak akan ada SK atau kebijakan apapun untuk melarang Ahmadiyah di DIY.
Meski begitu, sikap intoleransi terkadang masih ditemui. Pasca penegasan Sultan terkait Ahmadiyah, FPI menentang sikap tersebut. Mereka bahkan mengancam mencabut dukungan keistimewaan DIY jika Ahmadiyah tetap dilindungi.
Namun, Sultan bergeming. Pada 2005, 2008, hingga 2011, Masjid Fadhli Umar sempat mendapat penjagaan ketat sebagai bentuk antisipasi datangnya penolakan. Meski begitu, Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta tetap beraktivitas seperti biasa. Konflik memang tak terjadi, tapi di tahun-tahun tersebut kecemasan tetap terasa.
Kecemasan ini bukan tanpa alasan. Peristiwa-peristiwa yang dialami JAI di Jawa Barat, Lombok, dan daerah lain membuat anggotanya di seluruh daerah selalu hidup dalam kewaspadaan.
“Dulu itu awal-awal penyerangan, banyak anggota kita stres. Nonton TV sampai dibanting TV-nya itu ada. Sampai ketakutan. Banyak orang-orang masih ada trauma” ujar Murtiyono yang juga pernah ditugaskan di sejumlah daerah yang berkonflik.
Murtiyono menyebutkan, perlahan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan pada Ahmadiyah mulai menurun. Menjelang tahun pemilu 2024, hoaks dan isu Ahmadiyah tak sekeras di ajang pemilu sebelumnya.
“Di tahun 2024 ini cenderung lebih kondusif, dibanding pilpres dan pilkada sebelumnya. Terutama di Pilkada, isu Ahmadiyah lebih sering dipakai karena menyangkut kepala daerah” ujar Murtiyono.
Murtiyono menyebutkan hoaks yang beredar seputar Ahmadiyah tidak secara eksplisit dikaitkan dengan politik. Tapi lebih ke penyebaran-penyebaran disinformasi tentang kesesatan Ahmadiyah.
“Mereka tidak langsung menghantam ke sisi politik. Hantamannya adalah Bahwa ini menodai Islam Ini keluar dari Islam” ujar Murtiyono.
Narasi inilah yang kemudian melegitimasi penyerangan terhadap Ahmadiyah di sejumlah wilayah. Penyerangan-penyerangan tersebut adalah bagian dari menciptakan situasi yang tidak kondusif.
Meski mulai berkurang, praktik pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan masih ditemui. Sepanjang 2023, kasus-kasus pelanggaran KBB pada Ahmadiyah sempat muncul.
Pada Januari 2023, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sintang sepakat meminta Pemerintah Kabupaten Sintang menerbitkan Surat Edaran Bupati yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Di bulan yang sama, aparat, MUI Ponorogo, dan beberapa ormas melakukan pembubaran pada pertemuan tahunan Jalsah Salanah yang diselenggarakan JAI Jawa Timur di Telaga Ngebel.
Februari 2023, Forkopimda Sukabumi menyatakan akan menghentikan pembangunan dan menyegel tempat ibadah Ahmadiyah di Parakansalak. Di waktu yang bersamaan, muncul spanduk-spanduk penolakan kegiatan Ahmadiyah di beberapa titik di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Di Boyolali, Jawa Tengah, Ijtima Majelis Ansharullah JAI yang harusnya dilaksanakan pada 17-19 November 2023 harus dibatalkan karena tak mendapat rekomendasi dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah.
Di Yogyakarta, Murtiyono juga bercerita bahwa di salah satu pertemuan nasional yang diadakan JAI Yogyakarta, panitia sempat diminta mempercepat acara. Saat itu waktu acara bertepatan dengan acara sebuah partai yang juga dilaksanakan di Yogyakarta.
“Kita diminta sama kepolisian untuk selesai di Sabtu sore. Saya bilang wah gak bisa, pak. Kita acara sampai malam paling tidak jam 9, di hari itu masjid kita juga sudah diputeri oleh rombongan bermotor. Tapi semua tetap aman karena kita dijaga juga” cerita Murtiyono.
Dari kondisi tersebut, Murtiyono dan pengurus JAI Yogyakarta berusaha memastikan kondisi tetap kondusif dan tak ada kecemasan di antara jemaat. Sama seperti di Solo, Ahmadiyah di Yogyakarta hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.
Advertisement
Ahmadiyah dan pusaran hoaks di tahun pemilu
Menurut catatan SETARA Institute, sejak 2007 hingga 2022 ditemukan 586 kasus diskriminasi dan intoleransi yang dialami Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Dilihat dari rentang waktunya, kasus diskriminasi dan intoleransi meningkat menjelang tahun pemilu. Misalnya pada 2008 menuju Pilpres 2009, 2011 menuju Pilkada DKI 2012, 2013 menuju Pilpres 2014, dan 2016 menuju Pilkada DKI 2017.
Dari riset dan pemantauan SETARA Institute, bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Ahmadiyah sangat kompleks. Ini meliputi kekerasan dan intimidasi, larangan beribadah, penyerangan rumah ibadah, diskriminasi dalam pelayanan publik, intoleransi, represi dan pembiaran negara, serta tindakan ujaran kebencian oleh warga negara/kelompok masyarakat.
Masih dari data yang sama, pelanggaran KBB pada Ahmadiyah banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat. Pelanggaran ini makin diperkuat dengan adanya produk-produk hukum diskriminatif. Setidaknya ada 23 produk hukum yang merenggut hak-hak konstitusional JAI di Jawa Barat. Selain Jawa Barat, kasus pelanggaran juga ditemukan di Kalimantan Barat, Banten, Jawa Timur, NTB, hingga Sumatera Utara.
Halili Hasan, Direktur eksekutif SETARA Institute menyebutkan, kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan dijadikan objek politisasi identitas untuk mengeruk suara di tahun pemilu. Salah satu upaya politisasi tersebut adalah penyebaran hoaks.
“Target dari orang yang menyebarkan hoaks, misinformasi, disinformasi itu adalah interaksi mereka dengan kelompok mayoritas. Dengan menekan minoritas, harapannya mereka akan dapat sentimen positif dari mayoritas. Mayoritas itu kan potensi suaranya jauh lebih besar” ujar Halili saat ditemui di Yogyakarta, Rabu (27/12/2023).
Halili juga membenarkan temuan bahwa isu Ahmadiyah dan politisasi identitas tidak begitu keras di tahun pemilu 2024. Ia mengungkapkan, hoaks yang menyasar Ahmadiyah mulai melandai. Di tahun pemilu sebelumnya, Ahmadiyah sering menjadi objek dari penyesatan, misinformasi, dan disinformasi.
Menurut Halili, di pemilu 2024 saat ini, kelompok minoritas seperti Ahmadiyah cenderung disasar untuk objek intimidasi. Kelompok minoritas kini mulai diidentifikasi pilihannya untuk sebagai bahan intimidasi mengenai kebutuhan atas perlindungan negara.
“Jadi, kalau Anda memilih calon tertentu, maka negara akan lebih melindungi Anda. Dibandingkan kalau Anda memilih calon yang lain, maka Anda akan tidak dilindungi. Atau kerentanan akan semakin meningkat dengan tidak adanya perlindungan negara itu.” jelas Halili.
Halili menjelaskan ada dua faktor utama mengapa isu agama tak begitu aktif di tahun pemilu kali ini. Pertama, saat ini politisasi identitas lebih digunakan untuk kepentingan dalam kelompok untuk konsolidasi pemilih internal agama. Bukan untuk kampanye hitam yang menjatuhkan.
Kedua, faktor konfigurasi kandidat. Saat ini, ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, dirasa tak mungkin mengaktivasi politisasi identitas.
“Misalnya, pada pasangan 01, Muhaimin Iskandar yang berasal dari PKB, masih beririsan dengan NU yang tidak mungkin menggunakan politisasi identitas yang biasa digunakan oleh kelompok konservatif” jelas Halili.
Begitu pula dengan pasangan 02. Di periode sebelumnya, Prabowo juga memiliki pemilih dari kelompok konservatif. Tapi sejak bergabung menjadi menteri pertahanan di kabinet Jokowi, kelompok konservatif tersebut melepaskan diri dari Prabowo. Sementara pasangan 03, Halili juga merasa politik identitas tak teraktivasi karena kehadiran formasi Ganjar dan Mahfud MD.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah juga berpendapat serupa. Menurutnya, polarisasi di tahun pemilu 2024 tidak begitu kencang. Berbeda dengan Pilpres 2014 dan 2019 di mana hanya ada dua calon yang merepresentasikan dua kelompok yang relatif berbeda secara ideologis.
“Nah hari ini, kan perbedaan ideologis itu nggak sekuat kemarin. Sehingga isu yang sifatnya mempolarisasi, baik itu isu agama maupun isu etnis, itu tidak sekencang di 2014 dan 2019 lalu” jelas Hurriyah.
Meski kini terlihat tenang, potensi penyebaran hoaks yang menyasar Ahmadiyah juga tak sepenuhnya hilang. Hurriyah menyebutkan, isu minoritas masih tetap dimainkan, terutama di media sosial.
“Kita bisa lihat. Di sosial media saja misalnya. Kan ada upaya untuk melabeli” ujar Hurriyah.
Salah satu contoh labelling yang disebarkan di media sosial adalah tentang dukungan Ganjar Pranowo terhadap Ahmadiyah. Di media sosial Twitter misalnya, ditemukan narasi jika Ganjar mendukung aliran sesat karena tak mau membubarkan Ahmadiyah di Jawa Tengah selama menjabat sebagai gubernur.
Pada 2013, Ganjar memang sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah tak perlu dibubarkan tetapi dibina. Sikap inilah yang dijadikan labelling bahwa Ganjar adalah pendukung Ahmadiyah dan haram untuk dipilih.
Hoaks seringkali mengandung elemen-elemen yang mendiskreditkan kelompok minoritas. Informasi palsu yang menyebarkan prasangka dan kebencian terhadap kelompok minoritas dapat berujung pada tindakan diskriminatif dan kejahatan berbasis ras atau agama.
Hurriyah menjelaskan, di tahun pemilu aktor-aktor elektoral seringkali menggunakan hoaks untuk menciptakan ketakutan atau fear mongering bagi minoritas. Hoaks sering kali menggambarkan kelompok minoritas dalam proyeksi negatif atau mengancam.
“Ketika aktor elektoral menggunakan strategi fear mongering, sangat mudah ditambah-tambahi informasinya dengan informasi yang bohong. Jadi kan tujuannya untuk menciptakan ketakutan maka diciptakanlah kebohongan” ujar Hurriyah.
Hurriyah menambahkan, dalam situasi konflik, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling terdampak. Ini artinya, dampak hoaks yang berbentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan bisa sangat berpengaruh pada perempuan dan anak di kelompok minoritas.
“Dalam situasi yang sifatnya konfliktual, di mana pun, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Kelompok minoritas agama itu kelompok yang rentan. Perempuan dan anak minoritas agama itu jauh lebih rentan. Karena mereka lah yang paling pertama kali akan menjadi korban konflik” jelas Hurriyah.
Halili dan Hurriyah sepakat, masih ada potensi politisasi identitas digunakan pada Pemilu 2024. Kondisi ini akan lebih mungkin terjadi pada pemilu putaran kedua dan pilkada. Pada tahap tersebut, polarisasi bisa lebih tajam.
Hurriyah menyebut, hoaks juga bisa menjadi makin masif ketika masing-masing calon memperebutkan pemilih yang belum menentukan pilihan atau undecided voters. Salah satu cara memperebutkan suara ini adalah dengan memainkan emosi.
“Ketika yang diperebutkan adalah orang yang undecided voters, yang dianggap paling efektif bisa mempengaruhi secara cepat perubahan preferensi memilih mereka adalah ketika menyentuh emosi” ujar Hurriyah. “Di situlah mengapa kemudian politik identitas yang juga berbalut dengan hoaks itu lebih punya kesempatan untuk dimainkan” tambahnya.
Potensi meningkatnya hoaks bisa terjadi saat Pilkada mendatang. Halili Hasan menyebut Pilkada menjadi salah satu ajang naiknya isu politisasi identitas.
“Pilkada DKI 2017 itu yang sebenarnya paling kencang politisasi identitas. Ada beberapa fenomena juga politisasi identitas di Pilkada Serentak Itu terjadi di Jawa Barat dan Sumatera Utara” ujar Halili.
Pilkada lebih bersifat lokal, dengan fokus pada masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat setempat. Menggabungkan identitas suku, agama, atau budaya dapat menjadi strategi untuk memperoleh dukungan yang kuat di tingkat lokal.
Ruang-ruang perjumpaan leburkan hoaks
Halili Hasan mengungkapkan, salah satu upaya meredam hoaks bagi Ahmadiyah adalah memperbanyak ruang-ruang perjumpaan. Ruang-ruang inilah yang harus diusahakan baik pada masyarakat maupun Ahmadiyah sendiri.
“Secara politik, mereka (Ahmadiyah) lemah. Jadi karena itu mereka butuh semacam jaring pengaman” ujar Haili.
Relasi dengan masyarakat, organisasi keagamaan, dan pihak-pihak lain inilah yang bisa menjadi jaring pengaman. Upaya ini sebenarnya sudah dilakukan Ahmadiyah dalam kurun waktu 15 tahun terakhir melalui Rabtah yang dilakukan di berbagai daerah. Rabtah adalah kegiatan silaturahmi pengurus Ahmadiyah dengan pejabat pemerintah, ulama, tokoh masyarakat hingga cendekia.
“Gerakan rabtah itu gerakan membangun persahabatan. Jadi kita bersilaturahmi menyampaikan fakta-fakta ke media ataupun influencer. Kemudian kita mendatangi tokoh-tokoh agama ataupun tokoh nasional maupun tokoh muda. Siapapun itu. Termasuk ke pemerintah daerah menyampaikan fakta” ujar Sekretaris Pers JAI, Yendra Budiana.
Selain Rabtah, JAI juga membuka diri untuk siapapun yang ingin mengetahui kehidupan komunitas Ahmadiyah dengan program live-in. Di sini, masyarakat bisa tinggal bersama selama beberapa hari dengan Ahmadi. Dengan begitu, disinformasi, misinformasi, hingga malinformasi bisa diluruskan dengan fakta yang ada.
Di daerah, seperti Solo, para Ahmadi berbaur dengan baik dalam lingkungan kemasyarakatan. Tak sedikit anggota JAI yang dipercaya menjadi ketua RT dan RW. Di masa pemilu, banyak pula anggota yang menjadi petugas KPPS.
Munasir salah satunya. Anggota JAI Solo ini sudah beberapa periode menjabat sebagai ketua RT di kampungnya di Karanganyar. Munasir dan keluarganya menjadi satu-satunya Ahmadi di sana. Namun, karena sering hadir dalam ruang perjumpaan dengan warga, termasuk membuka dialog, tak ada lagi prasangka dan berita bohong.
“Kalau kita ada kesempatan untuk dialog semacam untuk menjelaskan, itu kita bisa lebih diterima. Walaupun awal-awal ada yang menentang terus ikut terhasut juga, tapi mereka lama-lama juga tahu” ujar Munasir saat ditemui di sekretariat JAI Solo.
Halili menyebutkan, saat ini pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan makin menurun karena sejumlah upaya. Pada masyarakat misalnya, literasi makin meningkat. Menurutnya, masyarakat sekarang lebih kritis dalam menelan informasi.
“Pada mulanya, masyarakat terpapar hoaks dengan banyak rupa, misinformasi, disinformasi tentang Ahmadiyah. Tapi sekarang sudah tidak. Literasi masyarakat kita membaik. Mereka sudah bisa mengeksplor apa itu Ahmadiyah dan tidak mudah percaya satu informasi” ujar Halili.
Upaya lain adalah bagaimana pemerintah melalui program moderasi beragama, meningkatkan literasi tentang Ahmadiyah, meski tak secara langsung. Program ini bisa membuat masyarakat lebih menerima kebhinekaan.
“Kita tidak boleh alergi untuk berjumpa dengan Ahmadiyah, dan juga Ahmadiyah harus secara lebih programatik mengagendakan ruang-ruang perjumpaan. Dan kalau interaksi yang baik, ruang perjumpaan yang baik, saya kira secara umum tata kelola kebenaran kita akan menjadi lebih baik.” jelas Halili.
Advertisement
Bersiap di tahun politik 2024
Selain memperkuat jaring pengaman, di tahun politik 2024 seluruh elemen yang terlibat dalam pemilu juga perlu berbenah. Hurriyah menjelaskan, komitmen dari aktor elektoral, penyelenggara dan pengawas pemilu, hingga masyarakat sangat berperan melindungi kelompok minoritas.
Pada aktor elektoral, penting punya komitmen untuk melakukan kampanye damai dan antihoaks. Masyarakat sipil hingga lembaga swadaya masyarakat juga peran penting dalam meningkatkan literasi di tahun politik. Sementara pada penyelenggara dan pengawas pemilu, penting memiliki aturan yang efektif untuk memberantas hoaks.
“Persoalannya kan karena aturan di bawaslu itu sangat normatif, yang diatur subjek hukumnya siapa? Kandidat dan timses resmi. Mana ada kandidat dan timses yang blak-blakan menyebar hoaks. Kan jarang, tapi hoaks itu tersebar karena mereka punya pasukan lain. Entah itu, buzzer, atau tim bayangan memproduksi” ujar Hurriyah.
Menurut Hurriyah, aturan yang dimiliki KPU maupun bawaslu belum bergigi. Isinya hanya imbauan tanpa sanksi kuat. Jika regulasi lebih diperkuat, potensi hoaks sebenarnya bisa lebih ditekan.
Hurriyah juga melihat, komunikasi yang dilakukan seputar pemilu masih berbentuk sosialisasi, belum ada upaya edukasi membentuk pemilih yang baik. Masyarakat diajak berpartisipasi memilih, tapi tidak bagaimana menjadi pemilih yang berdaya. Ini sebabnya, penting bagi penyelenggara dan pengawas pemilu untuk mendidik masyarakat menjadi pemilih yang berdaya.
“Berdaya itu artinya dia punya informasi yang cukup, dia bisa menilai informasi, memeriksa informasi, dan menentukan pilihannya berdasarkan tadi” ungkap Hurriyah.