Sukses

Pelaksanaan Pemilu 1971 Pada Masa Orde Baru Diikuti oleh 10 Partai, Ini Daftarnya

Informasi seputar pelaksanaan pemilu 1971

Liputan6.com, Jakarta Pada masa orde baru, pelaksanaan pemilu 1971 menjadi salah satu momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Pelaksanaan pemilu 1971 pada masa orde baru diikuti oleh berbagai partai politik yang berlaga untuk merebut kursi di parlemen.

Meskipun pada saat itu orde baru lebih memposisikan diri sebagai penguasa tunggal, namun pemilu 1971 tetap dilaksanakan sebagai wujud demokrasi formal. Di dalam pemilu tersebut, tercatat berbagai partai politik turut berpartisipasi, seperti Golkar yang merupakan partai pendukung pemerintah, PDI yang merupakan partai oposisi, dan beberapa partai lainnya.

Sementara itu, pelaksanaan pemilu 1971 pada masa orde baru diikuti oleh berbagai partai politik dengan persaingan yang cukup ketat. Meskipun pada saat itu terdapat indikasi adanya dominasi dari pemerintah terhadap jalannya pemilu, namun berbagai partai politik tetap berjuang untuk mendapatkan mandat rakyat melalui mekanisme pemilu. Pelaksanaan pemilu 1971 menjadi penting dalam membentuk dinamika politik pada masa orde baru, di mana berbagai kekuatan politik berusaha untuk merebut pengaruh dalam pemerintahan.

Meskipun beberapa partai politik ikut serta dalam pelaksanaan pemilu 1971 pada masa orde baru, namun pada saat itu tercatat bahwa dominasi Golkar sebagai partai pendukung pemerintah sangat kuat. Hal ini terlihat dari hasil pemilu yang menunjukkan keunggulan Golkar dalam merebut kursi di parlemen.

Meskipun demikian, keberadaan partai politik oposisi seperti PDI juga turut memberikan warna dalam pelaksanaan pemilu tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan pemilu 1971 pada masa orde baru menunjukkan dinamika politik yang tidak dapat diabaikan.

Untuk lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber informasi seputar pelaksanaan pemilu 1971, pada Selasa (23/1).

2 dari 4 halaman

Pelaksanaan pemilu 1971 pada masa orde baru diikuti oleh?

Pelaksanaan Pemilu pada masa Orde Baru, khususnya pada tahun 1971, merupakan bagian dari upaya rezim Soeharto untuk mendapatkan legitimasi politik dan konsolidasi kekuasaan setelah menggantikan Soekarno sebagai Presiden. Pemilu 1971 diikuti oleh sejumlah partai politik yang bersaing, dan berikut adalah rangkuman tentang pelaksanaan pemilu tersebut dan partai-partai yang terlibat:

1. Golkar (Golongan Karya)

2. NU (Nahdlatul Ulama)

3. Parmusi (Partai Muslimin Indonesia)

4. PNI (Partai Nasional Indonesia)

5. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia)

6. Parkindo (Partai Kristen Indonesia)

7. Partai Katolik

8. Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)

9. Murba (Partai Musyawarah Rakyat Banyak)

10. IPKI (Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)

Pemilu 1971 menandai awal dari serangkaian pemilihan umum di era Orde Baru. Meskipun partisipasi partai politik masih diperbolehkan, kekuasaan Golkar sebagai partai pemerintah memberikan dampak besar terhadap hasil pemilu. Golkar mendominasi perolehan kursi dan menjadi penentu utama arah kebijakan politik di Indonesia selama Orde Baru.

 

Dasar Hukum Pemilu 1971

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1971 di Indonesia merujuk pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Untuk Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang diselenggarakan secara Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Dasar hukum ini menjadi pijakan utama dalam melaksanakan proses demokratisasi pada periode tersebut.

Azas Pemilihan Umum 1971 yang diamanatkan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XI/MPRS/1966 menetapkan bahwa Pemilihan Umum harus bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Jadwal waktu pemungutan suara ditetapkan melalui ketetapan MPRS Nomor XLII/MPRS/1968, yang menjadwalkan pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 5 Juli 1971.

3 dari 4 halaman

Sistem Pemilihan dan Partisipasi Pemilu 1971

Sistem Pemilu tahun 1971 menganut prinsip perwakilan berimbang dengan menerapkan sistem stelsel daftar yang mengikat. Artinya, kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD sejalan dengan besarnya dukungan pemilih, karena pemilih memberikan suara kepada Organisasi Peserta Pemilu. Sistem ini bertujuan untuk memastikan representasi yang adil dan seimbang dari berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan.

Pemilu tahun 1971 tidak hanya menjadi sarana untuk menentukan wakil rakyat, tetapi juga mencerminkan semangat demokrasi dengan melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat. Proses pemungutan suara yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 1971 menjadi tonggak penting dalam menentukan arah politik dan kebijakan negara.

 

Badan Penyelenggara Pemilu 1971

Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 dan dikepalai oleh Menteri Dalam Negeri. Struktur keanggotaan LPU mencakup Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, dan Sekretariat Umum, yang bekerja secara sinergis untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu berjalan lancar, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Keberadaan LPU menjadi landasan institusional yang mendukung integritas proses Pemilu, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi partisipasi politik, serta menjaga kepercayaan masyarakat dalam sistem perwakilan. Melalui peranannya, LPU menjadi penjaga keberlanjutan demokrasi dan representasi rakyat dalam sistem politik Indonesia pada masa itu.

 

Pelaksanaan Pemilu 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Soekarno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, proses demokratisasi di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Meskipun Soeharto tidak segera menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi, dia secara bertahap mengatur panggung politik. Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang semula menetapkan pelaksanaan Pemilu pada tahun 1968 diubah oleh Jenderal Soeharto melalui SI MPR 1967, menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden, Soeharto mempertahankan struktur MPRS dan DPR-GR bentukan Soekarno, meskipun melakukan pembersihan terhadap anggota yang dianggap memiliki keterkaitan dengan rezim Orde Lama. Meskipun demikian, Pemilu kedua baru dapat diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 1971, setelah Soeharto memerintah selama 4 tahun. Pada periode ini, aturan kepartaian tidak diatur secara rinci melalui undang-undang formal, dan pemerintah bersama DPR GR menghabiskan waktu hampir tiga tahun untuk menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

4 dari 4 halaman

Hal yang Signifikan Pada Pemilu 1971

Pada Pemilu 1971, terdapat perubahan signifikan dalam peraturan terkait partisipasi pejabat negara. Berbeda dengan Pemilu 1955, pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Meskipun demikian, praktiknya menunjukkan bahwa pejabat pemerintah cenderung mendukung salah satu peserta Pemilu, khususnya Golkar. Pemerintah diduga melakukan rekayasa kebijakan yang menguntungkan Golkar, termasuk menetapkan bahwa seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu.

Dalam hal pembagian kursi, terdapat perbedaan dengan Pemilu 1955. Pemilu 1971 menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, dan semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Meskipun cara ini dapat menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi, namun memiliki kelemahan karena suara partai dapat terbuang percuma.

Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, tergantung pada apakah ada partai yang melakukan stembus accord. Jika ada, jumlah sisa suara partai yang melakukan stembus accord dibagi dengan kiesquotient. Pembagian kursi dilakukan hingga seluruh kursi habis. Namun, kelemahan sistem ini menyebabkan hasil perolehan kursi tidak selaras dengan perolehan suara secara nasional.

 

Hasil Pemilu 1971

Pemilu tahun 1971 menghasilkan distribusi kursi yang menarik perhatian, mencerminkan dinamika politik saat itu. Berikut adalah gambaran hasil Pemilu 1971:

  1. Golkar: Meraih suara sebanyak 34.348.673 atau sekitar 62,82% dengan perolehan 325 kursi.
  2. NU (Nahdlatul Ulama): Diperoleh suara sebanyak 10.213.650 atau sekitar 18,68% dengan perolehan 89 kursi.
  3. Parmusi (Partai Muslimin Indonesia): Mendapatkan dukungan suara sebanyak 2.930.746 atau sekitar 5,36% dengan perolehan 11 kursi.
  4. PNI (Partai Nasional Indonesia): Memperoleh suara sebanyak 3.793.266 atau sekitar 6,93%, tetapi jumlah kursi tidak disebutkan.
  5. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia): Meraih suara sebanyak 1.308.237 atau sekitar 2,39%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.
  6. Parkindo (Partai Katolik Indonesia): Diperoleh suara sebanyak 733.359 atau sekitar 1,34%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.
  7. Katolik: Memperoleh suara sebanyak 603.740 atau sekitar 1,10%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.
  8. Perti (Partai Ekonomi Rakyat Indonesia): Diperoleh suara sebanyak 381.309 atau sekitar 0,69%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.
  9. IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia): Meraih suara sebanyak 338.403 atau sekitar 0,61%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.
  10. Murba (Partai Murba): Memperoleh suara sebanyak 48.126 atau sekitar 0,08%, tanpa penjelasan jumlah kursi yang diperoleh.

Perbandingan antara hasil perolehan suara nasional dan perolehan kursi menunjukkan adanya ketidakselarasan, khususnya dalam kasus PNI dan Parmusi. Meskipun PNI memiliki suara nasional yang lebih besar, perolehan kursinya lebih sedikit dibandingkan dengan Parmusi. Keadaan ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam mekanisme pembagian kursi yang menjadi salah satu permasalahan dalam Pemilu 1971.

 

Â