Liputan6.com, Jakarta - Pelanggaran dalam kasus pemilu di Indonesia dari tahun 2004 hingga 2024 menjadi catatan yang harus dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Seiring perjalanan waktu, terdapat kecenderungan pelanggaran yang terulang, menunjukkan kurangnya efektivitas penegakan hukum dan kesadaran akan integritas pemilu.
Baca Juga
Advertisement
Dari praktik politik uang hingga manipulasi data pemilih, berbagai kasus pemilu memberikan pengajaran penting bagi publik untuk mewaspadai potensi pelanggaran dalam proses pemilihan berikutnya.
Selama periode 25 April hingga 12 Mei 2014, menghimpun data dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diterima 157 pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu, termasuk penggelembungan suara, pengurangan dan penambahan suara antar caleg, serta praktik politik uang.
Kasus pemilu di Indonesia 2004-2024 menyoroti tantangan besar dalam menjaga integritas dan keadilan dalam proses demokrasi. Pola pelanggaran yang berulang menimbulkan kekhawatiran akan kesehatan demokrasi dan perlunya tindakan yang tegas dari lembaga terkait.
Melalui pengetahuan akan kasus pemilu, masyarakat dapat lebih waspada terhadap potensi pelanggaran yang mungkin terjadi di tahun 2024. Partisipasi aktif dalam pengawasan dan pelaporan kasus pelanggaran pemilu menjadi kunci untuk menciptakan pemilihan yang bersih dan adil. Jika demikian, pemilu di Indonesia dapat menjadi cerminan yang lebih baik dari kehendak rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi yang kokoh.
Berikut Liputan6.com ulas kasus pemilu di Indonesia yang dimaksudkan menghimpun data dari berbagai sumber, Kamis (15/2/2024).
1. Pelanggaran Politik Uang
Praktik politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran yang paling umum terjadi dalam pemilihan umum di Indonesia. Politik uang terjadi ketika kandidat atau partai politik memberikan uang atau imbalan materi lainnya kepada pemilih dengan tujuan untuk memengaruhi hasil pemilihan. Praktik ini tidak hanya merugikan integritas pemilihan umum, tetapi juga mereduksi nilai demokrasi itu sendiri.
Contoh kasus pemilu ini adalah pada Pemilu tahun 2019 di beberapa daerah, di mana terjadi pembagian uang kepada pemilih dengan harapan untuk mendapatkan dukungan politik. Praktik politik uang ini melanggar prinsip keadilan dan integritas dalam pemilihan umum.
Pada tahun 2019, terjadi serangkaian kasus pelanggaran pemilu yang mencuat di beberapa wilayah di Jakarta. Salah satunya adalah kasus yang melibatkan David H Rahardja, seorang Caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Perindo. Dia divonis enam bulan penjara dan denda Rp 5 juta karena terbukti melakukan politik uang dengan membagi-bagikan minyak goreng kepada warga saat berkampanye di Sukapura dan Pegangsaan Dua, Jakarta Utara.
2. Manipulasi Data Pemilih
Manipulasi data pemilih mencakup segala bentuk upaya untuk memengaruhi atau memalsukan daftar pemilih. Ini bisa termasuk penggunaan identitas ganda, pemalsuan data pemilih, atau pendaftaran pemilih yang tidak sah. Contoh kasus pemilu soal manipulasi data pemilih terjadi pada Pemilu tahun 2004, di mana ditemukan adanya penambahan nama-nama fiktif dalam daftar pemilih tetap (DPT) dengan tujuan untuk memengaruhi hasil pemilihan.
Manipulasi data pemilih ini mengancam integritas pemilihan umum dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Selama pelaksanaan Pemilu 2004, terjadi mobilisasi massa dan penggelembungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) di beberapa ponpes. Mobilisasi ini mengganggu pelaksanaan pemilu dan mencoreng gelaran Pemilu 2004. Laporan pada saat itu mencatat adanya penggelembungan suara di 83 TPS di Ponpes Al Zaytun, dengan rekaman video yang menunjukkan adanya pengumpulan massa menggunakan kendaraan menuju ponpes. Sebanyak 519 kendaraan diperkirakan tiba di wilayah Ponpes Al Zaytun.
Kasus tersebut menjadi perhatian serius karena jumlah pemilih yang terdaftar di ponpes tersebut meningkat secara signifikan dari 5.000 menjadi 24.000 pemilih pada hari pemilihan.
3. Penggunaan Sumber Daya Negara
Penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik merupakan bentuk pelanggaran pemilu yang serius. Praktik ini mencakup penggunaan fasilitas pemerintah, seperti kendaraan dinas atau anggaran negara, untuk mendukung kampanye politik oleh partai atau kandidat tertentu.
Contoh kasus pemilu ini adalah penggunaan kendaraan dinas atau fasilitas pemerintah lainnya untuk kepentingan kampanye politik pada Pemilu tahun 2024. Kasus pemilu ini dilakukan oleh Ibu Negara Iriana Jokowi saat mengacungkan dua jari saat sedang menggunakan mobil dinas. Itu adalah masa kampanye dan di nomor urut dua ada anaknya Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Advertisement
4. Pelanggaran Administratif
Pelanggaran administratif terjadi ketika terdapat kesalahan atau kelalaian dalam proses teknis pemilihan umum, seperti pengiriman surat suara yang terlambat atau tidak tepat waktu, kesalahan dalam pencatatan data pemilih, atau kelalaian dalam pengawasan dan penghitungan suara.
Contoh kasus pemilu yang dimaksudkan adalah kasus pengiriman surat suara ke luar negeri yang terlambat pada Pemilu tahun 2024 di Taipei. Pelanggaran administratif ini dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemilihan umum.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat bahwa pengiriman surat suara ke WNI Taipei telah dilakukan sebelum jadwal resmi, yang seharusnya dilakukan pada 2-11 Januari 2024.
5. Kampanye di Tempat Tidak Diperbolehkan
Pelanggaran terjadi ketika kampanye politik dilakukan di tempat yang seharusnya tidak diperbolehkan, seperti di depan fasilitas pendidikan atau kesehatan. Hal ini melanggar aturan netralitas dan keadilan dalam proses pemilihan umum.
Contoh kasusnya adalah kampanye politik yang dilakukan di dalam sekolah atau rumah sakit, yang seharusnya menjadi zona netral. Pelanggaran ini mengancam integritas dan keadilan dalam pemilihan umum. Kampanye di tempat pendidikan diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Mohammad Arief, seorang Caleg Partai Gerindra di Jakarta Barat pada 2014 melakukan kampanye di sebuah sekolah, SMP Negeri 127 Kebon Jeruk, Jakarta Barat, serta membagikan bingkisan berupa sarung dan stiker kampanye kepada para guru di acara Musyawarah Guru Mata Pelajaran.
6. Pembagian Hadiah atau Imbalan
Pembagian hadiah atau imbalan kepada pemilih sebagai imbalan atas dukungan politik merupakan bentuk pelanggaran pemilu yang merugikan proses demokrasi. Praktik ini bisa berupa pembagian barang atau fasilitas kepada pemilih sebagai imbalan atas suara mereka.
Contoh kasus pemilunya adalah pembagian sembako atau barang-barang lain kepada pemilih di Pemilu tahun 2014. Pembagian hadiah atau imbalan ini dapat memengaruhi integritas dan keadilan dalam pemilihan umum.
7. Penggunaan Media Massa yang Tidak Adil
Penggunaan media massa yang tidak adil atau bias dalam mendukung kandidat tertentu merupakan bentuk pelanggaran pemilu yang serius. Contoh kasusnya adalah ketidakseimbangan pemberitaan yang mendukung satu kandidat sementara merugikan kandidat lainnya. Penggunaan media massa yang tidak adil ini mengancam integritas dan keadilan dalam pemilihan umum.
8. Pelanggaran Kode Etik
Para penyelenggara pemilu, termasuk petugas KPU atau Panitia Pemungutan Suara (PPS), sering kali melanggar kode etik yang telah ditetapkan. Pelanggaran ini bisa berupa ketidaknetralan, korupsi, atau ketidakprofesionalan dalam menjalankan tugas mereka. Pelanggaran kode etik ini mengancam integritas dan keadilan dalam pemilihan umum.
9. Ketidaksetaraan Akses Kampanye
Pelanggaran terjadi ketika terdapat ketidaksetaraan akses dalam kampanye politik, di mana beberapa kandidat atau partai mendapatkan fasilitas atau dukungan yang lebih besar daripada yang lain. Contoh kasus pemilu yang dimaksudkan adalah pembatasan akses media atau lokasi kampanye bagi kandidat tertentu. Ketidaksetaraan akses kampanye ini mengancam integritas dan keadilan dalam pemilihan umum.
Acara diskusi 'Desak Anies' edisi pendidikan di Kota Yogyakarta, DIY yang rencananya digelar Selasa (23/1/2024) dicabut izinnya secara mendadak. Lokasi awalnya di Museum Diponegoro Sasana Wiratama, Jalan Hos Cokroaminoto Tegelrejo, Yogyakarta.
10. Penggunaan Identitas Palsu
Penggunaan identitas palsu untuk kepentingan pemilu merupakan bentuk pelanggaran yang serius. Hal ini bisa mencakup penggunaan KTP palsu atau identitas lainnya untuk mempengaruhi proses pemilihan umum. Penggunaan identitas palsu ini mengancam integritas dan keadilan dalam pemilihan umum.
Dalam kasus pemilu ini, pihak berwenang harus melakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap dan menindak pelaku serta mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan.
Advertisement