Sukses

Contoh Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Begini Aturannya

Contoh pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat mengganggu integritas dan kredibilitas proses demokratis secara keseluruhan.

Liputan6.com, Jakarta Peraturan kode etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Republik Indonesia telah menjadi landasan yang mengikat bagi seluruh lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Terbitnya Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, menandai pentingnya penerapan prinsip-prinsip etika dalam setiap tahapan pemilu.

Contoh pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga dapat mengganggu integritas dan kredibilitas proses demokratis secara keseluruhan. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap kode etik ini menjadi sangat penting bagi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dari tingkat pusat hingga daerah.

Dalam kasus contoh pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, sanksi yang diberikan dapat bervariasi mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku. DKPP memiliki peran sentral dalam memutuskan kasus-kasus pelanggaran ini sesuai dengan UU Pemilu Nomor 17 Tahun 2017. Berikut ulasan lebih lanjut tentang contoh pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang Liputan6.com rangkum dari laman dkpp.go.id dari berbagai sumber, Rabu (21/2/2024).

2 dari 4 halaman

Contoh Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang Pernah Terjadi

Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di Indonesia telah menjadi isu yang sering muncul dalam berbagai konteks pemilu. Menurut Data DKPP, lembaga ini telah menangani 34 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yang merupakan hasil penyaringan dari 83 aduan yang diterima. Jumlah perkara ini menunjukkan tingginya jumlah pelanggaran yang dilaporkan dan perlu ditindaklanjuti secara serius.

Selama periode 2012-2022, DKPP telah memutuskan 1.970 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari total 4.506 aduan yang diterima. Data ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam menjaga integritas dan kredibilitas proses pemilu di Indonesia.

Dari putusan yang telah dijatuhkan, berbagai sanksi telah diberikan kepada para pelanggar, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian tetap dari jabatan. Sanksi ini menunjukkan keseriusan DKPP dalam menegakkan aturan dan menjaga disiplin di kalangan penyelenggara pemilu.

Salah satu contoh kasus pelanggaran kode etik yang diputuskan oleh DKPP pada September 2021 melibatkan ketua dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Dompu serta seorang anggota Bawaslu NTB. Mereka diberi sanksi teguran tertulis karena memerintahkan KPU Dompu untuk menetapkan seorang bakal calon sebagai calon yang memenuhi syarat, meskipun syarat jangka waktu lima tahun tidak terpenuhi. Kasus ini menyoroti pentingnya menjaga independensi dan integritas lembaga penyelenggara pemilu serta menegakkan standar etika yang tinggi dalam setiap tahapannya.

Meskipun banyak kasus telah diputus oleh DKPP, penting untuk diingat bahwa tidak semua aduan diberikan sanksi. Beberapa dari mereka tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan mendapatkan status direhabilitasi. Hal ini menunjukkan pentingnya keadilan dalam proses hukum dan perlunya bukti yang kuat dalam menindak pelanggaran.

3 dari 4 halaman

Potensi Pelanggaran Kode Etik Pemilu yang Diatur dalam Peraturan DKPP

Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum disusun untuk memastikan integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa pelanggaran yang dapat merusak tujuan dari peraturan ini.

Salah satu pelanggaran yang mungkin terjadi adalah ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Pasal 8 menegaskan bahwa penyelenggara pemilu harus bersikap netral tanpa memihak kepada partai politik, calon, atau peserta pemilu. Namun, dalam situasi tertentu, terutama di tingkat lokal, ada kemungkinan penyelenggara pemilu terpengaruh oleh preferensi politik pribadi atau tekanan dari pihak tertentu.

Selain itu, ada juga potensi pelanggaran terkait penerimaan hadiah atau pemberian dari peserta pemilu, calon anggota DPR, DPD, DPRD, atau tim kampanye, yang bertentangan dengan asas kepatutan. Pasal 8g menekankan bahwa penyelenggara pemilu tidak boleh menerima hadiah atau pemberian lainnya yang dapat mempengaruhi independensinya. Namun, dalam praktiknya, ada risiko bahwa penyelenggara pemilu menerima pengaruh tidak langsung melalui pemberian yang tidak langsung atau berpura-pura.

Selain itu, pelanggaran terkait kejujuran juga dapat terjadi. Pasal 9 menegaskan bahwa penyelenggara pemilu harus menyampaikan informasi dengan benar berdasarkan data dan fakta. Namun, dalam situasi di mana tekanan politik atau kepentingan tertentu terlibat, ada potensi penyajian informasi yang tidak akurat atau penekanan pada satu narasi yang menguntungkan pihak tertentu.

Dalam upaya menjaga integritas dan profesionalisme, perlu ada mekanisme pengawasan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kode etik ini. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memiliki peran penting dalam menangani pelanggaran kode etik ini dan memastikan akuntabilitas penyelenggara pemilu.

Dalam kesimpulannya, sementara peraturan ini menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk memastikan integritas penyelenggara pemilu, implementasinya masih rentan terhadap berbagai pelanggaran. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk DKPP, untuk menerapkan prinsip-prinsip kode etik ini secara konsisten demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat dalam proses pemilihan umum.

4 dari 4 halaman

Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017

Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 merupakan sebuah panduan yang penting bagi penyelenggara pemilihan umum di Indonesia. Peraturan ini diterbitkan untuk menggantikan Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.

Peraturan ini memiliki beberapa poin penting yang mencakup kode etik dan pedoman perilaku bagi penyelenggara pemilihan umum. Salah satu poin yang penting adalah mengenai integritas dan netralitas penyelenggara pemilihan umum. Penyelenggara harus menjaga integritas dan netralitasnya serta tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Selain itu, peraturan ini juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Penyelenggara harus membuka informasi kepada publik secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan keputusannya.

Peraturan ini juga memberikan pedoman mengenai penanganan konflik kepentingan bagi penyelenggara. Mereka harus menghindari konflik kepentingan dan jika terjadi, harus dilaporkan dan ditangani dengan transparan.

Dengan adanya Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017, diharapkan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan menjaga integritas serta netralitasnya demi terwujudnya pemilihan umum yang bersih dan demokratis.