Liputan6.com, Jakarta Parliamentary threshold adalah sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik (parpol) agar dapat mendapatkan kursi di parlemen. Istilah ini menjadi sangat penting dalam konteks pemilihan umum (Pemilu), karena menentukan apakah suatu parpol memiliki representasi di lembaga legislatif atau tidak.
Ketentuan parliamentary threshold biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Indonesia, serta mungkin juga melalui putusan dari Mahkamah Konstitusi atau lembaga serupa di negara-negara lain. Parliamentary threshold adalah syarat yang penerapannya dapat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya, tergantung pada sistem politik, ukuran parlemen, dan kebijakan pemilu yang berlaku.
Secara umum, parliamentary threshold adalah aturan yang menetapkan persentase suara atau jumlah kursi yang harus diraih oleh sebuah parpol agar diakui sebagai peserta yang memenuhi syarat untuk menduduki kursi di parlemen. Berikut ulasan tentang parliamentary threshold adalah syarat minimal dukungan yang diperoleh partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen di Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (23/2/2024).
Advertisement
Penerapan Parliamentary Threshold dan Aturannya di Indonesia
Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah bagian penting dari sistem politik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Aturan ini mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik (parpol) untuk mendapatkan kursi di parlemen, baik itu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).
Berdasarkan Pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017, disebutkan bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar minimal 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Hal ini bertujuan untuk mendorong keberagaman politik dan memastikan bahwa hanya parpol-parpol yang memiliki dukungan yang signifikan dari pemilih yang dapat diberi kesempatan untuk diwakili di parlemen.
Seluruh parpol peserta pemilu tetap diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 414 ayat (2). Namun, bagi parpol yang tidak memenuhi parliamentary threshold, mereka tidak akan disertakan dalam penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan, sesuai dengan Pasal 415.
Penerapan parliamentary threshold di Indonesia mencerminkan upaya untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari fragmentasi parpol yang berlebihan, namun juga telah menjadi subjek perdebatan tentang keadilan politik dan hak partisipasi. Meskipun demikian, aturan ini tetap menjadi bagian penting dari proses demokrasi di Indonesia dan berperan dalam membentuk dinamika politik yang sehat dan representatif.
Advertisement
Aturan yang Berlaku di Indonesia Sebelum Parliamentary Threshold
Sebelum pemberlakuan parliamentary threshold, aturan yang mengatur syarat partai politik untuk mengikuti pemilu di Indonesia dikenal sebagai electoral threshold. Pada Pemilu 1999, ambang batas elektoral parpol ditetapkan sebesar 2% berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Angka ambang batas ini kemudian ditingkatkan menjadi 3% pada Pemilu 2004 berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Namun, aturan Electoral Threshold tidak lagi digunakan pada Pemilu 2009.
Absennya ambang batas pemilu sebelumnya menyebabkan peningkatan jumlah partai politik peserta pada Pemilu 2009, mencapai 38 partai politik. Namun, hanya sembilan partai yang berhasil melewati ambang batas parlemen yang baru diterapkan.
Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5%, yang kemudian menjadi 4% pada Pemilu 2019 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Perubahan ini mengakibatkan partai-partai menjadi lebih kalkulatif dalam berpartisipasi dalam pemilu, karena harus memperhitungkan dukungan yang lebih besar untuk memenuhi ambang batas tersebut.
Pada Pemilu 2014, dari 12 parpol yang berpartisipasi, 10 partai berhasil memenuhi ambang batas parlemen. Pada Pemilu 2019, dari 16 parpol peserta, hanya sembilan yang berhasil lolos ke parlemen. Penerapan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2024 tidak mengalami perubahan, tetap sebesar 4%.
Dengan sistem Parliamentary Threshold, diharapkan partai politik mampu menajamkan visi-misi dan program kerja mereka untuk lebih bersaing secara sehat dalam pesta demokrasi, sehingga dapat menghasilkan perwakilan yang lebih kuat dan lebih representatif di parlemen.
Evolusi Penerapan Parliamentary Threshold di Indonesia
Penerapan parliamentary threshold adalah bagian dari sistem politik Indonesia dalam upaya untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan demokrasi. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke Pemilu 2009, di mana pemerintah pertama kali menerapkan syarat ambang batas parlemen. Pada saat itu, parpol harus memperoleh minimal 2,5 persen dari jumlah suara nasional untuk memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti yang diatur dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Meskipun demikian, pada Pemilu 2009, aturan tersebut belum berlaku untuk kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian, dalam Pemilu 2014, pemerintah kembali memberlakukan ambang batas parlemen dengan peningkatan persentase menjadi 3,5 persen, sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Peraturan ini berlaku untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Puncaknya terjadi pada Pemilu 2019, di mana aturan parliamentary threshold ditetapkan dalam Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam UU tersebut, parpol harus memperoleh minimal 4 persen dari jumlah suara nasional untuk mendapatkan kursi di DPR. Aturan ini berlaku secara nasional, sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis juga lolos masuk parlemen daerah, sementara yang tidak lolos akan kehilangan akses ke DPRD kabupaten/kota.
Perjalanan penerapan parliamentary threshold di Indonesia mencerminkan upaya pemerintah untuk mengatur dinamika politik agar tetap berjalan dalam koridor yang stabil dan terkendali. Meskipun sering kali menjadi subjek perdebatan, terutama terkait dengan isu keadilan politik dan representasi, parliamentary threshold tetap menjadi instrumen penting dalam menjaga keberlanjutan sistem politik Indonesia.
Advertisement