Liputan6.com, Jakarta - Bagaimana jika utang puasa tahun lalu belum lunas? Pertanyaan ini sering mengemuka di kalangan umat Islam yang mengalami situasi tertentu yang membuat mereka belum dapat melunasi puasa yang di-qadha.
Maka, penting bagi umat Islam untuk memahami pendapat empat Imam Mazhab, yaitu Al-Hanafi, Al-Maliki, Asy-Shafi'i, dan Al-Hanbali, yang memiliki perspektif berbeda terkait kewajiban qadha puasa.
Advertisement
Baca Juga
Al-Hanafi, salah satu Imam Mazhab, berpendapat bahwa jika utang puasa tahun lalu belum lunas, maka qadha puasa tersebut dapat dilakukan kapan saja tanpa ada batasan waktu tertentu. Pandangan ini memberikan fleksibilitas bagi individu yang belum melunasi puasa tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Al-Maliki, melalui pandangan Ibnu Abdil Barr, menyatakan bahwa jika seseorang mampu melunasi puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan berikutnya, maka ia wajib mengqadha dan memberikan fidyah dengan memberi makan orang miskin satu mud setiap hari yang ditinggalkannya.
Penting bagi umat muslim untuk memahami perbedaan pandangan ini karena dapat memengaruhi pelaksanaan ibadah qadha puasa. Selain itu, Asy-Shafi'i dan Al-Hanbali juga memiliki perspektif masing-masing yang perlu dipahami agar umat Islam dapat menjalankan kewajiban agama dengan penuh keyakinan dan pemahaman.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam empat pendapat mahzab soal utang puasa tahun lalu yang belum lunas, Rabu (28/2/2024).
Pendapat Mazhab Syafi’iyah Jika Utang Puasa Tahun Lalu Belum Lunas
Menurut pandangan ulama Syafi’iyah, jika seseorang memiliki utang puasa tahun lalu yang belum lunas, terdapat beberapa tindakan yang dapat diambil. Menurut An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya untuk mengqadha puasa tersebut setelah berpuasa untuk Ramadhan saat itu.
Hal ini menegaskan pentingnya menunaikan kewajiban puasa yang tertunda sebelum memasuki bulan Ramadhan yang baru. Selain itu, An-Nawawi juga menegaskan bahwa seseorang harus membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua, yaitu satu mud makanan beserta dengan qadha.
Di sisi lain, menurut Zakaria Al-Anshari, penundaan qadha bagi mereka yang memiliki udzur, baik karena sakit, safar, ataupun hamil dan menyusui, diperbolehkan dalam Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam sangat memperhatikan kondisi individu dan memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah, terutama dalam konteks menjalankan ibadah puasa.
Adanya pemahaman ini, para mukallaf dimudahkan dalam menjalankan ibadah puasa tanpa menimbulkan beban yang berlebihan, sekaligus tetap mempertahankan ketaatan terhadap ajaran agama.
Pendapat ulama Syafi’iyah ini memberikan arahan yang jelas bagi umat Islam yang memiliki utang puasa tahun lalu yang belum lunas. Mereka diminta untuk segera melunasi utang tersebut sebelum memasuki bulan Ramadhan yang baru, sebagai bentuk ketaatan terhadap agama. Selain itu, bagi yang memiliki alasan tertentu yang menghalangi mereka untuk melunasi utang puasa tersebut, seperti sakit atau safar, mereka diberikan kelonggaran dengan penundaan qadha sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Advertisement
Pendapat Mazhab Al-Hanabilah Jika Utang Puasa Tahun Lalu Belum Lunas
Pendapat ulama mazhab al-Hanabilah terkait utang puasa tahun lalu yang belum lunas menekankan pada tanggung jawab seorang muslim untuk menunaikan kewajiban agamanya dengan penuh kesadaran. Menurut penjelasan yang ditemukan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, bagi mereka yang tidak berpuasa tanpa alasan yang sah dan menunda qadha, wajib membayar fidyah satu mud sesuai dengan hari yang ditinggalkan.
Menurut pendapat ini, keberadaan fidyah sebagai alternatif pengganti puasa memungkinkan orang yang tidak dapat mengqadha puasanya dengan alasan tertentu.
Mengenai proses mengqadha puasa yang tertunda, ulama mazhab al-Hanabilah memberikan penjelasan bahwa qadha puasa bisa dilakukan secara berturut-turut atau dipisah. Namun demikian, sebagian ulama merekomendasikan untuk melakukannya secara berturut-turut jika mampu, karena hal ini dianggap mustahab atau dianjurkan dalam Islam.
Untuk kasus ketika seseorang lupa jumlah utang puasanya, ulama memberikan arahan bahwa sebaiknya jumlah yang harus diganti ditentukan berdasarkan jumlah yang paling maksimum. Sebagai contoh, jika seseorang lupa apakah ia memiliki utang puasa enam atau tujuh hari, yang sebaiknya dipilih adalah tujuh hari sebagai jumlah yang paling maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ketelitian dalam menunaikan kewajiban agama dihargai dan dianjurkan.
Pendapat Mazhab Al-Hanafiyah Jika Utang Puasa Tahun Lalu Belum Lunas
Pendapat ulama mazhab Al-Hanafiyah terkait dengan utang puasa tahun lalu yang belum lunas memberikan arahan yang jelas bagi umat Islam yang mengalami situasi tersebut. Az-Zaila’i dalam kitab Tabiyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menjelaskan bahwa jika seseorang masih memiliki hutang puasa dari tahun sebelumnya yang belum dibayarkan hingga datangnya Ramadhan berikutnya. Kewajiban utamanya adalah untuk berpuasa di bulan Ramadhan yang baru.
Ini berarti bahwa puasa untuk tahun terkini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum melunasi utang puasa dari tahun sebelumnya. Hal ini merupakan penekanan pada pentingnya menjalankan kewajiban puasa di bulan Ramadhan yang sedang berlangsung, sebelum memikirkan qadha puasa tahun sebelumnya.
Selain itu, menurut penjelasan yang sama, tidak ada kewajiban bagi individu yang memiliki utang puasa tahun lalu yang belum lunas untuk membayar fidyah. Hal ini disebabkan karena kewajiban untuk mengqadha puasa yang tertunda tidak diiringi oleh kewajiban membayar fidyah. Pemahaman ini menganggap bahwa mengqadha puasa memiliki karakter tarakhi, yang berarti puasa yang tertunda tidak harus dilakukan secara langsung, namun dapat ditunda hingga waktu tertentu.
Menurut hukum Islam, penting bagi umat Muslim untuk memahami pandangan ulama mazhab Al-Hanafiyah terkait dengan utang puasa tahun sebelumnya yang belum lunas. Pandangan ini memberikan arahan yang jelas tentang urutan prioritas dalam menjalankan kewajiban puasa, dengan mengedepankan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan saat ini sebagai prioritas utama sebelum melunasi utang puasa tahun sebelumnya.
Advertisement
Pendapat Mazhab Al-Malikiyah Jika Utang Puasa Tahun Lalu Belum Lunas
Pendapat ulama mazhab Al-Malikiyah, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya, menegaskan bahwa jika seseorang memiliki utang puasa dari tahun sebelumnya yang belum lunas, ia harus melakukan qadha (menggantinya) serta memberi fidyah (makanan bagi orang miskin) atas setiap hari yang tertinggal.
Dalam hal ini, fidyah menjadi wajib saat tidak ada udzur yang membenarkan penundaan qadha tersebut. Pandangan ini memberikan petunjuk jelas bagi umat Islam yang memiliki utang puasa tahun lalu belum lunas.
Berbeda dengan pendapat Al-Hanafiyah, yang lebih mempertimbangkan situasi individu, ulama Al-Malikiyah menekankan pada kewajiban qadha dan fidyah sebagai bentuk tanggung jawab atas utang puasa yang belum diselesaikan. Penekanan pada kewajiban ini menggambarkan pentingnya melunasi kewajiban agama dengan sungguh-sungguh, sekaligus sebagai bentuk ketaatan kepada ajaran Islam.
Menurut Ibnu Abdil Barr, tindakan memberi fidyah menjadi opsi yang sah jika seseorang tidak mampu menunaikan qadha puasanya sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Namun, jika individu tersebut memiliki kemampuan untuk melaksanakan qadha sebelum masuknya bulan Ramadhan berikutnya, maka qadha menjadi kewajiban utama yang harus dipenuhi.
Â