Sukses

Hukum Membatalkan Puasa Secara Sengaja, Ini Konsekuensi dan Azab yang Ditanggung

Hukum dan denda membatalkan puasa secara sengaja dalam Islam

Liputan6.com, Jakarta Hukum membatalkan puasa secara sengaja dalam Islam adalah suatu perbuatan yang dianggap haram dan merupakan salah satu dosa besar yang harus dihindari oleh setiap umat muslim. Dalam ajaran Islam, puasa merupakan kewajiban yang dijalankan selama bulan Ramadan sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Mematikan puasa dengan sengaja dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap perintah Allah, dan umat muslim dilarang keras untuk melakukan tindakan tersebut.

Lebih lanjut, konsekuensi dari membatalkan puasa secara sengaja dalam Islam tidak hanya terbatas pada aspek moral dan spiritual, tetapi juga melibatkan sanksi dalam bentuk denda bagi mereka yang terbukti melakukannya. Sanksi ini diberlakukan sebagai upaya untuk menegakkan aturan agama dan memberikan peringatan kepada umat Muslim agar mematuhi kewajiban puasa dengan penuh kesungguhan dan ketundukan.

Meskipun terdapat golongan yang diperbolehkan untuk membatalkan puasa secara sengaja, seperti musafir, orang sakit, wanita hamil, dan lainnya, namun tetap ditekankan bahwa tindakan ini harus disertai dengan uzur atau alasan yang sah. Dengan demikian, pemahaman yang benar terhadap hukum membatalkan puasa secara sengaja membutuhkan kesadaran akan aturan Islam serta pemahaman terhadap situasi yang dapat membenarkan tindakan tersebut.

Untuk informasi lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber hukum dan denda membatalkan puasa secara sengaja dalam Islam, pada Selasa (12/3).

2 dari 4 halaman

Penjelasan hukum membatalkan puasa secara sengaja

Hukum membatalkan puasa dengan sengaja dalam Islam memiliki dasar aturan yang tegas dan ditegaskan dalam berbagai sumber ajaran agama. Menurut penjelasan yang diambil dari buku berjudul "Ilmu Fikih" karya Sudarto (2018:63), beberapa perbuatan yang dianggap membatalkan puasa secara sengaja antara lain adalah melakukan hubungan intim (jima atau bersetubuh), muntah dengan sengaja, menstruasi (haid) atau nifas, pembekaman (dibekam), serta makan dan minum secara sengaja selama waktu berpuasa.

Salah satu faktor yang secara khusus dibahas dalam buku tersebut adalah muntah dengan sengaja. Hadis shahih yang dikutip dalam buku menjelaskan bahwa jika seseorang muntah secara tidak sengaja ketika sedang berpuasa, maka tidak ada kewajiban qadha' (mengganti puasa). Namun, apabila seseorang sengaja muntah, maka wajib baginya membayar qadha' sebagai ganti puasa yang dibatalkannya (HR. Abu Daud, no. 2380; Ibnu Majah, no. 1676; Tirmidzi, no. 720).

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa muntah yang disengaja, bersama dengan makan dan minum secara sengaja, merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan batalnya puasa secara sengaja. Menariknya, dalam buku lain yang berjudul "Pengantar Filsafat Hukum Islam" karya Dr. Busyro, M.Ag. (2020:276), diungkapkan bahwa setiap perbuatan yang sengaja membatalkan puasa, seperti makan dan minum, akan dikenakan hukuman kifarat.

Penerapan hukuman kifarat ini bertujuan untuk menegakkan aturan agama dan memberikan sanksi kepada mereka yang dengan sengaja melanggar kewajiban berpuasa tanpa alasan yang dibenarkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum membatalkan puasa dengan sengaja adalah haram dan akan membuat puasa yang dilakukan menjadi batal dan tidak sah. Selain itu, perbuatan ini juga membawa dampak dosa besar bagi pelakunya, menunjukkan keseriusan dalam menjalankan kewajiban agama.

 
3 dari 4 halaman

Denda yang harus dibayarkan 

Konsekuensi bagi seseorang yang membatalkan puasa dengan sengaja sangatlah serius dalam ajaran Islam. Selain dari kewajiban mengqadha puasa yang terlewat, pelanggaran tersebut juga menyebabkan dosa besar karena melanggar perintah langsung dari Allah SWT. Bahkan, beberapa ulama mewajibkan orang yang melakukan pelanggaran ini untuk membayar kaffarah sebagai bentuk sanksi atas perbuatannya yang tidak patuh.

Dalam banyak kasus, para ulama mengungkapkan bahwa seseorang yang dengan sengaja meninggalkan puasa tidak hanya diwajibkan mengqadha puasanya (mengganti puasa yang terlewat), tetapi juga mungkin dikenai kaffarah sebagai bentuk sanksi tambahan. Kaffarah ini memiliki ketentuan yang mirip dengan orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadan. Kaffarah tersebut dapat berupa memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memberi makan 60 fakir miskin, atau melakukan salah satu amalan ketaatan lainnya.

Kaffarah ini diwajibkan bagi mereka yang melakukan perbuatan yang sama dengan orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadan. Menurut Kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, Rasulullah SAW bersabda:

"مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ"

Artinya: "Barangsiapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya keringanan yang Allah 'azza wa jalla berikan kepadanya, maka tidak akan bisa menjadi ganti darinya, sekalipun ia berpuasa selama satu tahun," (HR Abu Hurairah).

Dalam hadis ini disebutkan bahwa mengganti puasa yang terlewat tidak akan mampu menghapus dosa tersebut sepenuhnya. Bahkan, qadha yang dikerjakan di bulan Ramadan tidak dapat menyamai keutamaan puasa di bulan suci itu. Sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abdurrauf Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir, satu hari puasa Ramadan yang ditinggalkan tidak memiliki keutamaan yang sama dengan puasa di luar bulan Ramadan meskipun puasa tersebut dilakukan terus menerus.

Sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

"يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ"

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"

Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa puasa Ramadan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan kepada perintah Allah SWT. Oleh karena itu, sangatlah merugikan bagi seseorang yang tidak melaksanakan puasa atau dengan sengaja membatalkannya tanpa alasan yang dibenarkan. Ini menandakan pentingnya kesadaran dan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama.

4 dari 4 halaman

Balasan di Akhirat

Dalam konteks ajaran Islam, membatalkan puasa secara sengaja merupakan suatu tindakan yang sangat dilarang dan menghadapi konsekuensi serius di akhirat. Sebagaimana dilaporkan oleh NU Online, ada ancaman dan siksaan yang menanti bagi orang yang nekat membatalkan puasa dengan sengaja di dunia. An-Nasa'i meriwayatkan sebuah hadits yang menggambarkan azab yang mengerikan bagi pelaku tindakan tersebut.

Hadits tersebut mengutip peristiwa di mana Rasulullah SAW bermimpi bahwa dua malaikat datang kepadanya dan membawa pundaknya. Mereka kemudian membawanya ke suatu tempat di mana Rasulullah mendapati sekelompok orang yang digantung dengan tubuh mereka, mulut mereka terbelah dan mengeluarkan darah. Ketika Rasulullah bertanya tentang identitas mereka, malaikat menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang membatalkan puasa mereka sebelum waktunya.

Hadits ini memberikan gambaran yang menakutkan tentang azab yang menanti bagi mereka yang membatalkan puasa dengan sengaja. Mereka akan mengalami siksaan yang sangat pedih di akhirat, dengan tubuh mereka digantung dan mulut mereka terbelah, mengeluarkan darah sebagai bentuk hukuman atas pelanggaran serius terhadap perintah Allah.

وعن أبي أمامة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان فأخذا بضبعي، ثم انطلق به فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم مشققة أشداقهم تسيل أشداقهم دما، قلت: من هؤلاء؟ قال: هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم".

Artinya: Dari Abu Umamah berkata, 'Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: 'Pada saat aku tidur, aku bermimpi didatangi dua orang malaikat membawa pundakku. Kemudian mereka membawaku, saat itu aku mendapati suatu kaum yang bergantungan tubuhnya, dari mulutnya yang pecah keluar darah. Aku bertanya: 'Siapa mereka?' Ia menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum diperbolehkan waktunya berbuka puasa,'" (HR An-Nasa'i).

Dengan demikian, hadits ini menjadi peringatan serius bagi umat Islam untuk menjaga dan melaksanakan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan ketakwaan, serta menghindari segala bentuk pelanggaran yang dapat mengakibatkan kerugian di dunia maupun di akhirat. Semoga kita semua dapat memahami pentingnya menjaga ketaatan kepada ajaran agama dan menghindari segala bentuk kemaksiatan.