Sukses

Pelecehan Seksual Verbal Adalah Tindakan Kriminal, Ini Penjelasannya

Pengertian dan pandangan hukum tentang pelecehan seksual verbal, beserta indikasi dan cara melaporkan nya

Liputan6.com, Jakarta Pelecehan seksual verbal adalah bentuk kekerasan yang mengandalkan kata-kata atau pernyataan dengan nuansa seksual yang tidak pantas. Pelecehan seksual verbal adalah tindakan yang sering kali merendahkan martabat dan hak asasi seseorang berdasarkan seksualitasnya. Dalam konteks hukum, pelecehan seksual verbal adalah perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana karena melanggar norma-norma kesusilaan dan hak-hak individu terhadap kehormatan diri mereka.

Pelecehan seksual verbal adalah tindakan yang sering kali dilakukan dengan tujuan mempermalukan dan merendahkan korban secara seksual. Pelecehan seksual verbal adalah bentuk eksploitasi yang memanfaatkan kata-kata atau ucapan dengan maksud menghina dan melukai secara emosional. Di dalam masyarakat, pelecehan seksual verbal sering kali dianggap sebagai tindakan yang tidak hanya merugikan secara psikologis, tetapi juga melanggar hak asasi manusia untuk hidup dengan martabat dan rasa aman.

Pelecehan seksual verbal adalah tindakan yang dapat terjadi di berbagai lingkungan, seperti di tempat kerja, di sekolah, dalam hubungan interpersonal, dan bahkan di ruang publik. Pelecehan seksual verbal adalah masalah serius yang membutuhkan kesadaran dan tindakan hukum yang tegas untuk melindungi korban serta mencegah terjadinya tindakan kekerasan serupa di masa depan. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang pelecehan seksual verbal serta penegakan hukum yang efektif menjadi sangat penting dalam upaya menjaga keadilan dan keamanan sosial.

Untuk pemahaman lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pengertian dan pandangan hukum tentang pelecehan seksual verbal, beserta indikasi dan cara melaporkannya, pada Senin (18/3).

2 dari 5 halaman

Apa Itu Pelecehan Seksual?

Pelecehan seksual merupakan tindakan yang melibatkan eksploitasi seksual terhadap seseorang tanpa izin atau persetujuan mereka. Dalam konteks hukum di Indonesia, istilah pelecehan seksual tidak secara eksplisit diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai gantinya, KUHP mengenal istilah perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 hingga 296.

Menurut penjelasan Ratna Batara Munti dalam bukunya tentang kekerasan seksual, perbuatan cabul diartikan sebagai tindakan yang melanggar norma kesusilaan, seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, atau meraba-raba buah dada, yang semuanya dilakukan dalam konteks nafsu berahi kelamin.

Pelecehan seksual juga dijelaskan oleh Komnas Perempuan sebagai tindakan seksual yang dapat melibatkan sentuhan fisik maupun nonfisik, dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ini dapat mencakup berbagai perilaku seperti menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, memperlihatkan materi pornografis, serta gerakan atau isyarat seksual yang dapat membuat korban merasa tidak nyaman, tersinggung, atau merasa direndahkan martabatnya. Bahkan, pelecehan seksual dapat berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan korban.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelecehan seksual termasuk sebagai bentuk kekerasan seksual yang dapat terjadi secara fisik maupun nonfisik. Ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual tidak hanya mencakup tindakan-tindakan konkret yang mengganggu secara fisik, tetapi juga mencakup perilaku verbal atau nonfisik yang dapat merugikan korban secara psikologis dan emosional. Dengan demikian, pemahaman tentang pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan yang mengganggu kesusilaan, hak asasi, dan kesejahteraan korban secara luas.

3 dari 5 halaman

Bagaimana dengan Pelecehan Seksual Verbal dalam Pandangan Hukum?

Pelecehan seksual adalah bentuk kekerasan yang melibatkan eksploitasi seksual terhadap individu tanpa persetujuan atau izin mereka. Dalam konteks hukum di Indonesia, istilah "pelecehan seksual" tidak secara spesifik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi istilah yang sering digunakan adalah "perbuatan cabul" yang dijelaskan dalam Pasal 289 hingga 296 KUHP. 

Ratna Batara Munti dalam karyanya tentang kekerasan seksual menjelaskan bahwa perbuatan cabul merujuk pada tindakan yang melanggar norma kesopanan, seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota tubuh sensitif, atau meraba-raba payudara, yang semuanya terjadi dalam konteks dorongan nafsu seksual.

Menurut Ratna, segala tindakan yang dianggap melanggar norma kesopanan dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan cabul. Namun, definisi pelecehan seksual yang lebih luas diberikan oleh Komnas Perempuan, di mana pelecehan seksual mencakup tindakan seksual melalui sentuhan fisik dan nonfisik, termasuk penggunaan siulan, kontak mata yang memiliki nuansa seksual, ucapan dengan konten seksual, memperlihatkan materi pornografis, atau mengungkapkan keinginan seksual. Tindakan ini dapat berupa sentuhan atau colekan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan korban merasa tidak nyaman, tersinggung, atau merasa dirinya direndahkan.

Lebih lanjut, Undang-Undang Perlindungan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengakui pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan seksual, yang dapat terjadi baik secara fisik maupun nonfisik. 

Ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan konkret yang mengganggu secara fisik, tetapi juga meliputi perilaku verbal atau nonfisik yang dapat merugikan korban secara psikologis dan emosional. Dengan demikian, pemahaman tentang pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan yang merusak kesopanan, hak asasi, dan kesejahteraan korban secara menyeluruh.

Pelecehan seksual verbal merupakan bentuk pelecehan seksual nonfisik yang dilakukan melalui kata-kata atau pernyataan yang memiliki nuansa seksual tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan seseorang. Dalam konteks hukum Indonesia, pelecehan seksual verbal diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurut UU TPKS, pelecehan seksual nonfisik termasuk perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.

Pelecehan seksual nonfisik, termasuk pelecehan seksual verbal, dapat berupa pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas lain yang tidak pantas dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan korban. Misalnya, ucapan-ucapan yang bersifat porno atau bernuansa sensual, ucapan-ucapan yang merendahkan martabat seseorang berdasarkan seksualitasnya, serta ucapan-ucapan yang mempermalukan secara seksual.

Dalam UU TPKS, pelecehan seksual verbal dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Pidana tersebut dapat ditingkatkan 1/3 jika pelecehan verbal dilakukan dalam situasi yang spesifik, seperti dalam lingkup keluarga, terhadap anak atau penyandang disabilitas, atau dengan menggunakan sarana elektronik. Selain itu, hakim juga dapat memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak, pengumuman identitas pelaku, atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.

Dengan demikian, pelecehan seksual verbal memiliki konsekuensi hukum yang serius sesuai dengan ketentuan UU TPKS dan dapat dikenakan pidana sesuai dengan keberatannya serta konteks di mana pelecehan tersebut terjadi.

4 dari 5 halaman

Indikasi Pelecehan Seksual Verbal

Indikasi pelecehan seksual verbal mengacu pada tanda-tanda atau perilaku tertentu yang mengisyaratkan terjadinya pelecehan seksual verbal. Beberapa indikasi yang sering muncul dalam kasus pelecehan seksual verbal antara lain:

  1. Bahasa yang tidak pantas atau bersifat seksual: Indikasi utama dari pelecehan seksual verbal adalah penggunaan kata-kata, kalimat, atau ucapan yang tidak sesuai dengan norma kesopanan dan memiliki nuansa seksual. Misalnya, penggunaan kata-kata kasar, kata-kata porno, atau bahasa yang merendahkan martabat seseorang secara seksual.
  2. Komunikasi yang terus-menerus dan tidak diinginkan: Jika seseorang secara terus-menerus mengirimkan pesan-pesan atau melakukan komunikasi verbal yang bersifat seksual kepada korban tanpa persetujuan atau permintaan dari korban, ini dapat menjadi indikasi pelecehan seksual verbal.
  3. Merendahkan martabat dan mengintimidasi: Pelecehan seksual verbal seringkali juga ditandai dengan upaya untuk merendahkan martabat korban, mengintimidasi, atau membuat korban merasa tidak nyaman dengan kata-kata atau pernyataan yang disampaikan. Hal ini bisa mencakup komentar-komentar yang menghina atau mengacu pada tubuh atau seksualitas korban dengan cara yang tidak patut.
  4. Reaksi negatif atau ketidaknyamanan: Jika korban merespon dengan ketidaknyamanan, kebingungan, atau marah terhadap komunikasi verbal tertentu, ini bisa menjadi indikasi bahwa komunikasi tersebut dianggap sebagai pelecehan seksual verbal.
  5. Konteks dan tujuan komunikasi: Penting untuk memperhatikan konteks dan tujuan dari komunikasi verbal yang dilakukan. Jika komunikasi tersebut dilakukan dengan tujuan yang tidak pantas, seperti merayu atau menekan korban secara seksual, maka hal tersebut dapat menjadi indikasi pelecehan seksual verbal.

Dalam mengidentifikasi indikasi pelecehan seksual verbal, perlu dilakukan pengamatan yang cermat terhadap komunikasi yang terjadi serta respons korban terhadap komunikasi tersebut. Tindakan ini penting untuk memahami dan menangani kasus pelecehan seksual verbal dengan lebih tepat dan efektif.

5 dari 5 halaman

Cara Melaporkan Pelecehan Seksual Verbal

Melaporkan pelecehan seksual verbal adalah langkah penting untuk menindaklanjuti dan menyelesaikan masalah tersebut secara hukum. Berikut adalah langkah-langkah umum untuk melaporkan pelecehan seksual verbal:

  1. Simpan Bukti: Pertama, pastikan Anda memiliki bukti-bukti yang mendukung klaim pelecehan seksual verbal, seperti pesan teks, percakapan chat, rekaman suara, atau catatan-catatan yang mencatat kejadian-kejadian yang terjadi. Bukti-bukti ini akan menjadi dasar yang kuat dalam proses pelaporan.
  2. Temui Pihak Terpercaya: Anda dapat memulai dengan berkonsultasi dan melaporkan kejadian pelecehan seksual verbal kepada pihak-pihak yang terpercaya, seperti polisi, lembaga perlindungan hak asasi manusia, atau konselor yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual.
  3. Lengkapi Laporan: Ketika Anda melaporkan pelecehan seksual verbal, pastikan untuk memberikan informasi yang lengkap dan jujur. Sampaikan kronologi kejadian, identitas pelaku (jika diketahui), bukti-bukti yang Anda miliki, dan dampak yang Anda alami akibat pelecehan tersebut.
  4. Ikuti Prosedur Hukum: Setelah melaporkan kejadian, ikuti prosedur hukum yang berlaku. Ini termasuk memberikan keterangan lebih lanjut jika diminta oleh pihak berwenang, menghadiri sesi mediasi atau penyelidikan yang mungkin diadakan, dan memberikan kerjasama dalam proses penyelidikan.
  5. Dapatkan Dukungan: Selama proses pelaporan dan penyelesaian kasus, penting untuk mendapatkan dukungan dari keluarga, teman-teman, atau profesional yang dapat membantu Anda menghadapi situasi ini dengan lebih kuat dan tenang.
  6. Lakukan Tindakan Pencegahan: Selain melaporkan kejadian pelecehan seksual verbal, lakukan juga tindakan pencegahan untuk melindungi diri Anda dari kejadian serupa di masa depan. Ini termasuk menjaga komunikasi yang sehat dan menghindari situasi atau lingkungan yang berpotensi menyebabkan pelecehan.

Penting untuk diingat bahwa setiap negara memiliki sistem hukum yang berbeda, jadi pastikan untuk memahami prosedur dan hak-hak Anda dalam melaporkan pelecehan seksual verbal sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah Anda.

 

Â