Liputan6.com, Jakarta - Umat Muslim harus paham akan hukum merayakan Idul Fitri. Mayoritas ulama sepakat bahwa merayakan Idul Fitri termasuk dalam kategori sunnah muakkad, yakni sangat dianjurkan namun tidak wajib. Ini berdasarkan larangan Rasulullah SAW terhadap puasa pada hari raya Idul Fitri, yang menegaskan bahwa perayaan ini memiliki nilai keagamaan yang tinggi dan diharapkan oleh umat Muslim.
"Bahwasanya Rasulullah SAW melarang puasa dalam dua hari, yakni ketika hari Idul Fitri dan Idul Adha." (Muttafaq Alaih)
Dalam Islam, hukum merayakan Idul Fitri lebih ditekankan pada sunnah yang sangat dianjurkan daripada menjadi kewajiban. Hal ini tercermin dalam praktik umat Islam dalam merayakan hari raya tersebut, yang mencakup pelaksanaan sholat sunnah berjamaah dan pengamalan nilai-nilai kebaikan serta kebersamaan.
Advertisement
Pada perspektif ini, hukum merayakan Idul Fitri tidak hanya menjadi tindakan ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat ikatan antar sesama Muslim dalam merayakan keberkahan Ramadan yang telah berlalu.
Meskipun demikian, keutamaan merayakan Idul Fitri tidak dapat diabaikan. Hari raya Idul Fitri dianggap sebagai momen penuh kebahagiaan, kesucian, dan pembagian pahala serta ampunan dari Allah SWT. Dalam praktiknya, perayaan ini diisi dengan dzikir, rasa syukur, dan upaya untuk mendapatkan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hukum merayakan Idul Fitri dan keutamaan merayakannya, Kamis (28/3/2024).
Hukum Merayakan Idul Fitri Sunnah Muakkad
Hukum merayakan Idul Fitri dipandang dari larangan berpuasa pada hari tersebut menunjukkan pentingnya perayaan ini dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW secara tegas melarang umatnya untuk berpuasa pada hari raya Idul Fitri, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Muttafaq Alaih.
Larangan ini menegaskan bahwa Idul Fitri adalah momen yang dianggap istimewa dan berbeda dari hari-hari lainnya. Dalam perspektif mayoritas ulama, merayakan Idul Fitri memiliki hukum sunnah muakkad, yang berarti sangat dianjurkan dan mendekati wajib. Hal ini menggambarkan pentingnya perayaan ini dalam praktik keagamaan umat Islam.
Dari segi keutamaan menghadiri sholat Idul Fitri, hukum merayakan Idul Fitri menjadi semakin jelas. Sholat Idul Fitri adalah bagian integral dari perayaan ini dan merupakan ibadah yang dianjurkan bagi semua golongan umat Muslim, tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau kondisi.
DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA, dalam bukunya "Panduan Muslim Sehari-hari" menjelaskan bahwa sholat Idul Fitri dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang yang sedang dalam perjalanan. Dengan demikian, kehadiran dan pelaksanaan sholat Idul Fitri menjadi sebuah kewajiban moral bagi umat Islam sebagai bagian dari identitas dan praktek keagamaan mereka.
Namun demikian, ada hal yang menarik perhatian dalam hukum merayakan Idul Fitri, terutama terkait dengan keikutsertaan wanita yang sedang mengalami haid. Meskipun dalam keadaan seperti ini, mereka tidak menjalankan sholat wajib, namun tetap dianjurkan untuk hadir dalam sholat Idul Fitri.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa wanita haid disunahkan untuk hadir dalam sholat Idul Fitri dan mengagungkan nama Allah SWT dengan takbir. Hal ini menunjukkan inklusivitas dalam praktik keagamaan Islam, di mana semua anggota komunitas diharapkan untuk merayakan dan mengambil bagian dalam perayaan keagamaan bersama.
Secara keseluruhan, pandangan mayoritas ulama Islam menegaskan bahwa merayakan Idul Fitri memiliki hukum sunnah muakkad, yang menunjukkan pentingnya perayaan ini dalam praktik keagamaan umat Islam. Larangan berpuasa pada hari raya Idul Fitri, keutamaan menghadiri sholat Idul Fitri bagi semua golongan, termasuk perempuan haid, serta inklusivitas dalam partisipasi dalam perayaan keagamaan.
Advertisement
Keutamaan Merayakan Idul Fitri
Keutamaan merayakan Idul Fitri meliputi beragam aspek yang tercermin dalam ajaran Islam, sebagaimana diuraikan dalam buku "Panduan Muslim Sehari-hari" oleh DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA, dan Saiful Hadi El-Sutha.
- Merayakan Kesuksesan. Pertama-tama, Idul Fitri adalah hari yang penuh dengan kebahagiaan dan kegembiraan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Hal ini karena pada hari tersebut, umat Muslim merayakan kesuksesan mereka dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sempurna, yang berpotensi mendapatkan pahala dan ampunan dari Allah SWT.
- Hari yang Baik dalam Islam. Selanjutnya, Idul Fitri dianggap sebagai hari yang baik dalam Islam. Rasulullah SAW menyatakan bahwa Allah SWT telah memberikan dua hari yang lebih baik kepada umat Muslim, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Hari raya Idul Fitri seharusnya diisi dengan dzikir, rasa syukur, serta upaya untuk mendapatkan ampunan. Ini membedakannya dari hari raya pada masa jahiliyah yang tidak mengandung nilai-nilai keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
- Tanda Mengakhiri Bulan Ramadhan. Keutamaan lain dari Idul Fitri adalah sebagai hari kembali berbuka, yang merupakan makna dari kata "Id" dan "fitri". Hari ini menjadi momen bagi umat Islam untuk kembali berbuka atau makan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
- Dosa-Dosa akan Diampuni. Selain itu, Idul Fitri merupakan hari kembali menjadi suci bagi umat Muslim. Kata "fitri" mengandung makna suci atau bersih dari segala dosa dan kesalahan. Hadis yang menyatakan bahwa dosa-dosa yang lalu akan diampuni bagi mereka yang berpuasa Ramadan atas dasar iman memberikan keyakinan bahwa Idul Fitri adalah momen penyucian bagi umat Islam.
- Hari Pembagian Pahala. Terakhir, Idul Fitri juga menjadi hari pembagian pahala dan ampunan dari Allah SWT bagi mereka yang telah berpuasa Ramadhan dan mengerjakan amalan saleh atas dasar iman. Dalam hadis yang menyebutkan bahwa Allah SWT akan memberikan ampunan kepada mereka yang keluar untuk melaksanakan sholat Idul Fitri, tergambar pentingnya momen ini dalam mendapatkan keberkahan dan pengampunan dari Allah SWT. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim).