Liputan6.com, Jakarta Anak adopsi merupakan sebuah proses hukum, di mana seorang anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, emosional, atau fisik secara permanen diadopsi oleh orang lain. Namun, pada umumnya muncul pertanyaan apakah anak adopsi berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkat mereka?
Baca Juga
Advertisement
Apakah anak adopsi berhak mendapatkan warisan? Di Indonesia, Pasal 830 KUH Perdata menyatakan bahwa anak angkat memiliki hak untuk mewarisi harta benda dari orang angkat mereka, sejauh tidak ada ahli waris sah lainnya. Namun, beberapa syarat harus dipenuhi agar anak angkat dapat memperoleh hak waris tersebut.
Pertama, proses adopsi harus telah dilakukan secara sah dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Apakah anak adopsi berhak mendapatkan warisan? Sesuai dengan Pasal 256 Hukum Acara Perdata, anak yang telah diadopsi tidak lagi menjadi ahli waris dari keluarga kandung, kecuali ada pernyataan dari orang tua angkat yang menyatakan sebaliknya.
Apakah anak adopsi berhak mendapatkan warisan? Dalam hukum Islam, anak adopsi atau anak angkat tidak boleh menerima warisan tetapi bisa mendapatkan wasiat, wasiat itu namanya wasiat wajibah. Pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua kandungnya. Oleh karena itu, anak angkat tidak menjadi ahli waris orang tua angkat.
Berikut ini pandangan hukum waris bagi anak adopsi yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (15/4/2024).
Hukum Adopsi Anak
Di Indonesia, regulasi mengenai pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memperhatikan aspek ini. Pasal 171 huruf h KHI menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang tanggung jawabnya, dalam hal pemeliharaan sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya, dialihkan dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Sejak lama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait adopsi. Fatwa tersebut dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional MUI pada bulan Maret 1984. Dalam salah satu pertimbangannya, para ulama menegaskan bahwa Islam mengakui keturunan yang sah sebagai anak yang lahir dari perkawinan. Namun, MUI juga menekankan pentingnya untuk tidak memutus hubungan keturunan (nasab) antara anak dan orang tua kandungnya saat melakukan pengangkatan (adopsi).
Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surah al-Ahzab ayat 4, "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sen diri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang se benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.''
Begitu pula surah al-Ahzab ayat 5, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).''
Surah al-Ahzab ayat 40 kem bali menegaskan, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan, Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.''
Nabi Muhammad SAW bersabda, "Dan, Abu Zar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Advertisement
Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Barat
Dalam Konteks Hukum Perdata, seperti yang diatur dalam KUHPerdata, tidak secara eksplisit mengatur tentang pengangkatan anak atau adopsi. Namun, untuk melengkapi ketidakjelasan ini, dikeluarkanlah Staatsblad No. 129 Tahun 1917 sebagai tambahan aturan terkait masalah tersebut.
Pasal 11 Staatsblad No. 129 Tahun 1917 menyatakan bahwa secara hukum, anak angkat akan mengambil nama dari bapak angkatnya. Sementara itu, Pasal 12 ayat (1) menjelaskan bahwa anak angkat diakui sebagai anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tua angkatnya.
Artinya, proses pengangkatan anak dipandang sebagai langkah yang memutuskan segala bentuk hubungan hukum atau perdata anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dengan demikian, anak angkat secara resmi dianggap sebagai anak dari orang tua angkatnya. Dengan status ini, sudah sepantasnya jika anak angkat memiliki hak sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu, anak yang diadopsi secara sah melalui putusan pengadilan, kedudukannya adalah sama dengan anak kandung. Sehingga yang bersangkutan berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya.
Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat, kedudukan anak angkat sebagai ahli waris sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat setempat. Hal ini karena hukum adat mengenal tiga jenis sistem kekerabatan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Di dalam sistem kekerabatan patrilineal, yang berlaku contohnya di Bali, garis keturunan dihitung dari pihak laki-laki. Sehingga, anak laki-laki angkat lebih diutamakan dibandingkan anak perempuan. Akibatnya, dalam sistem ini, anak laki-laki yang diangkat memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima sebagai ahli waris dalam keluarga tersebut.
Sebaliknya, dalam sistem kekerabatan matrilineal seperti yang ada di Minangkabau, garis keturunan dihitung dari pihak perempuan. Hal ini berarti bahwa anak perempuan angkat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjadi ahli waris. Sementara itu, dalam sistem kekerabatan parental, baik anak laki-laki maupun perempuan angkat memiliki hak yang sama sebagai ahli waris. Dengan demikian, gambaran tentang kedudukan hak waris anak angkat bervariasi tergantung pada sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat adat. Namun, penting untuk mencatat bahwa kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak anak angkat perlu diperkuat ke depannya demi terwujudnya keadilan bagi semua pihak.
Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Islam
Berbeda dengan hukum perdata, dalam hukum Islam, anak angkat tidak memiliki hak untuk menerima bagian waris dari orang tua angkatnya. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak waris kerabat atau ahli waris yang secara syar'i berhak menerimanya. Meskipun demikian, hukum Islam memberikan celah bagi anak angkat untuk tetap memperoleh sebagian harta dari orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah.
Wasiat wajibah adalah instruksi tertulis dari pewaris yang harus dipenuhi oleh ahli waris. Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus didahulukan sebelum pembagian warisan kepada anak kandung atau ahli waris lainnya. Aturan ini memiliki dasar hukum dalam Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yang mengatur kewajiban ahli waris terhadap pewaris, termasuk kewajiban untuk memenuhi semua wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris.
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai wasiat wajibah, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa harta peninggalan anak angkat akan dibagi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 176 sampai dengan 193 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, jika orang tua angkat tidak menerima wasiat wajibah, mereka berhak atas wasiat sebesar 1/3 dari harta warisan anak angkat. Begitu pula, jika anak angkat tidak menerima wasiat, mereka memiliki hak atas wasiat sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Ketika mereka melihat ada seorang anak yang secara fisik membuat mereka tertarik, mereka pun mengklaimnya sebagai anak dan dinasabkan kepada mereka (bapak angkat). Tradisi ini pun pernah dijalani oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dari perbudakan. Setelah diangkat sebagai anak, Zaid pun menyebut dirinya dengan “Zaid bin Muhammad”.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,
لقد كانوا -أيها الإخوة- يدعون الإنسان لمن تبناه، فيأتي إنسان يتبنى شخصاً له أب معروف، فيلغي اسم أبيه، وينسبه إلى نفسه، أو له أب غير معروف فيعطيه اسماً يضيفه إليه، وينسبه إلى نفسه
“Wahai saudaraku, sungguh mereka dahulu memanggil seseorang dengan nama ayah angkatnya. Ada seseorang yang mengangkat orang lain sebagai anak angkatnya, anak itu memiliki ayah kandung yang sudah dikenal. Kemudian (setelah dijadikan sebagai anak angkat), dia tutupi (hilangkan) nama ayah kandungnya, dan dia nasabkan kepada dirinya sendiri. Atau anak itu tidak diketahui siapa ayah kandungnya, kemudian dia beri nama yang dia sandarkan kepada dirinya dan dia nasabkan kepada dirinya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])
Advertisement