Sukses

Suku Bajo, Suku Maritim yang Terus Ada dan Berkembang di Indonesia

Asal usul Suku Bajo dan keunikan nya.

Liputan6.com, Jakarta Suku Bajo, sebuah nama yang melekat erat dengan kehidupan nomaden di lautan biru. Berawal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan, mereka telah menjelajahi perairan Asia Tenggara dan menemukan rumah baru di hampir seluruh kepulauan Indonesia.

Namun, apa sebenarnya yang membuat Suku Bajo begitu unik? Bagaimana kehidupan mereka yang berpindah-pindah ini terus beradaptasi dengan zaman modern? Selain itu, bagaimana hubungan mereka dengan suku-suku lain di sekitar pulau-pulau tempat mereka menetap?

Dalam ceruk lautan yang luas, Suku Bajo menemukan keindahan dan kebebasan yang jarang dirasakan oleh banyak orang. Namun, di balik kehidupan yang mengagumkan itu, apa sebenarnya yang membuat Suku Bajo tetap kokoh di tengah arus perubahan zaman? Bagaimana tradisi dan kearifan lokal mereka tetap terjaga, meski banyak anggota suku ini telah menetap dan berbaur dengan komunitas lain di pulau-pulau yang mereka singgahi?

Suku Bajo, suku yang memiliki ikatan kuat dengan lautan dan kehidupan nomaden. Namun, di balik keindahan alam dan kehidupan yang berpindah-pindah, masih banyak misteri yang ingin kita pecahkan. Apa yang membuat Suku Bajo begitu terpaku pada kehidupan di atas laut? Bagaimana mereka mempertahankan identitas dan budaya mereka di tengah perubahan zaman yang terus berlangsung? 

Untuk informasi lebih lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, pada Senin (6/5).

2 dari 4 halaman

Asal Usul Suku Bajo

Suku Bajo atau yang juga dikenal dengan nama Suku Bajau atau Suku Sama merupakan suku bangsa yang berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Mereka terkenal sebagai suku nomaden yang hidup di atas laut, dikenal juga sebagai gipsi laut.

Bahasa yang digunakan oleh Suku Bajo adalah Bahasa Sama-Bajau. Sejarah mencatat bahwa Suku Bajau telah menyebar ke berbagai wilayah, termasuk negeri Sabah dan berbagai wilayah di Indonesia, sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka juga diakui sebagai anak negeri di Sabah.

Migrasi suku-suku di Kalimantan diyakini berasal dari arah utara, yakni Filipina, pada zaman prasejarah. Suku Bajo, yang mayoritas beragama Islam, merupakan gelombang migrasi terakhir dari arah utara Kalimantan. Mereka memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan, serta menduduki pulau-pulau di sekitarnya. Hal ini terjadi lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis, seperti suku Bugis dan suku Mandar.

Saat ini, Suku Bajo telah menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia, terutama Indonesia Timur, bahkan sampai ke Madagaskar. Mereka umumnya telah menetap dan berbaur dengan suku-suku lain di daerah-daerah yang mereka huni.

Beberapa wilayah di Indonesia yang terdapat Suku Bajo antara lain Kalimantan Utara (Nunukan, Tana Tidung, Tarakan, dan Bulungan), Kalimantan Timur (Berau, Bontang, Balikpapan, dll.), Kalimantan Selatan (kabupaten Kotabaru disebut orang Bajau Rampa Kapis), Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Pulau Boleng, Seraya, Longos, Komodo, dan sekitarnya), serta Sapeken di Sumenep. Mereka juga dapat ditemui di wilayah Indonesia timur lainnya.

3 dari 4 halaman

Kehidupan Sehari-hari Suku Bajo

Suku Bajau memiliki kehidupan yang unik, di mana sebagian besar dari mereka telah mulai tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas tiang di perairan dangkal. Namun, ada juga sebagian Suku Bajau yang hidup sebagai penghuni perahu. Di antara mereka, komunitas lokal terdiri dari kelompok-kelompok perairan yang tersebar yang terdiri dari keluarga-keluarga yang anggotanya secara teratur kembali, antara interval penangkapan ikan, ke tempat pengikatan bersama yang umum.

Biasanya, dua hingga enam keluarga akan bergabung dalam aliansi untuk secara teratur menangkap ikan dan berkumpul bersama, seringkali berbagi makanan, jaring dan perlengkapan serta menggabungkan tenaga kerja. Saat ini, kegiatan penangkapan ikan utamanya untuk dijual ke pasar. Aktivitas penangkapan ikan bervariasi dengan pasang surut air laut, monsun dan angin lokal, arus, migrasi ikan pelagis, dan siklus bulanan lunar.

Selama malam tanpa bulan, penangkapan ikan sering dilakukan dengan menggunakan lampu-lampu, menggunakan tombak dan tali pancing. Sebagian besar ikan diawetkan dengan cara diasinkan atau dikeringkan. Dalam beberapa kasus, penyu ditangkap dan disimpan di bawah rumah sampai waktu perayaan yang tepat (seperti pernikahan anak laki-laki) – yang menyebabkan kekhawatiran bagi para konservasionis laut.

Perahu yang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga bervariasi dalam ukuran dan konstruksi. Di Indonesia dan Malaysia, perahu rata-rata memiliki panjang 10 meter dan lebar 2 meter. Mereka terbuat dari konstruksi papan dengan bagian lunas dan bagian depan yang kokoh. Semuanya dilengkapi dengan area tinggal beratap yang terbuat dari tiang-tiang dan anyaman jerami serta tempat memasak portabel dari tanah liat, biasanya dibawa di dekat buritan, digunakan untuk menyiapkan makanan keluarga.

Suku Bajau yang tinggal di atas perahu (berbeda dengan tetangga mereka) melihat diri mereka sebagai orang yang non-agresif yang lebih memilih melarikan diri daripada konfrontasi fisik. Oleh karena itu, kelompok-kelompok yang politiknya dominan di wilayah tersebut secara historis melihat Suku Bajau dengan pandangan meremehkan sebagai subjek yang penakut dan tidak dapat diandalkan.

 
4 dari 4 halaman

Pola Pemukiman Suku Bajo 

Suku Bajo, meskipun tersebar di berbagai pulau, mempertahankan kesatuan dalam pola pemukiman yang unik. Menurut penelitian yang dikutip dari Iklim Tropis dan Uniknya Bentuk Rumah Tradisional Nusantara oleh Nur Inayah Syar (2019: 22-23), Suku Bajo memiliki tiga pola pemukiman yang berbeda, yang menunjukkan adaptasi mereka terhadap lingkungan laut yang menjadi rumah bagi mereka selama berabad-abad.

Pola Pertama: Rumah yang benar-benar terpisah dari daratan dan berada di laut lepas. Fondasi rumah ini menggunakan batu karang, mencerminkan keterampilan konstruksi tradisional yang kokoh dalam menghadapi tantangan lingkungan laut yang keras.

Pola Kedua: Rumah yang menjorok ke arah lautan dan terhubung dengan daratan menggunakan jembatan. Ini menunjukkan kreativitas dalam mengatasi medan yang sulit, sambil mempertahankan keterhubungan dengan daratan untuk keperluan sehari-hari.

Pola Ketiga: Rumah yang dibangun di pesisir pantai dengan memadatkan pasir dan batu karang (reklamasi). Pada pola ini, mereka menciptakan lorong rumah sebagai jalur perahu agar mudah melintas di antara pemukiman, menunjukkan kesadaran akan pentingnya mobilitas maritim dalam kehidupan sehari-hari.

Rumah-rumah yang dibuat oleh Suku Bajo memiliki bentuk rumah panggung, yang sering disebut sebagai "rumah atas" karena berada di atas laut. Meskipun tersebar di beberapa pulau, keunikan pola pemukiman ini memperlihatkan kekompakan dan kesinambungan budaya Suku Bajo di berbagai wilayah.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, pola pemukiman yang terpusat di atas laut juga menciptakan tantangan tersendiri bagi interaksi antara Suku Bajo dengan komunitas suku lain. Keterbatasan akses daratan dan ketergantungan pada kehidupan laut menjadi ciri khas yang membedakan mereka, sekaligus membuat mereka agak terisolasi dalam kehidupan sosial di daratan.