Sukses

Nikah Beda Agama di Indonesia Dicatat di Mana? Begini Hukum Menurut UU

Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, syarat sahnya perkawinan, yaitu jika dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Liputan6.com, Jakarta - Nikah beda agama di Indonesia adalah fenomena yang cukup kompleks karena keberagaman keyakinan di negara ini. Perbedaan agama di antara pasangan yang ingin menikah sering menimbulkan pertanyaan tentang pencatatan pernikahan.

Meskipun pernikahan beda agama terjadi di Indonesia, banyak orang bertanya-tanya di mana pernikahan ini sebaiknya dicatat dan bagaimana hukum mengaturnya. Hal ini penting karena pencatatan pernikahan menjadi dasar legalitas dalam berbagai aspek hukum, termasuk hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri.

Terkait dengan pencatatan, tercantum dalam pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan berlaku juga bagi pernikahan yang ditetapkan oleh pengadilan. Namun, jika salah satu pasangan beragama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Di sisi lain, jika keduanya beragama non-Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Dari perspektif hukum nikah beda agama di Indonesia, menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan syarat sahnya perkawinan, yaitu jika dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa hukum pernikahan di Indonesia sangat bergantung pada ajaran agama yang dianut oleh pasangan.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang aturan nikah beda agama di Indonesia menurut UU yang berlaku, Selasa (7/5/2024).

2 dari 3 halaman

Pencatatan Nikah Beda Agama di Indonesia

Keberagaman agama di Indonesia yang memungkinkan terjadinya pernikahan antara dua individu yang menganut keyakinan agama yang berbeda. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah di mana pencatatan perkawinan beda agama tersebut seharusnya dilakukan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), perkawinan yang dilangsungkan antar-umat yang berbeda agama termasuk dalam kategori "perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan."

Menurut UU Adminduk, Pasal 35 huruf a menjelaskan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan, seperti nikah beda agama, juga tunduk pada pencatatan yang diatur dalam Pasal 34 UU Adminduk. Namun, Pasal 34 ayat (4) UU Adminduk hanya menetapkan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh penduduk yang beragama Islam harus dilaporkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.

Hal ini menimbulkan kebingungan mengenai di mana perkawinan beda agama sebaiknya dicatatkan, apakah di KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).

Untuk memahami hal ini, perlu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975). Pasal 2 ayat (1) PP 9/1975 menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan bagi mereka yang menikah menurut agama Islam dilakukan oleh KUA. Ini berarti bahwa perkawinan beda agama, jika dilangsungkan dengan penetapan pengadilan, harus dicatatkan di KCS, sesuai dengan pasal tersebut.

Bila demikian, dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia tergantung pada keyakinan agama yang dianut oleh pasangan tersebut. Jika keduanya menganut agama non-Islam, pencatatan dilakukan di KCS. Namun, jika salah satu memeluk agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA hanya jika perkawinan tersebut dilangsungkan menurut keyakinan agama Islam.

3 dari 3 halaman

Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Selain itu, perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski demikian, UU Perkawinan tidak secara eksplisit melarang atau mengizinkan perkawinan beda agama, yang menimbulkan kekosongan hukum terkait topik ini.

Dalam konteks hukum nikah beda agama di Indonesia, banyak interpretasi yang didasarkan pada ajaran agama. Dalam Islam, misalnya, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan haram. Ini berdasarkan QS. Al Baqarah [2]: 221 yang melarang pria maupun wanita Islam menikah dengan orang yang tidak beragama Islam.

"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."

Ketentuan tersebut diperkuat oleh Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perkawinan antara seorang pria Islam dan wanita non-Islam, atau sebaliknya, adalah dilarang.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 menegaskan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Fatwa ini mencerminkan pendirian Islam di Indonesia mengenai hukum nikah beda agama, yang kemudian memengaruhi praktik pernikahan di masyarakat Islam. Sementara itu, agama-agama lain memiliki aturan dan penafsiran sendiri tentang perkawinan beda agama.

Oleh karena itu, hukum nikah beda agama di Indonesia sangat tergantung pada ajaran agama masing-masing pasangan.

Â