Sukses

Presiden Ke-4 Indonesia serta Masa Jabatannya, Dikenal Sebagai Tokoh Antikekerasan

Presiden ke-4 di Indonesia adalah Abdurrahman Wahid.

Liputan6.com, Jakarta Presiden ke-4 di Indonesia, Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil sebagai Gus Dur, adalah sosok yang dianggap sebagai pejuang sejati demokrasi, bapak pluralisme dan tokoh antikekerasan. Gus Dur menjabat sebagai presiden pada periode 1999-2001, setelah sebelumnya menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU) selama hampir 15 tahun.

Sebagai seorang pejuang sejati demokrasi, Presiden ke-4 Indonesia ini telah berjuang untuk meningkatkan ruang demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Ia mendorong adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan menekankan perlunya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang berkomitmen untuk mendukung keberagaman dan mengatasi konflik keagamaan di Indonesia.

Sebagai bapak pluralisme, Gus Dur memegang prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang dikenal dengan keberagaman budaya, agama, dan etnis. Ia mempromosikan toleransi antaragama dan menghargai perbedaan sebagai kekayaan bangsa. Selama kepemimpinannya, ia aktif mendukung dialog antaragama dan merangkul komunitas minoritas.

Selain itu, Presiden ke-4  Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai tokoh antikekerasan. Ia menentang penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan konflik, dan selalu mendorong dialog sebagai alat untuk mencapai perdamaian. Hal ini terlihat dalam berbagai upayanya untuk meredakan konflik separatisme di Indonesia, seperti di Aceh dan Papua.

Meskipun masa kepresidenannya tergolong singkat, warisan dan pengaruh Gus Dur dalam memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme tetap diingat oleh banyak orang di Indonesia. Berikut ini biografi singkat Presiden ke-4 Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (28/5/2024).

 

2 dari 4 halaman

Mengenal Sosok Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, memiliki nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil. Secara etimologis, ad-Dakhil berarti "sang penakluk". Namun, karena nama ad-Dakhil tidak begitu dikenal luas, nama tersebut diganti menjadi Abdurrahman Wahid. Gus Dur lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, sehingga mendapat sebutan "Gus", yang merupakan kependekan dari kata "Bagus". Sebutan ini biasanya diberikan kepada anak seorang kiai sebagai bentuk penghormatan, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang kontroversial namun sangat berdedikasi terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembela kaum minoritas.

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. Dia adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, KH. Wahid Hasyim, adalah putra KH. Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU), dan sekaligus pendiri Pesantren Tebu Ireng di Jombang. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri KH. Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Denanyar di Jombang, Jawa Timur. Kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syansuri, adalah Rais 'Aam di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menggantikan posisi KH. Wahab Chasbullah.

Pada tahun 1949, ayah Gus Dur diangkat menjadi Menteri Agama pertama Indonesia, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Di lingkungan baru ini, Gus Dur sering berinteraksi dengan berbagai tamu dari berbagai kalangan yang datang ke rumah ayahnya. Hal ini memperkaya pengalaman Gus Dur dalam mengenal dunia politik sejak usia dini. Sejak kecil, Gus Dur sudah menunjukkan kesadaran yang tinggi akan tanggung jawabnya terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Pada bulan April 1953, Gus Dur bersama ayahnya berangkat ke Sumedang, Jawa Barat, untuk menghadiri pertemuan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mengendarai mobil. Namun, di tengah perjalanan, mereka mengalami kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal dunia.

Sebagai tokoh panutan masyarakat Indonesia, Gus Dur sangat dihormati oleh banyak kalangan. Pengabdiannya kepada masyarakat, demokrasi, dan Islam yang toleran membuatnya menjadi sosok yang sangat dihargai. Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang kontroversial, tetapi juga sebagai seorang pembela hak-hak asasi manusia dan minoritas yang gigih.

3 dari 4 halaman

Gus Dur Sebagai Presiden RI Ke-4

Setelah jatuhnya era Soeharto, Indonesia mengalami perubahan besar dalam lanskap politiknya. Banyak partai politik baru bermunculan, memberikan ruang bagi berbagai ideologi dan aspirasi politik yang sebelumnya tertekan. Pada Juni 1998, komunitas Nahdlatul Ulama (NU) melihat potensi besar pada Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, untuk memimpin sebuah partai politik baru. Harapan ini muncul karena banyak yang percaya bahwa Gus Dur dapat menjadi representasi kuat di dunia politik yang sedang bergolak. Gus Dur awalnya enggan, tetapi kemudian mulai mempertimbangkan ide tersebut pada Juli 1998. Dia menyadari bahwa membentuk partai politik adalah satu-satunya cara efektif untuk berjuang di dunia pemerintahan yang baru terbuka. Akhirnya, Gus Dur menyetujui pembentukan sebuah partai politik baru yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat partai tersebut, memberikan arah dan nasihat strategis untuk partai yang baru lahir ini.

Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi mencalonkan Gus Dur sebagai kandidat dalam pemilihan presiden. Namun, pada pemilu Juni 1999, PKB tidak memiliki kursi mayoritas penuh di parlemen, sehingga mereka memutuskan untuk beraliansi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Pada Juli 1999, Amien Rais membentuk sebuah koalisi partai-partai politik Muslim yang disebut Poros Tengah. Koalisi ini mencalonkan Gus Dur sebagai kandidat ketiga dalam pemilihan presiden, yang menyebabkan perubahan dalam komitmen awal terhadap PDIP. Pada 7 Oktober 1999, Gus Dur secara resmi dinyatakan sebagai calon presiden oleh Poros Tengah.

Pada 19 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menolak pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie, yang menyebabkan Habibie mundur dari pencalonan presiden. Situasi ini membuka jalan bagi calon-calon lain. Akbar Tanjung, Ketua Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menyatakan bahwa Golkar akan mendukung Gus Dur sebagai presiden. Pada 20 Oktober 1999, MPR berkumpul kembali untuk memilih presiden baru. Dalam pemilihan ini, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan memperoleh 373 suara, sementara Megawati Soekarnoputri mendapatkan 313 suara. Sebagai Presiden Indonesia ke-4, Gus Dur menghadapi tantangan besar untuk menyatukan berbagai komponen bangsa yang saat itu sedang terkoyak oleh berbagai konflik dan perbedaan. Peran Gus Dur sebagai figur perekat ini sangat penting dalam mengarahkan Indonesia menuju era reformasi yang lebih inklusif dan demokratis. Kebijakannya yang kontroversial namun progresif mencerminkan komitmennya terhadap pluralisme, toleransi, dan hak asasi manusia, yang menjadi warisan penting dalam perjalanan politik Indonesia.

4 dari 4 halaman

Jatuhnya Presiden Gus Dur

Lengsernya Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai Gus Dur, dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dolar AS. Selain itu, Gus Dur juga diduga menggunakan dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dolar AS. Berdasarkan tuduhan tersebut, Gus Dur dianggap melanggar Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tuduhan ini memperkuat tekanan politik terhadap Gus Dur, yang akhirnya menyebabkan lengsernya dari kursi presiden.

Selama masa jabatannya sebagai Presiden RI, Gus Dur mengeluarkan beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah penghapusan Tap MPR yang membahas tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, Gus Dur juga melepas jabatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi atas tuduhan kasus korupsi, meskipun tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung tuduhan tersebut. Gus Dur juga mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan tentang pembubaran parlemen, yang kemudian menambah ketegangan antara dirinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Konflik antara Gus Dur dengan DPR dan MPR mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001. Isi dari dekrit tersebut meliputi pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, serta pembekuan Golkar. Dekrit ini menyatakan pembekuan DPR dan MPR, yang menjadi salah satu pernyataan paling kontroversial dan menyita perhatian publik. Dekrit Presiden 23 Juli 2001 dinyatakan tidak berfungsi setelah MPR menggelar sidang istimewa, di mana MPR menyatakan bahwa Gus Dur telah melanggar Tap MPR No. III/MPR/2000 karena memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR.

Akumulasi dari berbagai masalah yang terjadi selama masa kepemimpinannya menyebabkan Gus Dur diturunkan dari jabatannya oleh MPR. Keputusan ini membuat Megawati Soekarnoputri naik sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia, menggantikan Gus Dur yang telah menghadapi tekanan politik dan hukum yang luar biasa selama masa jabatannya. Gus Dur meninggalkan warisan yang kompleks, penuh dengan kontroversi dan dedikasi terhadap perubahan yang ia yakini, meskipun tidak selalu diterima dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat dan politisi Indonesia.