Sukses

Diskresi Adalah Keputusan dalam Situasi Mendesak: Syarat, Dampak, dan Contohnya

Diskresi adalah keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah dalam situasi mendesak yang tidak diatur secara lengkap.

Liputan6.com, Jakarta - Diskresi adalah keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah dalam situasi mendesak yang tidak diatur secara lengkap oleh peraturan perundang-undangan. Penting untuk memahami apa itu diskresi karena sering digunakan dalam penanganan situasi krisis, seperti bencana alam dan pandemi. Diskresi memberikan kebebasan kepada pejabat untuk bertindak cepat demi kepentingan umum.

Di Indonesia, diskresi menjadi alat penting bagi pemerintah untuk memenuhi tuntutan pelayanan publik yang semakin kompleks. Pejabat yang memiliki wewenang dapat menggunakan diskresi dalam berbagai situasi yang memerlukan keputusan cepat dan tepat.

Misalnya, dalam situasi darurat seperti gempa bumi di Lombok atau pandemi Covid-19, di mana pemerintah harus segera bertindak tanpa menunggu prosedur birokrasi yang panjang. Namun, penggunaan diskresi tidak boleh sembarangan dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sah dan efektif.

Syarat diskresi meliputi kesesuaian dengan tujuan, asas-asas umum pemerintahan yang baik, tidak adanya konflik kepentingan, itikad baik, dan alasan-alasan yang objektif. Jika tidak memenuhi syarat, dampak diskresi bisa berujung pada pembatalan keputusan atau dinyatakan tidak sah oleh hukum.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang diskresi yang dimaksudkan, Kamis (7/6/2024).

2 dari 7 halaman

Diskresi Adalah Keputusan dalam Situasi Mendesak

Diskresi adalah keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah untuk menangani situasi yang mendesak dan tidak diatur secara lengkap oleh peraturan perundang-undangan. Istilah diskresi berasal dari bahasa Inggris "discretion", Perancis "discretionair", dan Jerman "freies ermessen."

Dalam praktiknya, diskresi mutlak diperlukan oleh pemerintah mengingat tuntutan pelayanan publik yang semakin kompleks. Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan bahwa diskresi melekat pada wewenang pemerintah dan diperlukan untuk menjawab tuntutan yang semakin meningkat dari kehidupan sosial dan ekonomi warga.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbagai aturan mengatur tata cara dan prosedur kehidupan sosial dan ekonomi. Namun, dalam situasi tertentu, diperlukan keputusan dan tindakan cepat dari pihak berwenang.

Contoh nyata dari penerapan diskresi adalah saat pandemi Covid-19, di mana pemerintah harus mengambil keputusan cepat untuk menangani krisis dengan memperhatikan anggaran yang ada. Meski demikian, istilah ini masih kurang familiar di kalangan masyarakat luas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam situasi yang dihadapi. Secara yuridis, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama ketika peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau terjadi stagnasi pemerintahan.

 

 

3 dari 7 halaman

UU yang Mengatur Tentang Diskresi

Hal tersebut diatur dalam Pasal 175 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah yang memiliki wewenang dan bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, serta mengatasi stagnasi pemerintahan demi kepentingan umum.

Dua contoh penerapan diskresi yang berbeda dengan masa pandemi adalah penanganan bencana alam, di mana pemerintah daerah harus mengambil tindakan cepat untuk evakuasi dan bantuan. Kemudian, dalam situasi keamanan nasional. Seperti pemberlakuan jam malam pada situasi genting untuk menjaga ketertiban umum. Kedua contoh tersebut menunjukkan pentingnya diskresi dalam menghadapi situasi darurat dan tidak terduga.

Ruang lingkup diskresi diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mencakup beberapa hal.

  1. Pertama, pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan keputusan dan/atau tindakan.
  2. Kedua, pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur.
  3. Ketiga, pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas.
  4. Keempat, pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Memahami diskresi adalah penting karena memberikan fleksibilitas dan kebebasan bagi pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat dalam situasi mendesak. Diskresi membantu mengatasi kekurangan dalam peraturan yang ada dan memungkinkan pemerintah untuk tetap responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

4 dari 7 halaman

Syarat Diskresi dan Penjelasannya

Menurut Pasal 24 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, penggunaan diskresi dalam pemerintahan harus memenuhi sejumlah syarat. Berikut penjelasan lengkap mengenai syarat diskresi beserta contoh kasusnya:

1. Sesuai dengan Tujuan Diskresi

Syarat diskresi yang pertama adalah keputusan atau tindakan diskresi harus sesuai dengan tujuan diskresi itu sendiri. Tujuan diskresi adalah untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan demi kepentingan umum.

Misalnya, dalam kasus bencana alam seperti gempa bumi di suatu daerah, pemerintah daerah menggunakan diskresi untuk segera menyalurkan bantuan tanpa harus menunggu birokrasi yang panjang. Tindakan ini dilakukan untuk memastikan bantuan tiba tepat waktu dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terdampak.

2. Sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

Syarat diskresi berikutnya adalah keputusan atau tindakan harus sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB mencakup prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.

Contoh penerapan syarat ini adalah ketika seorang wali kota memutuskan untuk memindahkan pedagang kaki lima ke lokasi yang lebih tertata. Keputusan ini harus dilakukan secara transparan dengan memberikan informasi yang jelas kepada para pedagang dan masyarakat luas, serta dengan akuntabilitas untuk memastikan bahwa kepentingan umum terjaga.

3. Tidak Menimbulkan Suatu Konflik Kepentingan

Syarat diskresi ketiga adalah bahwa keputusan atau tindakan diskresi tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika pejabat pemerintah memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusannya.

Sebagai contoh, seorang kepala dinas yang memiliki usaha di bidang tertentu tidak boleh menggunakan wewenangnya untuk memberikan izin usaha hanya kepada perusahaannya sendiri atau yang terkait dengannya. Tindakan diskresi harus murni demi kepentingan umum, bukan untuk keuntungan pribadi.

 

5 dari 7 halaman

4. Dilakukan dengan Itikad yang Baik

Syarat diskresi lainnya adalah harus dilakukan dengan itikad yang baik. Ini berarti pejabat yang mengambil keputusan atau tindakan diskresi harus berusaha keras untuk mencapai hasil yang terbaik bagi masyarakat tanpa adanya niat buruk atau penyelewengan.

Misalnya, saat menghadapi wabah penyakit, seorang gubernur mengambil keputusan untuk menutup sementara akses masuk ke wilayahnya guna mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut. Keputusan ini diambil demi melindungi kesehatan masyarakat, meskipun mungkin menimbulkan ketidaknyamanan sementara bagi penduduk dan pengunjung.

5. Didasari oleh Alasan-Alasan yang Objektif

Syarat diskresi terakhir adalah bahwa keputusan atau tindakan harus didasari oleh alasan-alasan yang objektif. Artinya, keputusan tersebut harus didukung oleh fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan berdasarkan dugaan atau opini semata.

Contohnya, ketika seorang bupati memutuskan untuk membangun jembatan di suatu daerah, keputusan tersebut harus didasarkan pada studi kelayakan yang menunjukkan kebutuhan dan manfaat jembatan tersebut bagi masyarakat, bukan sekadar untuk memenuhi janji politik tanpa dasar yang jelas.

 

6 dari 7 halaman

Dampak Diskresi dan Penjelasannya

Penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintah memiliki dampak hukum yang signifikan apabila tidak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Mengutip dari e-jurnal "Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintahan Menurut Undang-undang Administrasi Pemerintahan" oleh M. Ikbar Andi Endang, berikut adalah dampak-dampak disreksi beserta contoh kasusnya:

Penggunaan Diskresi Melampaui Wewenang

Penggunaan diskresi dapat melampaui wewenang apabila:

  1. Bertindak Melampaui Batas Waktu Wewenang: Jika seorang pejabat pemerintah mengambil keputusan setelah masa wewenangnya berakhir, tindakan tersebut dianggap melampaui batas waktu yang sah. Misalnya, seorang bupati yang masa jabatannya sudah habis tetap mengeluarkan izin usaha baru. Dampak disreksi semacam ini adalah keputusan tersebut menjadi tidak sah karena dilakukan di luar periode wewenangnya.
  2. Bertindak Melampaui Batas Wilayah Wewenang: Ketika seorang pejabat bertindak di luar wilayah yuridiksinya, seperti seorang wali kota yang mengeluarkan keputusan untuk wilayah kota lain, tindakan tersebut melampaui batas wewenang wilayahnya. Akibatnya, tindakan diskresi tersebut menjadi tidak sah.
  3. Bertindak Tidak Sesuai dengan Prosedur Diskresi: Jika pejabat tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Pasal 26, 27, dan 28 Undang-undang Administrasi Pemerintahan, maka tindakan diskresi tersebut melampaui wewenang. Contohnya adalah seorang kepala dinas yang memberikan bantuan langsung tanpa melalui mekanisme penilaian dan verifikasi yang telah diatur. Akibat hukum dari tindakan ini adalah penggunaan diskresi menjadi tidak sah.

Penggunaan Diskresi yang Mencampuradukkan Wewenang

Penggunaan diskresi dapat dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila:

  1. Tidak Sesuai dengan Tujuan Wewenang yang Diberikan (Asas Spesialitas): Diskresi harus sesuai dengan tujuan khusus dari wewenang yang diberikan. Misalnya, dana yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur digunakan untuk kegiatan lain tanpa alasan yang jelas dan mendesak. Dampak disreksi ini adalah tindakan tersebut bisa dibatalkan karena tidak sesuai dengan tujuan awal wewenang yang diberikan.
  2. Tidak Sesuai dengan Prosedur Diskresi: Mengabaikan prosedur dalam Pasal 26, 27, dan 28, seperti memberikan izin tanpa adanya konsultasi dengan pihak terkait, dapat menyebabkan diskresi dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang. Akibatnya, tindakan diskresi dapat dibatalkan.
  3. Bertentangan dengan AUPB: Jika tindakan diskresi bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seperti transparansi dan akuntabilitas, maka tindakan tersebut dapat dibatalkan. Misalnya, keputusan untuk menutup jalan utama tanpa memberikan informasi dan alternatif yang jelas kepada masyarakat akan dianggap bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Penggunaan Diskresi yang Dikategorikan Tindakan Sewenang-wenang

Penggunaan diskresi bisa dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang apabila:

Dikeluarkan oleh Pejabat yang Tidak Berwenang: Jika keputusan diskresi dikeluarkan oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang untuk itu, maka tindakan tersebut dianggap sewenang-wenang. Contohnya adalah seorang staf administrasi yang tanpa wewenang memberikan persetujuan perizinan yang seharusnya ditangani oleh kepala dinas. Dampak disreksi ini adalah penggunaan diskresi tersebut menjadi tidak sah.

 

7 dari 7 halaman

Contoh Praktik Diskresi di Indonesia

Berikut ini adalah lima contoh praktik diskresi di Indonesia yang menunjukkan bagaimana keputusan diskresi digunakan dalam berbagai situasi:

1. Diskresi dalam Penanganan Bencana Alam

Kasus: Bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (2018).

Diskresi: Gubernur NTB mengambil keputusan untuk segera mengalokasikan dana darurat dan mengerahkan tim tanggap bencana tanpa harus menunggu keputusan pusat. Ini dilakukan untuk memastikan bantuan tiba dengan cepat dan efektif.

Dampak: Keputusan ini membantu mempercepat penyaluran bantuan dan evakuasi korban, meskipun beberapa prosedur standar administrasi mungkin terabaikan.

2. Diskresi dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Kasus: Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali (2021).

Diskresi: Pemerintah pusat, melalui Menteri Kesehatan, mengambil langkah diskresi untuk memberlakukan PPKM Darurat tanpa menunggu proses panjang pengesahan peraturan di DPR. Keputusan ini dilakukan untuk mengendalikan lonjakan kasus Covid-19 secara cepat.

Dampak: Meskipun ada dampak ekonomi negatif, kebijakan ini dinilai berhasil menurunkan angka penularan virus dalam waktu relatif singkat.

3. Diskresi dalam Perizinan Investasi

Kasus: Percepatan perizinan proyek strategis nasional.

Diskresi: Presiden menginstruksikan pembentukan satuan tugas khusus untuk mempercepat perizinan proyek-proyek strategis nasional, melewati beberapa birokrasi yang biasanya memakan waktu lama.

Dampak: Mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan jalan tol dan bandara, meskipun beberapa pihak mengkritik kurangnya konsultasi dengan masyarakat terdampak.

4. Diskresi dalam Pengendalian Harga Pangan

Kasus: Stabilitas harga beras pada tahun 2017.

Diskresi: Menteri Perdagangan memutuskan untuk mengimpor beras secara darurat untuk mengatasi kekurangan pasokan dan stabilisasi harga di pasar, meskipun ada aturan ketat mengenai impor beras.

Dampak: Langkah ini berhasil menjaga stabilitas harga beras, namun menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan kebijakan swasembada pangan.

5. Diskresi dalam Penegakan Hukum

Kasus: Penundaan eksekusi hukuman mati terpidana narkoba (2015).

Diskresi: Jaksa Agung memutuskan untuk menunda eksekusi hukuman mati beberapa terpidana narkoba karena adanya pertimbangan politik dan hubungan internasional.

Dampak: Keputusan ini memberikan waktu tambahan untuk evaluasi dan negosiasi diplomatik, meskipun mengundang kritik dari sebagian kalangan yang menuntut penegakan hukum yang konsisten.