Sukses

Limbah Nuklir Jepang Tahap Kedua Dibuang ke Laut, Ini Alasan Lengkapnya

Jepang telah memulai tahap kedua pembuangan limbah nuklir ke laut dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima.

Liputan6.com, Jakarta Jepang telah memulai tahap kedua pembuangan limbah nuklir ke laut dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima. Proses ini dilakukan dengan tujuan mengurangi penumpukan limbah di darat yang telah terjadi sejak bencana nuklir pada tahun 2011. Pihak berwenang Jepang menyatakan bahwa langkah ini dilakukan dengan standar keamanan tinggi dan sesuai dengan pedoman internasional.

Namun, langkah ini menuai banyak kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, terutama negara-negara tetangga seperti Korea Selatan dan China. Mereka khawatir bahwa pembuangan limbah nuklir ke laut dapat mencemari perairan dan mengancam ekosistem laut. Aktivis lingkungan juga mengecam langkah tersebut, menyebutnya sebagai tindakan yang berisiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan jangka panjang.

Di sisi lain, pemerintah Jepang mengklaim bahwa pembuangan ini merupakan solusi yang paling praktis dan aman setelah mempertimbangkan berbagai opsi. Mereka berpendapat bahwa pengolahan dan pengenceran limbah sebelum pembuangan akan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Langkah ini juga dinilai sebagai bagian penting dari upaya rekonstruksi dan pemulihan kawasan Fukushima pasca-bencana.

Berikut Liputan6.com ulas mengenai limbah nuklir Jepang tahap kedua yang dibuang ke laut yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Minggu (16/6/2024).

2 dari 3 halaman

Alasan Limbah Nuklir Jepang Dibuang ke Laut

Pada hari Kamis, 5 Oktober 2023, pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima di Jepang memulai tahap kedua pembuangan air limbah radioaktif yang telah diolah ke laut. Setelah tahap pertama pembuangan berhasil diselesaikan tanpa kendala, operator pembangkit, Tokyo Electric Power Company Holdings (TEPCO), melanjutkan proses dengan mengaktifkan pompa untuk mencampur limbah yang telah diolah dengan air laut dalam jumlah besar sebelum disalurkan melalui terowongan ke Samudera Pasifik. Dalam tahap pertama yang dimulai pada 24 Agustus dan berakhir pada 11 September, TEPCO berhasil membuang 7.800 ton air olahan dari 10 tangki, dan pada tahap kedua ini, mereka berencana untuk melepaskan jumlah yang sama selama 17 hari ke depan.

"Sejauh ini, kami benar-benar mengikuti prosedur dan semuanya berjalan lancar sesuai rencana," kata juru bicara TEPCO, Keisuke Matsuo, dikutip oleh Associated Press (AP). TEPCO menyatakan bahwa sekitar 1,34 juta ton air limbah radioaktif masih disimpan di sekitar 1.000 tangki di pembangkit tersebut, jumlah yang terakumulasi sejak bencana gempa bumi dan tsunami besar pada tahun 2011. Pemerintah Jepang dan TEPCO menekankan bahwa pembuangan air ini diperlukan karena kapasitas tangki diperkirakan akan penuh pada awal tahun depan, dan ruang di pembangkit tersebut sangat dibutuhkan untuk proses penonaktifan yang diperkirakan akan memakan waktu puluhan tahun.

Meski air limbah telah diolah untuk mengurangi bahan radioaktif ke tingkat yang aman dan kemudian diencerkan dengan air laut agar lebih aman dibandingkan standar internasional, rencana ini tetap mendapatkan tantangan keras dari kelompok nelayan dan negara-negara tetangga seperti Korea Selatan. Demonstrasi besar terjadi di Korea Selatan, sementara China melarang semua impor makanan laut dari Jepang, yang sangat merugikan produsen dan eksportir makanan laut Jepang. Pemerintah Jepang telah menyiapkan dana bantuan untuk membantu menemukan pasar baru dan mengurangi dampak larangan ini, termasuk melalui langkah-langkah seperti pembelian sementara, pembekuan dan penyimpanan makanan laut, serta promosi penjualan makanan laut di dalam negeri.

3 dari 3 halaman

Pendapat Ahli Lingkungan Terkait Limbah Nuklir Jepang yang Dibuang ke Laut

Menurut Dr. Ir. Haryono Budi Santoso, M.Sc., Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, jumlah total air limbah nuklir yang dihasilkan Jepang sangat besar, setara dengan kapasitas 50 kolam renang standar olimpiade. Air ini akan dilepas secara bertahap ke laut, menimbulkan kekhawatiran akan potensi pencemaran di Samudera Pasifik. Kekhawatiran ini tercermin dari tanggapan resmi pemerintah Cina yang melarang konsumsi produk laut dari Jepang, mengingat Cina dan Hong Kong merupakan pasar terbesar bagi produk laut Jepang, menyerap 42% dari total ekspor produk laut Jepang.

Meski demikian, data menunjukkan bahwa air limbah ini telah diolah hingga kandungan radioaktifnya jauh di bawah batas yang ditetapkan oleh WHO. Dr. Haryono menjelaskan bahwa nilai kandungan radioaktif dalam air olahan ini jauh lebih kecil dari batas aman yang diizinkan, tetapi kekhawatiran akan pencemaran lingkungan membuat banyak pihak menyuarakan penolakan. Pemerintah Jepang awalnya berusaha menangani bencana tsunami dan gempa yang memicu kerusakan di PLTN Fukushima dengan menggunakan air laut untuk mendinginkan reaktor nuklir, mengakibatkan kontaminasi radioaktif yang tidak bisa langsung dibuang dan harus ditampung dalam lebih dari 1.000 tangki berkapasitas 1.000 meter kubik masing-masing.

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Jepang menerapkan sistem ALPS (Advanced Liquid Processing System) yang mampu membersihkan sekitar 62 jenis radioaktif dari air limbah. Namun, tantangan muncul karena sistem ini belum mampu menghilangkan tritium (H3), radioaktif yang sifatnya mirip dengan air dan bisa menyebabkan radiation sickness jika konsentrasinya tidak dibatasi. WHO menetapkan batas kandungan tritium dalam cairan adalah 10.000 btr/liter, sementara Jepang mengambil langkah lebih konservatif dengan menetapkan batas operasional hanya 1.500 btr/liter. Proses peluruhan kandungan radioaktif ini diawasi ketat oleh IAEA, dan laporan menunjukkan bahwa konsentrasi tritium tidak signifikan hingga 3 meter dari garis pantai, sehingga pelepasan air olahan dari PLTN Fukushima tidak mengganggu ekosistem laut dan lingkungan.