Sukses

Cegah Perburuan, Cula Badak di Afrika Dipasang Bahan Radioaktif Agar Beracun

Cula badak pancarkan radioisotop.

Liputan6.com, Jakarta Badak sudah banyak dikenal sebagai salah satu hewan yang terancam punah.  Pasalnya, badak sudah ada sejak sekitar 20 juta tahun lalu. Indonesia sendiri juga punya badak di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Di berbagai tempat, badak identik dengan ancaman perburuan untuk diambil culanya.

Hingga proyek ilmuwan Afrika Selatan yang menyuntikkan bahan radioaktif ke dalam cula badak hidup untuk memudahkan deteksi di pos perbatasan. Tujuannya, proyek inovatif ini untuk mengurangi perburuan liar yang kian marak.

James Larkin, direktur unit radiasi dan fisika kesehatan Universitas Witwatersrand, memimpin inisiatif ini. Ia menyuntikkan dua chip radioaktif kecil dan radioisotop ke dalam cula badak. Langkah ini membuat cula badak beracun jika dikonsumsi manusia, menurut Nithaya Chetty, profesor dan dekan sains di universitas yang sama.

Bahan radioaktif ini tidak menimbulkan rasa sakit bagi badak dan dosisnya sangat rendah sehingga tidak berdampak pada kesehatan hewan atau lingkungan. 

"Badak tidak merasakan sakit apapun. Dosis bahan radioaktif sangat rendah sehingga tidak berdampak apapun terhadap kesehatan hewan atau lingkungan,” kata Larkin dikutip Liputan6.com dari AFP, Senin (1/7/2024). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Cula Badak Pancarkan Energi Nuklir

Tujuan utama dari proyek percontohan Rhisotope (suatu isotop memancarkan zat radioaktif atau memiliki energi nuklir) ini adalah membuat cula badak mudah terdeteksi di pos perbatasan internasional. 

Detektor radiasi yang biasanya digunakan untuk mencegah terorisme nuklir akan digunakan untuk mendeteksi cula badak yang telah terkontaminasi. Dua puluh badak akan menjadi bagian dari proyek ini, menerima dosis yang cukup kuat untuk memicu detektor radiasi di seluruh dunia.

Agen perbatasan sering memiliki detektor radiasi genggam yang dapat mendeteksi barang selundupan. Lebih dari seribu detektor radiasi juga dipasang di pelabuhan dan bandara. 

Langkah ini diharapkan bisa mengurangi permintaan pasar gelap terhadap cula badak, yang harganya bisa menyaingi emas dan kokain. Arrie Van Deventer, pendiri panti asuhan badak Limpopo, menyatakan bahwa pemotongan dan peracunan cula tidak efektif menghalangi pemburu liar. 

3 dari 4 halaman

Cula Badak Jadi Tak Bermanfaat

Afrika merupakan rumah bagi sebagian besar badak di dunia dan karenanya merupakan titik panas perburuan liar yang didorong oleh permintaan dari Asia, di mana culanya digunakan dalam pengobatan tradisional setiap penyakit.

Di pusat perawatan badak Limpopo di wilayah Waterberg, badak merumput di sabana rendah. Larkin mengebor lubang kecil di tanduk, memasukkan radioisotop, dan menyemprotkan 11.000 titik mikro ke seluruh tanduk. 

Sekitar 15.000 badak hidup di Afrika Selatan, menurut Yayasan Badak Internasional. Bahan radioaktif ini akan bertahan selama lima tahun di tanduk, lebih ekonomis dibandingkan pemotongan tanduk setiap 18 bulan. Dengan adanya bahan radioaktif ini cula badak jadi beracun jika dikonsumsi manusia.

Tahap terakhir proyek ini adalah perawatan hewan sesuai "protokol ilmiah dan etika yang tepat," kata Jessica Babich, COO proyek tersebut. Tim akan mengambil sampel darah lanjutan untuk memastikan perlindungan badak.

 

4 dari 4 halaman

Dampak Buruk Perburuan Badak

Perburuan badak telah menyebabkan penurunan signifikan dalam jumlah populasi badak, dengan estimasi jumlah badak yang tersisa di alam saat ini sekitar 27.000 hewan. Tujuan utama perburuan badak adalah untuk mendapatkan cula badak yang dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi, terutama di pasar gelap.

Di pasar ini, cula badak dipercaya memiliki kegunaan medis dan menjadi simbol status. Praktik perburuan ini tidak hanya mematikan badak secara ilegal, tetapi juga mengganggu pola reproduksi dan merusak ekosistem tempat badak hidup, sehingga menyebabkan penurunan drastis dalam populasi badak dan ancaman kepunahan jika perburuan liar terus berlanjut tanpa tindakan konservasi yang memadai.

Kehilangan populasi badak akibat perburuan liar menyebabkan kerugian ekologis yang besar dan mengancam keseimbangan ekosistem. Penurunan populasi ini memengaruhi pariwisata yang merupakan sumber penghasilan penting bagi banyak negara. Upaya konservasi yang lebih kuat dan penggunaan teknologi canggih seperti penyuntikan bahan radioaktif ke dalam cula badak menjadi sangat penting untuk memastikan perlindungan yang lebih efektif bagi badak dan menjaga keseimbangan ekosistem. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.