Liputan6.com, Jakarta Laut China Selatan (LCS) menjadi perairan strategis yang paling diperebutkan di dunia. Sejarah konflik yang panjang dan kompleks membentuk peta sengketa yang terus bergolak. Laut China Selatan dipandang sebagai perairan yang kaya akan sumber daya alam, termasuk hasil laut yang melimpah. Nilai komoditas dari perairan ini diperkirakan mencapai triliunan dolar, menjadi magnet bagi negara-negara di sekitar untuk mengklaim bagian mereka.
Sumber daya yang melimpah ini memicu persaingan sengit dan sering kali menyebabkan ketegangan diplomatik yang tinggi. Setidaknya terdapat enam negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan, yaitu China, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Masing-masing negara memiliki klaim atas sebagian wilayah perairan ini, sering kali didasarkan pada sejarah, hukum internasional, dan kepentingan nasional.
Advertisement
Baca Juga
Perairan Laut China Selatan terdiri atas gugusan kepulauan, yang sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Meskipun begitu, kepulauan ini memiliki nilai strategis yang signifikan, baik dari segi ekonomi maupun militer. Upaya saling klaim ini menjadikan Laut China Selatan sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih dari dua pihak.
Konflik ini bukan hanya tentang batas-batas geografis, tetapi juga tentang pengaruh politik dan dominasi regional di kawasan Asia Tenggara. Berikut ulasan labih lanjut tentang sengketa Laut China Selatan yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (1/7/2024).
Posisi Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan sebuah laut tepi yang merupakan bagian dari Samudra Pasifik. Secara geografis, laut ini memiliki posisi strategis yang dikelilingi oleh berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan meliputi Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam.
Menurut Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureau), Laut China Selatan memanjang dari arah barat daya ke timur laut. Di bagian utara, laut ini berbatasan dengan China dan Taiwan. Sementara itu, Filipina terletak di sebelah barat, Malaysia dan Brunei di bagian barat dan selatan, serta Vietnam di bagian timur.
Penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggambarkan garis batas Laut China Selatan menyerupai huruf "U". Garis ini dimulai dari perairan dekat Malaya, membentang ke arah utara, dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan. Batas wilayah ini sering kali menjadi sumber ketegangan karena klaim demarkasi sembilan garis putus-putus oleh China, yang juga dikenal sebagai "lidah sapi" atau "cow's tongue".
Laut China Selatan mencakup area seluas 3,685 juta kilometer persegi, menjadikannya salah satu perairan terluas di dunia. Di dalamnya terdapat berbagai formasi alam, termasuk banyak terumbu karang, pulau karang (atol), serta ratusan pulau-pulau kecil yang sebagian besar tidak berpenghuni. Dua kepulauan besar yang paling dikenal di kawasan ini adalah Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Kedua kepulauan ini menjadi pusat sengketa karena diklaim oleh beberapa negara sekaligus.
Dengan demikian, Laut China Selatan bukan hanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi juga memiliki signifikansi geopolitik yang besar. Posisi geografis dan batas-batas yang dipersengketakan menambah kompleksitas hubungan internasional di kawasan ini.
Advertisement
Sejarah Konflik Laut China Selatan
Sengketa di Laut China Selatan merupakan salah satu konflik teritorial paling rumit dan berkepanjangan di dunia, dipicu oleh klaim sepihak dari negara-negara di kawasan, terutama China. Akar dari sengketa ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1947 ketika China pertama kali memproduksi peta LCS yang menampilkan sembilan garis putus-putus. Peta ini mencakup wilayah yang luas, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, yang dinyatakan sebagai bagian dari teritori China.
Klaim ini kemudian ditegaskan kembali pada tahun 1953 saat Partai Komunis China berkuasa. Pemerintah China mendasarkan klaimnya pada sejarah panjang negara tersebut, yang menurut mereka dimulai sejak Dinasti Han pada abad ke-2 SM hingga Dinasti Ming dan Qing pada abad ke-13. Penemuan-penemuan arkeologis dan catatan sejarah dijadikan dasar untuk mempertahankan klaim atas wilayah ini.
Dalam upaya untuk mengukuhkan klaimnya, China menjadi semakin agresif dengan membangun fasilitas militer, mendirikan pulau-pulau buatan, dan menempatkan kapal-kapal perang di perairan Laut China Selatan. Klaim China atas 80-90 persen wilayah di LCS, yang didasarkan pada alasan sejarah, telah memicu ketegangan dengan negara-negara pantai lainnya yang juga mengklaim hak atas wilayah tersebut.
Negara-negara seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam mendasarkan klaim mereka pada aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Vietnam mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly, yang mencakup hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Filipina mengklaim sebagian wilayah LCS, khususnya Kepulauan Spratly yang dikenal sebagai Kepulauan Kalayaan, serta beberapa pulau di sebelah barat Filipina seperti Scarborough Shoal. Brunei dan Malaysia juga mengklaim bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly.
Klaim tumpang tindih ini telah mengakibatkan ketegangan diplomatik yang berkepanjangan dan beberapa insiden militer di perairan yang diperebutkan. Sengketa ini tidak hanya melibatkan hak atas sumber daya alam yang melimpah di wilayah tersebut tetapi juga pertarungan untuk dominasi geopolitik di kawasan Asia Tenggara.
Mengapa Laut China Selatan Jadi Rebutan?
Secara strategis, Laut China Selatan merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia. Perairan ini menjadi pintu gerbang komersial yang krusial bagi beberapa jalur pelayaran global dan sebagian besar industri logistik dunia. Jalur ini adalah rute tercepat yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia, memungkinkan konektivitas antara Asia Timur, India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Menurut CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China Selatan pada tahun 2016 mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, pada tahun 2017, 40 persen dari total konsumsi gas alam cair dunia transit melalui LCS, menunjukkan betapa pentingnya perairan ini dalam rantai pasokan energi global.
Dari segi potensi ekonomi, Laut China Selatan kaya akan sumber daya alam. Perairan ini dikenal dengan kekayaan hasil lautnya, meskipun dalam praktiknya sering dieksploitasi secara berlebihan. Selain itu, LCS juga memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat signifikan.
Diperkirakan ada 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam di wilayah ini. Nilai kekayaan alam yang besar ini menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk sengketa maritim dan teritorial antarnegara di kawasan tersebut.
Konflik dan Ketegangan Laut China Selatan
Persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan di Laut China Selatan telah berlangsung lama dan sering kali menjadi sumber konflik. Negara-negara seperti China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan memiliki klaim yang saling bertentangan, yang didasarkan pada sejarah, hukum internasional, dan kepentingan nasional.
Amerika Serikat juga terlibat dalam dinamika ini dengan berupaya memperkuat hubungan pertahanan di wilayah tersebut untuk menghadapi China yang semakin agresif. Patroli laut dan udara gabungan antara AS dan Filipina, yang baru-baru ini dilakukan, menunjukkan komitmen kedua negara untuk meningkatkan interoperabilitas dan koordinasi dalam menghadapi ancaman di kawasan LCS. Patroli ini dilakukan di zona ekonomi eksklusif Filipina dan melibatkan kapal tempur AS USS Gabrielle Giffords serta kapal perang BRP Gregorio del Pilar dari Angkatan Laut Filipina.
Ketegangan semakin meningkat dengan adanya latihan militer besar-besaran yang dilakukan oleh China di perairan yang disengketakan, serta insiden antara kapal-kapal dari kedua negara. China mengklaim hampir seluruh wilayah perairan LCS dan sering kali mengabaikan keputusan internasional yang menyatakan klaim mereka tidak memiliki dasar hukum.
Advertisement