Sukses

Daftar Wakil Presiden Soeharto Selama 3 Dekade, Simak Masa Jabatannya

Menjabat dalam waktu begitu lama, presiden Soeharto memiliki beberapa wakil presiden.

Liputan6.com, Jakarta Sejak memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah dipimpin oleh tujuh presiden yang berbeda. Setiap presiden memiliki gaya kepemimpinan dan kebijakan yang unik, serta menghadapi tantangan yang berbeda selama masa jabatannya. 

Soeharto diangkat sebagai Presiden Indonesia pada 12 Maret 1967, menggantikan Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pengangkatannya ini menandai dimulainya era Orde Baru, di mana Soeharto memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade, menjadikannya presiden dengan masa jabatan terpanjang dalam sejarah Indonesia.

Selama masa kepresidenannya yang panjang, Soeharto memiliki beberapa wakil presiden yang mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan. Wakil presiden Soeharto yang pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978) di mana beliau merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia dan Raja Yogyakarta.

Setelah 5 tahun berlalu, wakil presiden Soeharto selanjutnya adalah Adam Malik (1978-1983) seorang mantan Menteri Luar Negeri, Umar Wirahadikusumah (1983-1988) sang Jenderal Angkatan Darat, Sudharmono (1988-1993) birokrat yang handal juga Try Sutrisno (1993-1998) sang mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang memiliki peran penting dalam menjaga keamanan nasional.

Wakil presiden Soeharto selanjutnya yang juga jadi presiden ketiga di Indonesia adalah B. J. Habibie (1998). Teknokrat dan ilmuwan ini kemudian menggantikan Soeharto sebagai Presiden Indonesia, setelah pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998. Masa kepresidenan Soeharto dikenal dengan berbagai program pembangunan dan stabilitas ekonomi yang signifikan, namun juga diwarnai oleh kontroversi terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan otoritarianisme. 

Berikut ini daftar wakil presiden Soeharto dan masa jabatannya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (5/7/2024). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978)

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan dan pembangunan negara. Lahir dengan nama Bendara Raden Mas Dorodjatun, ia dikenal sebagai sosok yang tidak hanya berjuang dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga berperan penting dalam pemerintahan selama bertahun-tahun. Ketika Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera memberikan dukungannya kepada para proklamator. Dua minggu setelah proklamasi, tepatnya pada 5 September 1945, ia bersama Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Tindakan ini menunjukkan komitmen Sultan terhadap kemerdekaan Indonesia.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak hanya terbatas pada deklarasi politik, tetapi juga mencakup dukungan finansial yang signifikan. Selama pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton. Ini termasuk pembayaran gaji untuk Presiden, Wakil Presiden, staf pemerintah, operasional TNI, hingga biaya perjalanan dan akomodasi delegasi-delegasi yang dikirim ke luar negeri. Dukungan finansial ini sangat krusial pada masa-masa awal kemerdekaan, ketika sumber daya sangat terbatas. Pada tahun 1973, Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Masa jabatannya berlangsung hingga tahun 1978, mendampingi Presiden Soeharto. Sebagai Wakil Presiden, ia berperan penting dalam mendukung stabilitas politik dan pembangunan ekonomi di bawah pemerintahan Orde Baru. Kepemimpinannya yang bijaksana dan pengalamannya yang luas di pemerintahan menjadi aset berharga bagi bangsa Indonesia.

2. Adam Malik (1978-1983)

Adam Malik adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia, yang memiliki peran signifikan dalam diplomasi internasional dan pemerintahan. Ia dikenal sebagai pendiri ASEAN dan pernah memimpin sidang Majelis Umum PBB, serta menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia periode 1978-1983.

Adam Malik merupakan salah satu tokoh yang memelopori terbentuknya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada tahun 1967. Perannya dalam organisasi regional ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalin kerja sama dan memperkuat hubungan antarnegara di Asia Tenggara. Selain itu, ia juga dikenal di kancah internasional dengan menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Adam Malik adalah orang Asia kedua yang pernah memimpin sidang lembaga tertinggi di dunia tersebut, yang merupakan pencapaian luar biasa dalam diplomasi internasional.

Pada tahun 1977, Adam Malik terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Tiga bulan setelahnya, dalam Sidang Umum MPR Maret 1978, ia terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketiga, menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan kembali. Presiden Soeharto menunjuk Adam Malik sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1978-1983 dalam Kabinet Pembangunan III. Masa jabatannya ini bertepatan dengan masa kejayaan Orde Baru. Adam Malik juga berjasa dalam memperkuat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Pada 11 Agustus 1966, ia menandatangani Perjanjian Normalisasi Hubungan Diplomatik antara kedua negara, yang sebelumnya terputus akibat konfrontasi selama lebih kurang tiga tahun. Tindakan ini menunjukkan dedikasinya untuk menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara.

Meski menjadi bagian dari pemerintahan, Adam Malik tidak segan-segan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Pada tahun 1979, ia mengkritik rezim Soeharto yang menurutnya telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Dua tahun kemudian, pada tahun 1981, ia kembali mengkritik pemerintahan Soeharto yang ia sebut sebagai "epidemik", merujuk pada maraknya korupsi di era Orde Baru. Kritik-kritiknya ini menunjukkan bahwa Adam Malik tetap berpegang pada prinsip dan integritas, meskipun berada di dalam lingkaran kekuasaan. Pada tahun 1983, masa jabatan Adam Malik sebagai Wakil Presiden berakhir dan ia digantikan oleh Umar Wirahadikusumah. Meskipun masa jabatannya sebagai Wakil Presiden telah berakhir, warisannya dalam bidang diplomasi dan kontribusinya terhadap stabilitas politik Indonesia tetap diakui dan dihormati. Adam Malik dikenal sebagai tokoh nasional yang memiliki komitmen tinggi untuk memperkuat dan memajukan hubungan kerja sama Indonesia dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara.

3 dari 4 halaman

3. Umar Wirahadikusumah (1983-1988)

Setelah didampingi oleh Wakil Presiden dari kalangan sipil seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978) dan Adam Malik (1978-1983), pada tahun 1983 Presiden Soeharto memilih Umar Wirahadikusumah sebagai Wakil Presiden. Umar Wirahadikusumah berasal dari kalangan militer, menandai perubahan dalam pemilihan wakil presiden pada era Orde Baru.

Umar Wirahadikusumah lahir pada 10 Oktober 1924 di Situraja, Sumedang, Jawa Barat. Ia adalah jenderal Angkatan Darat yang berhasil meniti kariernya dari bawah hingga mencapai puncak kepemimpinan. Ketika peristiwa G30S meletus pada tahun 1965, Umar merupakan salah satu jenderal yang tidak diculik oleh kelompok pemberontak. Seperti Soeharto, Umar juga memiliki jabatan penting dalam Angkatan Darat pada masa itu. Karier militer Umar cukup cemerlang dan memiliki kesamaan dengan jalur yang ditempuh oleh Soeharto.

Dalam sejarah militer Indonesia, Umar tercatat sebagai orang Sunda pertama yang menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Selain itu, Umar juga terlibat dalam revolusi kemerdekaan sebagai bagian dari Angkatan 45, yang menegaskan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah masa jabatan Adam Malik sebagai Wakil Presiden berakhir pada tahun 1983, Umar Wirahadikusumah muncul sebagai calon kuat untuk menggantikannya. Menurut Harry Gendut Janarto dalam bukunya "Karlinah Umar Wirahadikusumah: Bukan Sekadar Istri Prajurit", potensi Umar menjadi Wakil Presiden tidak lepas dari kedekatannya dengan Soeharto. Kedekatan ini terjalin kuat sejak peristiwa G30S, di mana Umar dianggap sebagai orang yang loyal kepada Soeharto.

Pada saat pengangkatannya sebagai Wakil Presiden, Umar sedang menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun posisi ini tidak dianggap prestisius bagi seorang jenderal, jabatan tersebut menunjukkan kepercayaan Soeharto terhadap kemampuan dan integritas Umar. Banyak yang menganggap bahwa pengangkatan Umar sebagai Wakil Presiden adalah bentuk balas budi dari Soeharto atas loyalitas dan dukungannya selama masa-masa kritis.

4. Sudharmono: Wakil Presiden Indonesia (1988-1993)

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sudharmono lahir di Gresik, Jawa Timur, pada tanggal 12 Maret 1927. Ia dikenal sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-5 yang memiliki peran penting dalam era pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Sudharmono memiliki latar belakang militer yang kuat, dimulai dari karier di TNI AD. Kedekatannya dengan Soeharto semakin erat setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, yang mengakibatkan kejatuhan beberapa petinggi TNI AD. Saat Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret 1966, atau yang lebih dikenal dengan Supersemar, Sudharmono adalah orang yang menyalin surat tersebut. Supersemar menjadi titik balik kontroversial yang memperkuat posisi Soeharto dan memicu berdirinya rezim Orde Baru.

Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru membawa berkah bagi Sudharmono dalam kariernya. Ia menduduki berbagai jabatan penting, termasuk Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, dan Ketua Umum Golkar. Ketika Soeharto, yang saat itu telah menjadi presiden, mencari wakil presiden untuk mendampinginya, pilihan jatuh pada Sudharmono. Penunjukan ini menunjukkan tingginya kepercayaan Soeharto terhadap Sudharmono dalam menjaga stabilitas dan kesinambungan pemerintahan. Sebagai Wakil Presiden pada periode 1988-1993, Sudharmono berperan penting dalam pemerintahan Soeharto. Ia turut serta dalam implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah, menjaga stabilitas politik, dan mengawal berbagai program pembangunan nasional. Dengan latar belakang militer yang luas, Sudharmono juga memberikan kontribusi dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia.

4 dari 4 halaman

5. Try Sutrisno (1993-1998)

Pada tahun 1993, Indonesia sedang memasuki periode pencarian Wakil Presiden baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dua nama yang muncul sebagai kandidat adalah Bacharuddin Jusuf Habibie dan Try Sutrisno. Habibie dikenal sebagai teknokrat yang ahli dalam pembuatan pesawat terbang, serta ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang baru terbentuk. Di sisi lain, Try Sutrisno merupakan seorang jenderal yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), serta mantan ajudan pribadi Soeharto. Try Sutrisno memiliki catatan karier militer yang cemerlang. Pada masa Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, di mana terjadi insiden yang menewaskan ratusan orang, Try Sutrisno menjabat sebagai Panglima KODAM Jaya. Meskipun peristiwa ini menyisakan kontroversi, nasib Try tidak seburuk beberapa rekannya, seperti Sintong Panjaitan. Menurut catatan sejarah, karier Try Sutrisno diselamatkan oleh dukungan Soeharto dan Jenderal Moerdani, yang mengangkatnya ke posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan militer.

Meskipun Soeharto sedang mendekati kelompok Islam pada masa itu, ia tidak bisa mengabaikan dukungan dari ABRI. Akhirnya, pada tahun 1993, Try Sutrisno terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Penunjukan ini menegaskan perannya dalam menjaga stabilitas politik dan konsistensi pemerintahan Soeharto. Sebagai Wakil Presiden, Try Sutrisno turut berkontribusi dalam berbagai kebijakan nasional dan internasional yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Perannya tidak hanya terbatas pada aspek politik dan militer, tetapi juga dalam pengembangan ekonomi dan stabilitas nasional. Keberadaannya sebagai mantan jenderal juga memberikan kekuatan tambahan dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Setelah masa jabatannya sebagai Wakil Presiden berakhir pada tahun 1998, Try Sutrisno tetap dihormati sebagai tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia. Kontribusinya dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan selama masa pemerintahan Soeharto memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan Indonesia pada era tersebut.

6. Bacharuddin Jusuf Habibie: Wakil Presiden (1998)

Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang akrab dipanggil B.J. Habibie, adalah figur yang memiliki perjalanan karier yang luar biasa dalam mengembangkan industri teknologi di Indonesia. Setelah hampir dua dekade belajar dan bekerja di Jerman, Habibie dipanggil kembali ke Indonesia oleh Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, pada tahun 1973. Kepulangannya itu dimaksudkan untuk memberikan dorongan baru dalam pengembangan teknologi di tanah air. Salah satu pencapaian terbesar B.J. Habibie adalah mendirikan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), sebuah langkah penting untuk memajukan industri penerbangan Indonesia. Habibie juga diberi tanggung jawab sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi oleh Soeharto pada tahun 1978, di mana ia menjabat selama dua dekade. Selama masa jabatannya, ia aktif dalam memajukan teknologi dan industri di Indonesia, meskipun menghadapi berbagai tantangan ekonomi, termasuk krisis moneter yang melanda negara pada periode tersebut.

Pada tanggal 14 Maret 1998, dalam suasana krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia, B.J. Habibie diangkat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Perannya tidak hanya terfokus pada pengembangan teknologi, tetapi juga mengambil bagian aktif dalam menanggapi dan mengelola dampak dari krisis ekonomi yang melanda negara, yang dimulai pada tahun 1997. Ketika kerusuhan dan gejolak politik mencapai puncaknya di Jakarta, Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 setelah memerintah selama 32 tahun. Secara otomatis, B.J. Habibie menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia. Periode kepemimpinannya diwarnai oleh tantangan besar dalam memulihkan stabilitas politik dan ekonomi, serta mengarahkan Indonesia menuju masa depan yang lebih stabil dan sejahtera. B.J. Habibie tidak hanya diingat sebagai tokoh yang berperan penting dalam pengembangan teknologi dan industri di Indonesia, tetapi juga sebagai pemimpin transisi yang menandai akhir dari era Soeharto dan awal dari era reformasi. Kontribusinya dalam memimpin negara melalui periode transisi yang sulit menjadikan dia sebagai figur yang dihormati dalam sejarah modern Indonesia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.