Sukses

Diyakini Bawa Nasib Sial, Ini 8 Pantangan Sasi Suro Menurut kepercayaan Masyarakat Jawa

Bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa, memiliki makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat Jawa.

Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa, memiliki makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat Jawa. Pada bulan ini, terdapat berbagai larangan dan pamali yang diyakini dapat mendatangkan kesialan jika dilanggar. Bulan Suro dipandang sebagai waktu yang penuh dengan energi spiritual yang kuat, sehingga berbagai aktivitas dan perilaku tertentu dianggap tabu dan perlu dihindari untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan.

Bagi masyarakat Jawa, melanggar pamali di bulan Suro bisa mengundang kesialan dan nasib buruk. Pamali sendiri merupakan larangan atau pantangan yang berkaitan erat dengan kepercayaan dan adat istiadat setempat. Keberadaan pamali ini tidak hanya dilihat sebagai takhayul belaka, tetapi juga sebagai bagian dari kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya menghormati alam, leluhur, dan menjaga keseimbangan hidup. Dalam konteks ini, pamali berfungsi sebagai pedoman yang mengingatkan masyarakat untuk senantiasa berhati-hati dan menjaga perilaku selama bulan yang sakral ini.

Bulan Suro, sebagai bulan yang dianggap sakral, juga seringkali diwarnai dengan berbagai ritual dan upacara adat yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan keberkahan. Masyarakat Jawa percaya bahwa melalui penghormatan terhadap pamali dan pelaksanaan ritual-ritual tertentu, mereka dapat menjaga hubungan harmonis dengan alam dan leluhur, serta menghindari berbagai bentuk kesialan. Dengan demikian, bulan Suro bukan hanya sekadar awal tahun dalam penanggalan Jawa, tetapi juga menjadi momen refleksi spiritual yang penting bagi masyarakat Jawa.

Berikut adalah sejumlah larangan atau pantangan di Sasi Suro menurut masyarakat Jawa, seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Minggu (7/7/2024).

2 dari 9 halaman

1. Mengadakan Pesta Pernikahan

Masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa mengadakan pesta pernikahan di bulan Suro akan mendatangkan kesialan bagi pasangan yang menikah. Bulan Suro terkenal sebagai bulan yang dianggap memiliki energi negatif, di mana energi tersebut bisa mengganggu kehidupan pasangan yang baru menikah.

Pernikahan yang digelar di bulan Suro diyakini akan sulit untuk bertahan dan akan penuh dengan cobaan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pasangan yang menikah di bulan tersebut akan menghadapi banyak masalah, perselisihan, dan kesulitan dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis.

Berdasarkan keyakinan ini, masyarakat Jawa lebih memilih untuk tidak mengadakan pesta pernikahan di bulan Suro. Mereka menghindari adanya energi negatif yang bisa mempengaruhi kehidupan pernikahan mereka. Sebagai gantinya, mereka memilih untuk menggelar pesta pernikahan di bulan-bulan lain yang dianggap lebih baik dan lebih menguntungkan.

Meskipun keyakinan ini tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas, tetapi masyarakat Jawa menghormati tradisi dan kepercayaan nenek moyang mereka. Pantangan atau larangan ini menjadi sebuah bentuk penghormatan terhadap budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

3 dari 9 halaman

2. Pindah Rumah

Dalam budaya Jawa, pindah rumah di bulan Suro dianggap sebagai pantangan yang patut dihindari. Pantangan ini berakar dari kepercayaan yang beredar di masyarakat. Pindah rumah di bulan Suro dianggap sebagai pamali karena diyakini akan menimbulkan berbagai ketidakberuntungan bagi penghuni rumah yang baru.

Hal ini disebabkan karena bulan Suro dianggap sebagai bulan yang angker dan penuh dengan energi negatif. Dipercaya bahwa pindah rumah di bulan ini akan membuat penghuni baru tidak betah di rumah tersebut dan sering mengalami kejadian-kejadian sial. Orang-orang yang melanggar pantangan ini diyakini akan menderita kerugian finansial, sering sakit, dan mengalami gangguan emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi, pantangan ini dipatuhi secara ketat. Mereka percaya bahwa dengan menghindari pindah rumah di bulan Suro, mereka dapat menghindari energi negatif yang mungkin membawa malapetaka dan kesialan ke dalam kehidupan mereka.

Meskipun bagi sebagian orang mungkin terdengar tidak masuk akal, namun tradisi dan kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Pantangan ini menjadi bagian dari warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

4 dari 9 halaman

3. Membangun Rumah

Membangun rumah di Sasi Suro atau bulan Suro merupakan sebuah larangan atau pantangan yang berlaku di masyarakat Indonesia. Hal ini ada kaitannya dengan kepercayaan dan tradisi yang telah berlangsung turun temurun.

Menurut kepercayaan masyarakat, membantu rumah di bulan Suro diyakini sebagai pamali. Mereka percaya bahwa rumah yang dibangun pada bulan ini akan menghadirkan kerugian dan tidak akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya.

Mereka mengatakan bahwa rumah yang dibangun di bulan Suro akan cenderung mudah rusak dan tidak akan bertahan lama. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa rumah ini akan sering mengalami masalah dan kesulitan dalam berbagai aspek, seperti keuangan, kesehatan, bahkan hubungan sosial dengan tetangga.

Masyarakat menjunjung tinggi kesepakatan tradisi ini dan masih mematuhi larangan tersebut hingga saat ini. Mereka lebih memilih untuk menunda pembangunan rumah hingga bulan-bulan lain yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan demikian, mereka berharap agar rumah yang mereka bangun akan memberikan kebahagiaan, kesuksesan, dan keberuntungan bagi mereka dan keluarga.

5 dari 9 halaman

4. Bepergian Jauh

Bepergian jauh di bulan Suro merupakan suatu pantangan atau larangan yang dipercaya oleh masyarakat. Hal ini karena diyakini bahwa melakukan perjalanan jauh di bulan Suro dapat mendatangkan bahaya dan kesialan. Mengapa hal ini menjadi pantangan?

Pertama, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang memiliki energi negatif atau angin buruk. Oleh karena itu, beraktivitas di luar rumah dengan bepergian jauh di bulan ini dianggap sebagai suatu tindakan yang dapat menarik kesialan atau masalah dalam perjalanan. Masyarakat percaya bahwa bahaya seperti terjatuh, kecelakaan, atau kesulitan dalam melakukan perjalanan dapat terjadi pada mereka yang tidak mematuhi larangan ini.

Kedua, para leluhur juga mempunyai keyakinan bahwa ulah kita di bulan Suro dapat mempengaruhi kondisi alam. Jika kita melawan larangan dan tetap bepergian jauh, hal ini dapat dianggap sebagai menantang kekuatan gaib yang menguasai bulan Suro. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk tetap tinggal di rumah dan menjaga diri agar terhindar dari kesulitan atau bencana yang mungkin terjadi.

Namun, terkadang keadaan memang mengharuskan seseorang untuk melakukan perjalanan jauh di bulan Suro. Jika hal ini terjadi, masyarakat diajarkan untuk tetap berhati-hati dan berdoa agar selalu dilindungi oleh Tuhan. Selain itu, sebaiknya mereka memeriksa semua kondisi dan keamanan yang diperlukan dalam perjalanan agar dapat menghindari bahaya dan menjaga keselamatan diri.

Sesuai dengan kepercayaan dan adat yang berlaku, penting untuk menghormati larangan dan pantangan yang ada di bulan Suro. Selain menjaga keamanan diri sendiri, menghormati tradisi ini juga bisa menjadi wujud rasa saling menghargai terhadap budaya yang ada di masyarakat.

6 dari 9 halaman

5. Berbicara Kasar dan Kotor

Sasi Suro atau bulan Suro adalah bulan yang dianggap memiliki makna sakral dalam budaya Jawa. Oleh karena itu, terdapat sejumlah pantangan atau larangan yang harus dihindari, salah satunya adalah berbicara kasar dan kotor. Larangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbicara dengan kata-kata yang kasar dan kotor dianggap sebagai penghinaan terhadap kesucian bulan Suro.

Penggunaan kata-kata kasar dan kotor dapat merusak keberkahan dan keharmonisan yang ada pada bulan ini. Oleh karena itu, masyarakat Jawa meyakini bahwa berbicara secara halus dan santun adalah tindakan yang dianjurkan guna menjaga nuansa sakral saat menjalani bulan Suro.

Selain itu, sebaiknya kita juga menghindari berbicara kasar dan kotor di bulan apapun agar tidak menjadi kebiasaan yang buruk. Kata-kata memegang peranan penting dalam berkomunikasi dan dapat mempengaruhi suasana hati dan pikiran orang lain. Maka dari itu, penting bagi kita untuk selalu memperhatikan kata-kata yang kita ucapkan dan menjaga sikap yang sopan dalam berkomunikasi, terutama saat menjalani bulan Suro yang dianggap begitu suci.

Dalam kesimpulannya, berbicara kasar dan kotor di Sasi Suro atau bulan Suro menjadi pantangan atau larangan karena dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap kesucian bulan ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghormati dan menjaga nuansa sakral bulan Suro dengan berbicara secara halus dan sopan.

7 dari 9 halaman

6. Melakukan Perbuatan Tercela

Sasi Suro adalah bulan yang dianggap sakral dan memiliki banyak larangan atau pantangan dalam tradisi Jawa. Salah satu larangan utama dalam bulan Suro adalah melakukan perbuatan tercela seperti mencuri, berjudi, atau mabuk-mabukan.

Ada beberapa alasan mengapa melakukan perbuatan tercela di bulan Suro menjadi pantangan. Pertama, karena bulan ini diyakini memiliki energi negatif yang kuat. Melakukan perbuatan tercela dapat mengundang kesialan dan menarik karma buruk. Karma dipercaya akan berdampak pada kehidupan seseorang dan mungkin mengakibatkan masalah atau bahkan bencana di masa depan.

Selain itu, melakukan hal-hal tercela di bulan Suro juga dapat berimbas negatif pada diri sendiri. Mencuri, berjudi, atau mabuk-mabukan adalah tindakan yang melanggar hukum dan etika. Selain melanggar norma sosial, perbuatan ini juga dapat merusak reputasi dan hubungan sosial seseorang. Dalam konteks spiritual, melakukan perbuatan tercela juga dapat merusak keseimbangan energi dalam diri sendiri dan menurunkan kesadaran spiritual.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menghindari melakukan perbuatan tercela tidak hanya di bulan Suro, tetapi juga sepanjang tahun. Menghormati tradisi dan pantangan yang ada dapat membantu menjaga keseimbangan hidup, menghindari kesialan, dan menciptakan lingkungan yang lebih positif. Sebagai masyarakat, kita harus menghargai pantangan ini dan berupaya untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang baik.

8 dari 9 halaman

7. Memotong Kuku dan Rambut di Malam Hari

Sebagai salah satu tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa, memotong kuku dan rambut di malam hari saat bulan Suro adalah pantangan yang harus dihindari. Masyarakat Jawa percaya bahwa tindakan ini dapat mengundang makhluk halus dan mendatangkan kesialan bagi yang melakukannya.

Meskipun tidak memiliki dasar pasti dan ilmiah, pamali ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Mereka meyakini bahwa pada bulan Suro, energi kosmik di sekitar kita sangat kuat, dan oleh karena itu, interaksi dengan makhluk halus dapat lebih mudah terjadi. Oleh karena itu, melalui memotong kuku dan rambut di malam hari, diyakini akan membuka peluang bagi makhluk halus untuk masuk ke tubuh manusia atau mengganggu kehidupan sehari-hari.

Agar terhindar dari kesialan dan mendapatkan keselamatan yang terbaik, masyarakat Jawa mematuhi aturan ini secara ketat. Meskipun tak bersifat ilmiah, menghormati pamali ini merupakan wujud penghargaan terhadap tradisi nenek moyang dan sebagai bentuk kepatuhan terhadap keyakinan turun temurun.

Meskipun tidak ada dasar ilmiah yang jelas tentang pantangan ini, menghormati pamali ini diharapkan dapat menjaga harmoni dan ketentraman hidup serta mencerminkan rasa kebersamaan dalam menjalankan tradisi budaya yang ada. Jadi, sebaiknya kita menghindari memotong kuku dan rambut di malam hari saat bulan Suro sebagai tanda penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat Jawa yang telah ada sejak lama.

9 dari 9 halaman

8. Melangkahi Sesajen

Melangkahi sesajen merupakan sebuah pantangan atau larangan di bulan Suro yang sangat dihormati oleh masyarakat Jawa. Sesajen sendiri adalah persembahan yang diberikan kepada roh leluhur atau makhluk halus dalam budaya Jawa. Pantangan ini muncul karena melangkahi sesajen dianggap sebagai penghinaan yang dapat mendatangkan kemarahan dari makhluk halus tersebut.

Meskipun terkesan mistis, larangan dan pamali di bulan Suro sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang sangat berharga. Dalam budaya Jawa, melangkahi sesajen dianggap tidak hormat terhadap roh leluhur atau makhluk halus. Hal ini mengajarkan kita untuk lebih mawas diri dan menghormati leluhur kita.

Selain itu, pantangan ini juga mengajarkan kita untuk menjaga keselarasan dengan alam semesta. Dalam budaya Jawa, bulan Suro dianggap sebagai waktu di mana energi spiritual yang kuat berada. Dengan menghormati larangan ini, kita diharapkan dapat menjaga keseimbangan alam semesta dan menghindari kemarahan dari makhluk halus.

Dengan memahami hikmah di balik larangan dan pamali tersebut, kita dapat mempelajari dan menghargai kearifan lokal budaya Jawa. Ini merupakan sebuah pengingat untuk kita semua agar selalu menjaga adab dan keselarasan dalam kehidupan sehari-hari.