Sukses

Supersemar Adalah Surat Perintah yang Mengubah Wajah Indonesia, Begini Isinya

Supersemar adalah dokumen penting dalam sejarah politik Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Supersemar merupakan singkatan dari Surat Perintah Sebelas Maret. Supersemar adalah dokumen penting dalam sejarah politik Indonesia. Dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966, surat ini memberikan kekuasaan penuh kepada Jenderal Soeharto untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara. Supersemar menjadi titik balik yang mengawali peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia kedua.

Dokumen ini menandai awal dari Orde Baru, sebuah era di mana pemerintahan Soeharto berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Meskipun kontroversial, Supersemar dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah krusial dalam menanggulangi situasi politik yang saat itu sedang kacau dan penuh ketidakstabilan.

Supersemar tidak hanya berfungsi sebagai perintah militer, tetapi juga sebagai simbol perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Dampak dari surat ini membawa perubahan drastis dalam struktur pemerintahan dan kebijakan negara.

Berikut ini Liputan6.com ulas mengenai pengertian Supersemar, isi, dan tujuannya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Kamis (11/7/2024).

2 dari 6 halaman

Mengenal Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret, yang biasa disebut dengan singkatan Supersemar, adalah sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966, yang memberikan wewenang kepada Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan apa pun yang "dianggap perlu" untuk memulihkan ketertiban pada situasi yang kacau selama pembantaian di Indonesia 1965–1966. Dengan kata lain, supersemar adalah surat perintah secara tertulis dari Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto, untuk mengendalikan situasi dalam negeri.

Singkatan "Supersemar" juga merupakan plesetan dari nama Semar, tokoh mistik dan sakti yang sering muncul dalam mitologi Jawa, termasuk dalam pertunjukan wayang. Pemanggilan Semar mungkin dimaksudkan untuk membantu memanfaatkan mitologi Jawa untuk memberikan dukungan terhadap legitimasi Soeharto selama periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

3 dari 6 halaman

Tujuan Supersemar

Dikutip dari repositori Kemdikbud Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 (1986), Supersemar diterbitkan pada saat kondisi tanah air sedang dalam keadaan sangat genting dan penuh keributan. Rakyat pada saat itu merasa sangat tidak puas dengan pemerintahan dan kondisi perekonomian yang memburuk, yang memicu serangkaian unjuk rasa besar-besaran yang terus berlangsung. Tuntutan perubahan yang semakin menguat di kalangan masyarakat akhirnya menghasilkan tiga tuntutan rakyat yang dikenal sebagai Tritura, yaitu pembubaran PKI, penurunan harga atau perbaikan ekonomi, dan perombakan Kabinet Dwikora.

Tritura, yang merupakan akronim dari "Tiga Tuntutan Rakyat," mencakup tuntutan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), menurunkan harga-harga serta memperbaiki kondisi ekonomi, dan merombak atau memperkuat Kabinet Dwikora. Maksud dari "retool" dalam konteks Kabinet Dwikora adalah menambah kelengkapan dan memperluas wewenang kabinet agar lebih efektif dalam memperbaiki situasi negara yang kacau balau. Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam dan keinginan rakyat untuk perubahan signifikan dalam pemerintahan dan kebijakan negara.

Dalam keadaan Indonesia yang penuh keributan dan ketidakstabilan, Supersemar dibuat dengan tujuan yang jelas dan mendesak. Tujuan utama dari penerbitan surat ini adalah untuk mengembalikan stabilitas dan keamanan dalam negeri, menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia, serta mengembalikan kewibawaan pemerintah dan pimpinan tertinggi Indonesia. Supersemar dianggap sebagai langkah krusial untuk mengatasi krisis yang tengah dihadapi negara dan membawa kembali ketertiban serta kepemimpinan yang kuat.

4 dari 6 halaman

Latar Belakang Supersemar

Dikutip dari buku Sejarah Hukum Indonesia (2021) Prof Dr Sutan Remy Sjahdeini, SH, Supersemar lahir setelah peristiwa besar pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal sebagai G30S/PKI. Setelah penumpasan gerakan tersebut, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengatasi keadaan karena belum membubarkan PKI.

Hal tersebut membuat kepercayaan publik kepada Presiden Soekarno menurun, dan berdampak pada situasi politik yang tidak stabil. Mahasiswa turun ke jalan menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi.

Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang kemudian dikenal dengan 'Kabinet 100 Menteri' yang merupakan hasil reshuffle dari Kabinet Dwikora. Saat memimpin rapat, Sukarno menerima nota dari dari Brigjen Sabur bahwa di luar Istana Merdeka ada pasukan tak dikenal dan mengkhawatirkan. Bung Karno lalu menyerahkan pimpinan sidang ke Waperdam II Leimena, lantas bergegas ke Istana Bogor naik helikopter bersama Dokter Soebandrio.

Letjen Soeharto menjadi satu-satunya menteri yang tak hadir dalam rapat kabinet dengan alasan 'sakit', mendengar peristiwa di Istana Merdeka itu. Soeharto langsung mengutus 3 orang yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Basuki Rachmat dan Brigjen Amirmachmud ke Istana Bogor bertemu Sukarno. Hasil pertemuan 3 Brigjen utusan Soeharto dan Sukarno: ditekennya Supersemar dengan segala konsekuensi politisnya.

5 dari 6 halaman

Isi Supersemar

Melansir dari buku Sejarah Hukum Indonesia (2021) karya Prof Dr Sutan Remy Sjahdeini, SH, isi naskah SUPERSEMAR sebagai berikut :

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
6 dari 6 halaman

Naskah Supersemar Versi Jenderal Muhammad Jusuf

Terkait isi Supersemar, ternyata ada naskah Supersemar versi Jenderal Muhammad Jusuf. Mantan Panglima TNI Jenderal M Jusuf menyebut bahwa Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer mengetik surat ini dengan karbon rangkap tiga (cara lama untuk menggandakan surat dengan mesin ketik).

Surat pertama diserahkan dan ditandatangani Presiden Sukarno. Surat itulah yang kemudian dikenal sebagai naskah asli yang diserahkan Brigjen Basuki Rachmat pada Jenderal Soeharto. Setelah diserahkan pada Soeharto, naskah itu tak pernah lagi terlihat.

Kopi kedua surat disebut disimpan oleh Brigjen Saboer. Sedangkan kopi surat ketiga diambil oleh Jenderal Muhammad Jusuf.

Rupanya, baik kopi kedua dan ketiga Supersemar tidak pernah ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Namun soal surat itu tak pernah disinggung-singgung lagi oleh Jenderal Muhammad Jusuf. Sampai kematiannya pun, dia tak pernah membahasnya.

"Kalau surat yang asli sudah dibawa Basuki (Rachmat) ke Soeharto. Jadi jangan kau tanyakan lagi padaku," ucapnya dalam biografinya, Panglima Para Prajurit yang ditulis Atmadji Sumarkidjo yang dikutip Liputan6.com Kamis (11/7/2024).