Liputan6.com, Jakarta Kebaya adalah pakaian tradisional yang terpilih menjadi busana nasional perempuan Indonesia dengan sejarah panjang dan makna mendalam. Pakaian berupa blus atau baju atasan dengan bukaan di bagian depan dari atas ke bawah ini tidak hanya sekadar pakaian, tetapi juga simbol kekayaan budaya bangsa yang sarat dengan nilai-nilai luhur.
Baca Juga
Advertisement
Sejarah kebaya dimulai dari keraton, di mana pakaian ini awalnya dikenakan oleh para perempuan bangsawan. Desain kebaya umumnya berlengan panjang tanpa detail seperti kerutan atau manset, dengan siluet yang mengikuti bentuk tubuh dari dada, pinggang hingga pinggul.
Panjang kebaya juga bervariasi, mulai dari sepanjang pinggul hingga di bawah lutut. Bagian ujung bawah kebaya bagian depan dapat berbentuk lurus atau memiliki sudut lancip yang bertemu antara kiri dan kanan, dengan variasi kemiringan sudut yang berbeda-beda.Â
Kebaya tidak hanya sekadar pakaian, tetapi juga sebuah warisan budaya yang telah melalui perjalanan panjang dan kini diakui sebagai busana nasional Indonesia. Memahami sejarah kebaya berarti menyelami nilai-nilai luhur dan keindahan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sejarah kebaya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (23/7/2024).
Asal-usul Kebaya
Kebaya adalah pakaian berupa blus atau baju atasan dengan bukaan di bagian depan ini telah melalui berbagai perubahan dan adaptasi dari masa ke masa, mencerminkan dinamika sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Menurut buku "Chic In Kebaya" karya Ria Pentasari, kata "kebaya" memiliki asal-usul yang menarik dan terkait erat dengan berbagai bangsa. Kebaya berasal dari kata Arab "habaya," yang berarti pakaian labuh dengan belahan di depan. Denys Lombard, seorang sejarawan yang menekuni budaya Jawa, juga menyebut bahwa kata kebaya berasal dari bahasa Arab "kaba," yang berarti pakaian.Â
Bahkan hingga kini, istilah "Abaya" masih digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjuk tunik panjang khas Arab. Selain itu, ada catatan yang menyebut bahwa kata kebaya diperkenalkan lewat bahasa Portugis saat bangsa ini mendarat di Asia Tenggara, menunjuk pada atasan atau blus yang dikenakan wanita Indonesia antara abad ke-15 dan 16 Masehi.
Pendapat lain menyatakan bahwa kebaya berkaitan dengan pakaian panjang wanita pada masa kekaisaran Ming di Tiongkok. Pengaruh gaya pakaian ini menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara sekitar abad ke-13 hingga 16 Masehi melalui penyebaran penduduk dari dataran Tiongkok. Pengaruh ini kemudian meluas ke wilayah Malaka, Jawa, Bali, Sumatra, dan Sulawesi, membawa serta perubahan dalam gaya berpakaian lokal.
Peran Kebaya di Keraton dan Pengaruh Islam
Awalnya, kebaya dikenakan oleh perempuan-perempuan keraton. Saat masyarakat Indonesia masih beragama Hindu dan Buddha, kain sepotong tidak boleh dijahit karena dianggap sakral dan bermakna. Namun, sejak abad ke-14, dengan masuknya pendatang dari Barat, perempuan keraton mulai mengadopsi baju atasan untuk menutupi bagian bahunya, berusaha berdiri sejajar dengan mereka.Â
Masuknya agama Islam pada abad ke-15 juga membawa pengaruh besar terhadap busana perempuan keraton. Kesopanan menjadi semakin penting, dan kebaya menjadi simbol status dan keanggunan perempuan kelas atas.Â
Perempuan indo dan totok (keturunan Tionghoa) kemudian mengembangkan kebaya sesuai identitas mereka. Mereka tidak ingin memakai kain yang sama dengan perempuan keraton, sehingga menciptakan kain-kain dengan gambar khas Eropa, seperti buketan atau bunga, yang dikenal sebagai batik buketan.Â
Kebaya mereka juga terbuat dari bahan yang berbeda, dengan hiasan renda dan berwarna putih. Kebaya encim, yang dikenakan oleh perempuan keturunan Tionghoa, dihias dengan bordir motif khas Tionghoa dan batik dengan gambar burung naga, mencerminkan identitas budaya mereka.
Pada tahun 1600, kebaya dikenakan secara resmi oleh keluarga kerajaan. Setelah penyebaran agama Islam, kebaya menjadi busana populer dan simbol status di kalangan keluarga kerajaan di Cirebon, Surakarta, dan Yogyakarta. Atasan kebaya biasanya dipadukan dengan kain batik sebagai bawahan. Pada era Kartini, kebaya juga dikenakan oleh perempuan Belanda dipadukan dengan kain batik, menunjukkan akulturasi budaya yang terjadi.
Kini, kebaya telah berevolusi menjadi simbol identitas nasional Indonesia, dikenakan pada berbagai acara resmi dan perayaan. Kebaya modern tetap mempertahankan elemen tradisionalnya sambil mengadopsi gaya dan tren kontemporer, menunjukkan kemampuan busana ini untuk beradaptasi dan tetap relevan di berbagai era.
Dengan memahami sejarah kebaya, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kebaya bukan sekadar pakaian, tetapi juga simbol dari perjalanan panjang identitas dan keanggunan perempuan Indonesia.
Advertisement
Perjalanan Kebaya Menjadi Busana Nasional Indonesia
Penetapan kebaya sebagai busana nasional Indonesia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan berbagai pertimbangan historis, filosofis, dan estetis. Keputusan ini berawal dari Lokakarya tahun 1978 di Jakarta, di mana perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia berkumpul untuk menentukan satu busana nasional yang dapat mewakili seluruh keberagaman busana di Indonesia. Dari empat jenis busana yang menjadi kandidat, yaitu kemben, kebaya, baju kurung, dan baju bodo, kebaya akhirnya terpilih sebagai busana nasional Indonesia.
Pada lokakarya tersebut, pengamat mode dan budayawan sepakat bahwa kebaya memiliki sejumlah keunggulan yang membuatnya layak menjadi representatif busana nasional. Kebaya dinilai cocok untuk mencerminkan semangat kebangsaan.
Kebaya juga dianggap sebagai simbol feminisme perempuan Indonesia. Model kebaya dibuat dengan tujuan untuk melindungi fisik perempuan, mencerminkan peran perempuan yang unik dalam masyarakat. Kebaya melambangkan keselamatan dan budi pekerti, serta menghormati kodrat perempuan yang memiliki rahim, yang tidak bisa dimiliki oleh laki-laki. Kebaya dirancang dengan rapi dan panjang, sering kali menggunakan motif yang memiliki makna simbolis.
Penetapan kebaya sebagai busana nasional juga didukung oleh Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Jenis-Jenis Pakaian Sipil dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Penerapan peraturan ini terlihat dalam busana yang dikenakan oleh Ibu Negara saat mendampingi Kepala Negara di berbagai acara kenegaraan. Sejak era Ibu Fatmawati hingga Ibu Iriana Jokowi, Ibu Negara selalu mengenakan kebaya, menjadikan kebaya sebagai acuan mode masyarakat pada masanya.
Ciri-ciri Kebaya
Kebaya memiliki ciri khas yang membedakannya dari busana lainnya. Kebaya bukan hanya sekadar pakaian, melainkan simbol dari identitas dan budaya perempuan Indonesia. Berikut adalah ciri-ciri utama kebaya.
1. Lubang atau Lingkar Leher
Kebaya memiliki desain dengan lubang atau lingkar leher yang khas. Lingkar leher ini umumnya berbentuk V atau U, memberikan kesan elegan dan feminin.
2. Bukaan di Bagian Depan
Salah satu ciri paling menonjol dari kebaya adalah bukaan di bagian depan yang memanjang dari leher hingga ke bawah. Bukaan ini sering kali dilengkapi dengan kancing atau pengikat tradisional seperti peniti atau bros, yang menambah nilai estetika.
3. Beff atau Tanpa Beff
Kebaya dapat memiliki beff (juga dikenal sebagai kutu baru) atau tanpa beff. Beff adalah kain persegi panjang yang ditempatkan di bagian tengah depan kebaya, berfungsi sebagai penghubung antara bagian kiri dan kanan kebaya, serta sebagai hiasan tambahan.
4. Lengan Panjang
Kebaya umumnya berlengan panjang tanpa detail tambahan seperti kerutan atau manset. Lengan panjang ini memberikan kesan anggun dan menjaga kesopanan, sejalan dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
5. Pelengkap Kebaya
Untuk melengkapi kebaya, biasanya dipadukan dengan kain panjang yang dililitkan di pinggang sebagai bawahan. Selendang juga sering digunakan sebagai aksesori tambahan, yang bisa dililitkan di bahu atau diletakkan di atas kepala. Alas kaki yang umum digunakan adalah selop, dan untuk tatanan rambut, perempuan sering kali memakai sanggul, yang menambah kesan tradisional dan elegan.
Advertisement
Filosofi Kebaya
Kebaya memiliki filosofi yang dalam dan kaya makna. Desain dan cara pemakaiannya mencerminkan berbagai nilai budaya dan karakteristik perempuan Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berikut adalah beberapa aspek filosofis yang terkandung dalam kebaya.
1. Penyesuaian dengan Bentuk Tubuh Perempuan
Kebaya umumnya dibuat menyesuaikan dengan bentuk tubuh perempuan, menonjolkan lekuk-lekuk yang anggun dan feminim. Hal ini melambangkan kemampuan perempuan untuk menyesuaikan diri dalam berbagai suasana, keadaan, dan budaya. Kebaya mencerminkan sifat lemah lembut dan luwes yang menjadi karakteristik ideal perempuan Indonesia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.
2. Paduan dengan Bawahan Jarik atau Kain Panjang
Kebaya sering dipadukan dengan bawahan berupa jarik atau kain panjang. Kombinasi ini menciptakan tampilan yang sederhana dan anggun, mengesankan kelemahlembutan dan keluwesan perempuan. Kain panjang yang dikenakan melambangkan keanggunan dan kebijaksanaan dalam membawa diri.
3. StagenÂ
Stagen yang digunakan untuk mengencangkan kebaya di pinggang, memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam budaya Jawa, stagen melambangkan "usus yang panjang," yang mengacu pada kesabaran yang tinggi. Ini mencerminkan karakter perempuan yang sabar, tabah, dan tahan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
4. Tata Krama dan Kebebasan Ekspresi
Kebaya modern mencerminkan filosofi perempuan yang memiliki tata krama, sopan santun, dan etika dalam berpenampilan. Namun, kebaya modern juga memungkinkan perempuan untuk bebas berekspresi dan mengembangkan keinginan mereka tanpa meninggalkan pakem budaya Indonesia. Ini menunjukkan keseimbangan antara menghormati tradisi dan menjalani kehidupan modern dengan penuh kreativitas dan kebebasan.
Â