Sukses

Sejarah Penggunaan Cadar, Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliah

Sejarah penggunaan cadar terus berlangsung hingga masa dakwah Rasulullah, di mana kemudian cadar juga menjadi bagian dari budaya berbusana di kalangan umat Islam.

Liputan6.com, Jakarta Cadar atau dalam bahasa Arab dikenal sebagai niqab, sering kali diasosiasikan dengan umat Islam. Namun, sejarah penggunaan cadar sebenarnya telah ada jauh sebelum datangnya agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pada zaman jahiliah, perempuan di wilayah gurun pasir sudah biasa mengenakan cadar. Tujuan utama dari pemakaian cadar saat itu adalah untuk melindungi diri dari panas terik matahari dan debu gurun yang kerap berterbangan. 

Sejarah penggunaan cadar terus berlangsung hingga masa dakwah Rasulullah, di mana kemudian cadar juga menjadi bagian dari budaya berbusana di kalangan umat Islam. Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, juga mengenal dan menggunakan cadar dalam kesehariannya. 

Meskipun Indonesia bukan negara yang berada di Timur Tengah, penggunaan cadar sudah cukup umum dan semakin banyak wanita Muslimah yang memilih untuk mengenakannya. Namun, di Indonesia, cadar menjadi topik yang kontroversial dan sering kali menjadi bahan perdebatan. 

Perdebatan ini mencakup berbagai argumen, mulai dari hukum pemakaian cadar dalam Islam hingga tradisi penggunaannya yang berasal dari masyarakat Timur Tengah. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sejarah penggunaan cadar yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (24/7/2024).

2 dari 4 halaman

Penggunaan Cadar di Sebelum Kedatangan Islam

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya "An-Niqab fi Syariat al-Islam" (2008: 48), niqab atau cadar adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan oleh sebagian perempuan di masa Jahiliyyah. Pemakaian cadar ini kemudian berlanjut hingga masa Islam. 

Menariknya, Nabi Muhammad SAW tidak mempermasalahkan model pakaian ini, tetapi juga tidak sampai mewajibkan, menghimbau, ataupun mensunahkan niqab kepada perempuan. Jika niqab dianggap sebagai pakaian yang penting untuk menjaga marwah perempuan dan sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka, sebagaimana klaim sejumlah pihak, tentunya Nabi Muhammad SAW akan mewajibkannya kepada isteri-isterinya. 

Namun, Nabi tidak melakukannya, dan hal ini juga tidak berlaku bagi sahabat-sahabat perempuan Nabi. Ini menunjukkan bahwa meskipun niqab tetap ada hingga masa Islam, ia hanya sebatas jenis pakaian yang dikenal dan dipakai oleh sebagian perempuan.

Khusus untuk ummahat al-mukminin (isteri-isteri Nabi), mereka memiliki kewajiban khusus untuk mengenakan hijab di dalam rumah dan menutup semua badan serta wajahnya ketika keluar dari rumah. Ini merupakan bentuk perluasan dari hijab yang diwajibkan di dalam rumah.

Penggunaan Cadar oleh Umat Islam

Dalam sejarah Islam, cadar hanyalah bagian dari pakaian yang dikenakan oleh sebagian perempuan Arab baik pada masa pra-Islam maupun setelahnya. Tidak ada perintah khusus mengenai pakaian ini, baik kewajiban maupun kesunahannya. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam "Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah" menyebutkan bahwa niqab hanyalah salah satu bentuk pakaian yang sudah ada di masa awal Islam.

Diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar ra bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyyah, beliau melihat Aisyah mengenakan niqab di tengah kerumunan para sahabat dan mengenalinya (Ibn Sa’d, thabaqat). Dalam hadis riwayat Ibn Majah yang diinformasikan dari Aisyah, ia berkata bahwa pada saat Nabi SAW sampai di Madinah dan menikahi Shafiyyah binti Huyay, perempuan-perempuan Anshar datang mengabarkan kedatangan Nabi. Aisyah menyamar dan mengenakan niqab untuk ikut menyambutnya, dan Nabi mengenalinya (HR. Ibnu Majah).

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa niqab sebagai salah satu jenis pakaian di masa awal Islam memang sudah ada, tetapi cukup langka dalam kehidupan sosial perempuan baik di Makkah maupun Madinah. Dalam riwayat-riwayat tersebut, kata "niqab" hampir selalu disertai dengan kata "tanakkur" yang berarti menyamarkan diri.

Hal ini menunjukkan bahwa ummahatul mukminin menutup wajah mereka dari khalayak umum dengan menggunakan penutup lain seperti ujung jilbabnya. Kata "tanakkur" juga bisa dimaknai bahwa pakaian yang digunakan oleh istri Nabi adalah pakaian yang tidak biasa. Jadi, niqab yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah sebuah cara untuk "tanakkur" atau menyamarkan diri, sebuah pakaian khusus yang digunakan oleh sejumlah perempuan Arab pra-Islam saat keluar dari Makkah atau Madinah, dan ini sangat sedikit dan jarang.

Dengan pemahaman sejarah ini, kita dapat melihat bahwa niqab bukanlah semata-mata simbol keagamaan, melainkan juga bagian dari tradisi budaya yang telah ada sejak lama. Pemahaman ini penting untuk meredakan ketegangan dan membuka dialog yang lebih konstruktif mengenai peran niqab dalam kehidupan Muslimah di Indonesia dan di seluruh dunia.

3 dari 4 halaman

Hukum Penggunaan Cadar Menurut Ajaran Islam

Dalam pandangan Islam, penggunaan cadar atau niqab tidak pernah secara khusus diwajibkan maupun dilarang oleh Rasulullah SAW. Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mempermasalahkan pemakaian niqab, namun juga tidak menganjurkan atau menyunahkan penggunaannya. 

Salah satu riwayat yang mengisahkan hal ini adalah ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyyah, beliau melihat Aisyah mengenakan niqab di tengah kerumunan para sahabat dan mengenalinya tanpa melarangnya. Abdullah Ibnu Umar RA meriwayatkan hal ini sebagai bukti bahwa pemakaian niqab tidak menjadi persoalan bagi Nabi SAW.

Selain itu, hadis riwayat Ibn Majah yang disampaikan dari Aisyah juga menyebutkan bahwa ketika Nabi SAW tiba di Madinah setelah menikahi Shafiyyah binti Huyay, perempuan-perempuan Anshar datang mengabarkan kedatangan Nabi. Aisyah, yang mengenakan niqab untuk menyamar, tetap dikenali oleh Nabi yang kemudian menatap matanya. Meskipun Aisyah mencoba menghindar, Nabi tetap mengenalinya (HR. Ibn Majah). Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa penggunaan niqab adalah hal yang dikenal di masa itu, namun bukan suatu kewajiban agama.

Di masa setelah Islam, penggunaan cadar diketahui masih berlanjut di berbagai komunitas, termasuk di kalangan Suku Thawariq yang hidup sebagai pengembara di Padang Sahara. Menurut Ibnu al-Khathib, yang dikutip oleh Philip K. Hitti dalam "History of The Arabs" (2014), cadar merupakan pakaian adat. "Adat mereka yang aneh ini memunculkan nama lain, Mulatstsamun (para pemakai cadar), yang kadang-kadang menjadi sebutan lain bagi kaum Murabithun," tulis Philip K. Hitti.

Dinasti Murabithun, yang didirikan pada abad ke-11, merupakan salah satu kelompok yang anggotanya mengenakan cadar. Dinasti ini pada awalnya adalah sebuah paguyuban militer keagamaan yang didirikan oleh seorang Muslim yang shaleh di sebuah ribath, sejenis padepokan masjid yang dibentengi di Senegal.

 Anggota pertama kelompok Murabithun berasal dari Lamtunah, sempalan dari suku Sanhaji, yang hidup sebagai pengembara di Padang Sahara. Salah satu keturunan mereka adalah Suku Thawariq (Touareg), yang memiliki kebiasaan mengenakan cadar untuk menutupi mata dan wajah, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Mereka disebut sebagai kaum Mulatstsamun atau para pemakai cadar.

Penggunaan cadar oleh kelompok-kelompok seperti Murabithun menunjukkan bahwa niqab memiliki akar budaya yang kuat dan bukan semata-mata simbol religius. Cadar digunakan sebagai perlindungan dari kondisi lingkungan yang keras, seperti panas terik dan debu di padang pasir, serta sebagai bagian dari adat istiadat mereka.

4 dari 4 halaman

Perdebatan Hukum Penggunaan Cadar dalam Islam

Penggunaan cadar atau niqab, sebagai penutup wajah bagi perempuan dalam Islam telah menjadi topik perdebatan di kalangan ulama dan ahli fikih. Perdebatan ini terutama berkisar pada batas aurat perempuan dan bagaimana praktik tersebut diterapkan dalam konteks sosial dan budaya yang berbeda.

Menurut Ramadhan Buthi dalam bukunya Ila Kulli Fatat Tu’min Billah, perdebatan mengenai hukum pemakaian cadar terkait erat dengan perbedaan pandangan mengenai batas aurat perempuan. Hukum mengenai cadar sangat dipengaruhi oleh madzhab dan konteks sosial-budaya masing-masing. 

Dalam tataran praksis, penggunaan cadar tidak selalu sesuai dengan kultur masyarakat yang berbeda. Misalnya, di beberapa daerah seperti Indonesia yang tidak memiliki tradisi cadar yang kuat, mewajibkan penggunaan cadar bisa dianggap makruh atau tidak disarankan.

Dalam buku Syarah al-Kabir oleh Syaikh Ad-Dardiri, dijelaskan bahwa cadar atau niqab yang menutupi wajah hingga mata dianggap makruh, terutama saat salat, karena dianggap sebagai bentuk berlebih-lebihan (ghuluw). Kemakruhan ini berlaku sepanjang cadar tidak menjadi bagian dari adat atau tradisi masyarakat setempat. Di masyarakat dengan tradisi cadar seperti di beberapa daerah Maghrib, pemakaian cadar tidak dianggap makruh.

Di sisi lain, Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya Problematika Fikih Kontemporer menyebutkan bahwa pendapat yang mewajibkan penggunaan cadar merujuk pada pendapat Imam Ahmad. Menurut Imam Ahmad dan beberapa ulama Tabi'in seperti Abu Bakar bin Abd. Rahman, seluruh tubuh wanita dianggap aurat, sehingga perempuan diwajibkan untuk menutup seluruh tubuh termasuk wajah dengan cadar.

Menurut madzhab Hanafi, wanita muda (al-mar’ah asy-syabbah) disarankan untuk tidak memperlihatkan wajah di hadapan laki-laki yang bukan muhrim. Ini dilakukan untuk menghindari fitnah, bukan karena wajah dianggap aurat secara absolut. Sedangkan, Madzhab Maliki menganggap bahwa menutup wajah dengan cadar, baik saat salat maupun di luar salat, adalah makruh karena dianggap sebagai bentuk berlebih-lebihan dalam beribadah dan bertindak. Adat masyarakat yang tidak mempraktikannya juga menjadi alasan kemakruhan ini.

Di kalangan madzhab Syafi'i, terdapat beberapa pendapat, pertama menganggap bahwa wanita wajib mengenakan cadar. Pendapat kedua menganggap bahwa memakai cadar adalah sunah atau dianjurkan. Dan, pendapat ketiga menyebutkan bahwa menggunakan cadar adalah khilaful awla, yaitu menyalahi yang utama, karena utamanya adalah tidak bercadar.