Liputan6.com, Jakarta Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental telah mengalami peningkatan yang signifikan akhir-akhir ini. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh kampanye dan upaya edukasi dari berbagai lembaga dan organisasi yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang betapa vitalnya menjaga kesehatan mental.
Selain itu, ketersediaan informasi dan sumber daya yang semakin meluas juga berperan besar dalam membantu banyak orang memahami kesehatan mental dan cara-cara untuk merawatnya. Tak hanya itu, pengaruh media sosial juga turut andil dalam meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental.
Baca Juga
Banyak individu berbagi pengalaman pribadi mereka terkait kesehatan mental, termasuk tantangan yang mereka hadapi dan upaya pemulihan yang mereka lakukan. Berbagi cerita ini membantu mengurangi stigma yang sering kali melekat pada masalah kesehatan mental dan mendorong orang lain untuk mencari perawatan serta dukungan yang mereka butuhkan.
Advertisement
Peningkatan kesadaran ini membawa dampak positif, di mana semakin banyak orang yang mulai mengenal berbagai istilah terkait kesehatan mental. Misalnya, istilah delusi dan halusinasi yang kerap dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental. Namun, meskipun demikian, masih ada beberapa orang yang sering salah mengartikan kedua istilah tersebut.
Padahal, delusi dan halusinasi memiliki makna yang berbeda. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, berikut ini adalah perbedaan antara delusi dan halusinasi yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber pada Selasa (20/08/2024).
Delusi disebut juga sebagai waham
Delusi atau waham adalah kondisi di mana seseorang mempercayai sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Waham sering kali menjadi gejala dari gangguan psikotik, seperti skizofrenia atau gangguan waham menetap. Berikut ini beberapa jenis waham yang umum dijumpai:
1. Waham kejar
Individu yang mengalami waham kejar percaya bahwa ada orang atau kelompok tertentu yang menguntit, mengawasi, atau merencanakan untuk mencelakainya. Mereka mungkin merasa paranoid, cemas, dan takut akan ancaman yang mereka yakini ada.
2. Waham somatik
Waham somatik terjadi ketika seseorang yakin bahwa dirinya menderita penyakit tertentu atau mengalami kecacatan di tubuhnya. Contohnya adalah keyakinan bahwa ada parasit yang menginfeksi tubuh atau bahwa tubuh mengeluarkan bau yang tidak sedap.
3. Waham erotomania
Penderita erotomania memiliki keyakinan kuat bahwa dirinya disukai oleh seseorang, meskipun orang tersebut tidak mengenal atau belum pernah bertemu dengan penderita. Biasanya, objek delusi ini adalah seseorang dengan status sosial yang lebih tinggi atau terkenal.
4. Waham hihilistik
Waham nihilistik adalah pemikiran keliru yang membuat seseorang percaya bahwa dirinya sudah meninggal dunia atau bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada artinya. Waham ini melibatkan keyakinan kuat bahwa dirinya atau dunia sekitarnya tidak nyata atau sudah berakhir.
5. Waham rujukan
Penderita waham rujukan mungkin merasa bahwa orang-orang di sekitarnya sedang berbicara tentang mereka atau memberikan isyarat tersembunyi yang ditujukan kepada mereka. Mereka mungkin juga merasa bahwa pesan-pesan dalam media massa atau acara televisi ditujukan secara khusus kepada mereka.
Terapi psikologis, seperti terapi perilaku kognitif dan terapi psikodinamika, dapat membantu seseorang yang mengalami waham. Terapi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi pola pikir yang keliru serta membantu orang tersebut mengembangkan strategi untuk mengelola waham yang dialami. Oleh karena itu, penting untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan mental untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan perawatan yang sesuai.
Advertisement
Halusinasi lebih ke pengalaman sensorik
Halusinasi adalah pengalaman sensorik yang terjadi ketika seseorang merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan. Hal ini dapat melibatkan salah satu atau beberapa indera, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, atau pengecapan. Berikut adalah beberapa jenis halusinasi yang umum dijumpai:
1. Halusinasi pendengaran
Halusinasi ini terjadi ketika seseorang mendengar suara-suara yang tidak ada, seperti percakapan, instruksi, musik, atau suara lain. Hal ini sering terjadi pada gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan bipolar, atau demensia.
2. Halusinasi visual
Dalam hal ini, seseorang melihat objek, pola visual, manusia, atau cahaya yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi visual dapat terjadi pada berbagai kondisi, termasuk gangguan mental dan penyakit fisik yang berkaitan dengan kelainan saraf.
3. Halusinasi penciuman
Seseorang mencium bau yang sebenarnya tidak ada di sekitarnya. Halusinasi penciuman dapat terjadi pada beberapa kondisi, seperti migrain, epilepsi, atau gangguan penciuman.
4. Halusinasi perabaan
Halusinasi ini melibatkan sensasi yang sebenarnya tidak ada, seperti sentuhan, getaran, atau sensasi lain pada tubuh. Hal ini dapat terjadi pada beberapa kondisi, termasuk gangguan saraf perifer atau gangguan sistem saraf pusat.
5. Halusinasi pengecapan
Seseorang merasakan sensasi rasa yang sebenarnya tidak ada pada lidahnya. Halusinasi pengecapan dapat terjadi pada beberapa kondisi, seperti gangguan penciuman atau gangguan sistem saraf pusat.
Penyebab halusinasi dapat bervariasi, mulai dari gangguan mental seperti skizofrenia, depresi, atau gangguan bipolar, hingga penyakit fisik seperti demensia, tumor otak, atau penggunaan obat-obatan tertentu. Oleh karena itu, penting untuk mencari evaluasi medis jika kamu mengalami halusinasi, karena hal ini bisa menjadi gejala dari kondisi yang membutuhkan perawatan.
Penanganan halusinasi biasanya melibatkan terapi psikologis, seperti terapi perilaku kognitif, yang dapat membantu seseorang dalam mengelola dan mengurangi dampak halusinasi. Selain itu, pengobatan medis mungkin juga diperlukan tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan halusinasi yang dialami.
Itulah perbedaan antara delusi dan halusinasi yang sering dikaitkan dengan kondisi kesehatan mental. Jika kamu mengalami gejala-gejala yang mengarah ke delusi maupun halusinasi, jangan melakukan diagnosa sendiri. Sebaiknya, datanglah ke profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater, agar bisa mendapatkan diagnosa dan penanganan yang tepat.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence