Liputan6.com, Jakarta Manusia bekerja setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, di era sekarang, hidup terasa semakin sulit dan berat sehingga beberapa orang terjebak dalam utang. Banyak dari mereka yang akhirnya melakukan segala cara, tanpa memandang kawan atau lawan, demi bertahan hidup.
Tidak jarang pula di temui orang-orang yang terpaksa berhutang karena situasi yang mendesak. Keadaan ini terus berulang hingga akhirnya uang terkumpul. Namun, di sisi lain, ada juga orang-orang yang berhutang namun tidak menghiraukan untuk membayar utangnya. Mereka berani menunda pembayaran utang padahal sebenarnya sudah mampu melakukannya.
Baca Juga
Dalam perspektif Islam, bagaimana hukum menunda pembayaran utang padahal sudah mampu? Apakah hal ini termasuk perbuatan dosa? Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (25/7/2024).
Advertisement
Syarat Penagihan Utang
Dalam pembahasan fikih muamalah, terdapat akad yang mengatur utang-piutang yang dikenal dengan akad qardh. Dalam akad ini, pihak yang memberikan hutang disebut sebagai muqridh, sedangkan pihak yang berhutang disebut sebagai muqtaridh.
Hukum asal dari memberikan hutang ini adalah sunnah, karena merupakan salah satu bentuk menolong orang lain dari kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat, Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya selama ia suka menolong saudaranya" (HR. Muslim).
Dalam akad qardh, mayoritas ulama sepakat bahwa tidak disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk pelunasan. Jika syarat tersebut disebutkan saat akad berlangsung, maka syarat tersebut otomatis gugur. Oleh karena itu, pihak yang memberikan hutang boleh menagih hutang sebelum jatuh tempo. Hal ini sebagaimana diutarakan dalam kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (33/128).
Syarat tempo hutang. Ulama berbeda pendapat dalam hal sahnya syarat jangka waktu dalam akad hutang piutang. Terdapat dua pendapat, salah satunya adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi'i, Hanbali, serta pendapat dari Imam al-Awza'i, Imam Ibn al-Mundzir, dan ulama lainnya, bahwa dalam utang piutang tidak diwajibkan adanya penentuan tempo pelunasan meskipun sudah disyaratkan dalam akad.
Oleh karena itu, pihak yang memberikan hutang boleh menagih sebelum jatuh tempo. Meskipun boleh menagih hutang sebelum jatuh tempo, sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub (halaman 274).
"Seandainya disyaratkan adanya tempo pelunasan, maka syarat tersebut menjadi sia-sia. Pihak yang memberikan hutang boleh menagih utangnya sebelum jatuh tempo, namun sebaiknya menagihnya sesuai dengan waktu yang disepakati."
Advertisement
Hukum Menunda Membayar Utang
Sebagai tambahan, jika seseorang yang memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya namun tidak melakukannya sebelum jatuh tempo, ia tidak dapat disebut sebagai penunda pelunasan hutang yang berdosa.
Kategori ini diperuntukkan bagi orang yang mampu membayar namun sengaja menunda pembayaran hutang setelah batas waktu yang ditentukan, seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa' (5/67).
Penjelasan hadis Nabi yang menyatakan "Penundaan bayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman" mengacu pada tindakan menghindari pembayaran hutang yang sebenarnya harus dilunasi. Oleh karena itu, jika pembayaran hutang tersebut masih belum jatuh tempo, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai penundaan pelunasan hutang.
Barulah jika tindakan tersebut dilakukan setelah jatuh tempo, maka dapat disebut sebagai perbuatan menunda-nunda. Sekian penjelasan ini, dan hanya Allah yang lebih mengetahui.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence