Liputan6.com, Jakarta Apa itu golput pilkada? Istilah ini sering kita dengar dalam konteks pemilihan umum, terutama ketika berbicara tentang sikap seseorang yang memilih untuk tidak memberikan hak suaranya. Namun, apa itu golput pilkada sebenarnya? Bagaimana asal-usul istilah ini bisa menjadi begitu populer di kalangan masyarakat?
Ketika membahas mengenai golput, banyak orang bertanya-tanya tentang dampaknya terhadap proses demokrasi. Apa itu golput pilkada, dan mengapa fenomena ini bisa terjadi dalam setiap pemilihan kepala daerah? Seiring dengan meningkatnya kesadaran politik, pemahaman tentang golput menjadi hal yang penting untuk dipelajari.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri lebih dalam mengenai golput pilkada dan sejarah di balik istilah ini. Apa itu golput pilkada yang membuatnya menjadi topik perbincangan hangat? Penting untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang sikap tidak memilih yang seringkali menjadi perhatian banyak pihak.
Advertisement
Untuk informasi lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum apa itu golput pilkada dan sejarahnya, pada Selasa (30/7).
Apa Itu Golput Pilkada?
Istilah 'golput' merupakan akronim dari 'golongan putih' yang merujuk pada kelompok pemilih yang memilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilihan umum (Pemilu). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), golput adalah istilah untuk menyebut sikap seseorang yang tidak memilih pada saat pemungutan suara. Sementara itu, situs Rumah Pemilu menjelaskan bahwa golput merujuk pada sikap tidak memilih pada pilihan surat suara di tempat pemungutan suara (TPS).
Secara umum, golput menggambarkan sikap ketidakpedulian atau ketidakinginan seseorang untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Meskipun golput sering muncul dalam setiap Pemilu, keputusan untuk golput tidak selalu didorong oleh idealisme tertentu. Kadang-kadang, situasi atau kondisi yang tidak mendukung membuat seseorang memilih untuk tidak mencoblos. Dalam sejarah Pemilu di Indonesia, terlihat bahwa angka golput mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Misalnya, pada Pemilu 2014, angka golput mencapai 30,22 persen atau sebanyak 58,61 juta orang dari total pemilih terdaftar. Namun, pada Pemilu 2019, angka tersebut menurun menjadi 18,02 persen atau 34,75 juta orang.
Melihat tren terkini, survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa sekitar 11,8 persen responden memilih golput pada Pemilu 2024. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengungkapkan bahwa anak muda mendominasi 56,4 persen dari total pemilih dalam Pemilu 2024. Fenomena golput dalam konteks Pilkada (pemilihan kepala daerah) menunjukkan adanya variasi dalam partisipasi pemilih dan memberikan gambaran tentang dinamika politik yang sedang berlangsung.Â
Advertisement
Sejarah Golput
Fenomena golput, atau golongan putih, pertama kali muncul pada awal tahun 1970-an sebagai reaksi terhadap kondisi politik yang tidak sehat menjelang Pemilu 1971. Istilah ini diperkenalkan oleh sekelompok aktivis yang dikenal sebagai Aktivis 66, termasuk Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo, dan Adnan Buyung Nasution. Mereka adalah pelopor gerakan golput yang lahir sebagai bentuk protes terhadap kecurangan pemerintah dan pelanggaran peraturan pemilu.Â
Pada 28 Mei 1971, golput secara resmi dideklarasikan sebagai bentuk penolakan terhadap pelanggaran peraturan pemilu dan perlakuan istimewa pemerintah terhadap Golkar. Gerakan ini juga merupakan respons terhadap kesenjangan antara tujuan demokrasi yang dicita-citakan oleh Orde Baru dan realitas pemilu yang terjadi.
Gerakan golput tidak hanya terbatas pada periode awal kemunculannya. Selama Pemilu 1977, 1982, 1987, dan 1992, golput terus digaungkan sebagai bentuk protes terhadap kepemimpinan Orde Baru. Pada Pemilu 1977, golput dan gerakan protes terus berlanjut sebagai respons terhadap sistem politik yang dianggap tidak demokratis. Di Pemilu 1982, muncul konflik politik di kalangan elite, dengan ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru memunculkan kelompok oposisi yang terdiri dari jenderal dan politisi sipil.Â
Gerakan mahasiswa pun dibekukan, dan normalisasi kehidupan kampus diterapkan. Pada Pemilu 1987, isu regenerasi kepemimpinan, masalah perburuhan, konflik tanah, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan menjadi sorotan. Pemilu 1992 pun digelar di tengah protes terhadap kebijakan Orde Baru dan monopoli bisnis keluarga Soeharto.
Pada Pemilu 1997, fenomena golput mencapai puncaknya dengan survei menunjukkan 64 persen responden memilih untuk golput. Ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu dan dugaan adanya rekayasa pemerintah menjadi alasan utama. Aksi mahasiswa yang marak menolak Pemilu 1997 yang dianggap tidak jujur dan adil, memunculkan gerakan reformasi yang pada akhirnya berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998.Â
Pada Pemilu 1999, pasca-reformasi, golput masih ada dengan angka mencapai 10,21 persen, menunjukkan bahwa masyarakat bebas menentukan pilihannya termasuk tidak memilih. Meskipun era Reformasi membuka saluran aspirasi yang lebih luas, beberapa pendukung golput menilai pemerintah di masa Gus Dur dan Megawati belum mampu memenuhi amanat reformasi dan memperbaiki kondisi ekonomi yang terpuruk. Mereka juga mengkritik pemerintah yang gagal membangun kehidupan politik yang demokratis dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Penyebab Golput
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat memilih untuk golput saat pilkada. Beberapa penyebab utama golput, seperti yang dikutip dari laman Pusat Antikorupsi KPK, adalah sebagai berikut:
1. Apatis terhadap Politik
Salah satu penyebab utama golput adalah apatisme masyarakat terhadap politik. Banyak orang yang merasa tidak peduli dengan urusan politik dan tidak mencari tahu tentang apa itu golput atau dampak dari memilih golput. Rasa apatis ini seringkali disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kinerja para pemimpin dan wakil rakyat yang dianggap tidak membawa perubahan positif. Ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan adanya praktek korupsi di kalangan pemimpin membuat masyarakat merasa bahwa pemilihan umum tidak akan berdampak signifikan. Padahal, memilih untuk golput bukanlah solusi untuk masalah tersebut. Sebaliknya, dengan mencoblos, masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang dianggap berintegritas dan berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi.
2. Tidak Tahu Pemilu
Meskipun era media massa dan media sosial memberikan informasi yang melimpah, tidak semua orang tetap mengetahui detail terkait Pemilu, termasuk tanggal pelaksanaan. Sebagai contoh, hasil survei LSI pada Pemilu 2019 menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang tidak mengetahui kapan pemilihan umum dilaksanakan. Ketidaktahuan ini berpotensi menyebabkan masyarakat memilih golput. Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas, memahami jadwal pemilihan, dan mengetahui calon pemimpin yang akan mereka pilih. Masyarakat juga perlu waspada terhadap praktik politik seperti serangan fajar dan tidak memilih calon atau partai politik yang menggunakan uang sebagai alat untuk memperoleh suara.
3. Tidak Ada Fasilitas
Penyandang disabilitas juga berhak memberikan suara saat Pemilu, seperti halnya warga negara lainnya. Namun, keterbatasan fasilitas yang ada sering kali menjadi kendala bagi mereka untuk mencoblos. Kurangnya aksesibilitas di tempat pemungutan suara dan fasilitas yang tidak memadai dapat menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Hal ini menambah alasan mengapa beberapa individu mungkin memilih untuk golput, karena mereka merasa tidak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk menjalankan hak pilih mereka. Penting untuk memastikan bahwa semua pemilih, termasuk penyandang disabilitas, memiliki akses yang sama dan memadai untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan.
Advertisement