Sukses

Sejarah Pilkada di Indonesia, Dari Sistem Tak Langsung Hingga Langsung

Pilkada merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem demokrasi dan pemerintahan di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Sejarah Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang demokrasi di tanah air. Sebelum era reformasi, pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung dan sering kali dikuasai oleh kekuatan politik tertentu. Namun, situasi ini mulai berubah setelah reformasi, di mana membuka jalan bagi pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan.

Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005, menandai momen penting dalam sistem pemilihan kepala daerah. Penyelenggaraan Pilkada yang dilaksanakan pada bulan Juni ini menjadi tanda dari penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan wewenang lebih besar kepada rakyat, untuk menentukan pemimpin daerah mereka. 

Melalui pelaksanaan Pilkada langsung, maka masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang mereka anggap paling layak. Hal ini tidak hanya memperkuat demokrasi lokal, tetapi juga mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan daerah. Sejak saat itu, sejarah Pilkada terus berkembang dan menjadi bagian integral dari sistem politik di Indonesia.

Meskipun perjalanan ini tidak lepas dari tantangan, termasuk praktik politik uang dan konflik, Pilkada tetap menjadi simbol harapan bagi masyarakat. Berikut ini sejarah Pilkada dan dasar hukum yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (30/7/2024). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sejarah Pilkada dan Perubahan Undang-Undangnya

Pasca kemerdekaan Indonesia, mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali diatur oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah di tingkat provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, sementara untuk tingkat kabupaten, Kepala Daerah diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten. Mekanisme ini mengharuskan adanya minimal dua dan maksimal empat calon untuk dipilih.

Seiring berjalannya waktu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah memperkenalkan perubahan, dengan menetapkan bahwa Kepala Daerah dipilih langsung oleh DPRD, dengan pengesahan oleh Presiden untuk tingkat provinsi dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk tingkat kabupaten/kota. Perubahan signifikan lainnya datang dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang menggantikan undang-undang sebelumnya, dan memperkenalkan sistem di mana Kepala Daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari calon-calon yang telah disepakati bersama, antara DPRD dan pemerintah pusat atau gubernur.

Era reformasi membawa perubahan besar dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan bahwa pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kemudian, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan, menandai pertama kalinya dalam sejarah Indonesia bahwa pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat.

Namun, sepuluh tahun kemudian, Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 mengembalikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya. Penolakan masif dari masyarakat menyebabkan undang-undang tersebut dicabut, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 dikeluarkan dan disahkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, mengembalikan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya secara langsung oleh rakyat. Hingga kini, Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 yang mengalami beberapa kali perubahan, terakhir melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, tetap mengamanatkan bahwa pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya dilakukan secara langsung oleh rakyat. Upaya ini dilakukan untuk memastikan proses pemilihan yang lebih transparan, adil, dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia.

3 dari 4 halaman

Dasar Hukum Pilkada

Dasar hukum untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang dijadwalkan serentak pada tahun 2024 berakar dari frasa "serentak" dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Frasa ini merupakan implementasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. MK berpendapat bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak akan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, menciptakan sinergi antara berbagai lembaga negara, dan meminimalkan fragmentasi politik yang mungkin terjadi akibat pemilihan yang terpisah-pisah.

Selain itu, ketentuan khusus mengenai pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun 2024 diatur dalam Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal ini menetapkan bahwa pemungutan suara secara serentak untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia akan dilaksanakan pada bulan November 2024. Ketentuan ini bertujuan untuk menyederhanakan proses pemilihan dan memastikan konsistensi dalam pelaksanaan Pilkada di seluruh tanah air.

Dasar hukum untuk Pilkada 2024 juga bertujuan, untuk menciptakan efisiensi dan konsistensi dalam proses pemilihan, dengan mengurangi beban administrasi yang sering kali terjadi akibat pemilihan yang dilaksanakan secara terpisah. Melalui pelaksanaan pemilihan secara serentak, diharapkan bahwa hasil pemilihan dapat memperoleh legitimasi yang lebih kuat dan mengurangi kemungkinan ketidaksesuaian waktu antara pemilihan di tingkat lokal dan nasional.

 

4 dari 4 halaman

Alasan Pelaksanaan Pilkada Serentak di Tahun 2024

Pelaksanaan Pilkada 2024 secara serentak dirancang, untuk mencapai sejumlah tujuan strategis yang berkaitan dengan stabilitas pemerintahan dan efisiensi proses demokrasi di Indonesia. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari menjelaskan bahwa salah satu tujuan utama dari pemilihan ini adalah untuk mengisi berbagai jabatan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah secara bersamaan. Pemilu tidak hanya mencakup pemilihan presiden, anggota DPR, dan anggota DPD, tetapi juga pemilihan kepala daerah, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dengan melaksanakan pemilihan ini secara serentak, diharapkan seluruh elemen pemerintahan dapat terisi dan mulai menjalankan tugas mereka pada waktu yang bersamaan, sehingga menciptakan kesinambungan dan koordinasi yang lebih baik dalam pemerintahan.

Menyerentakkan Pemilu dan Pilkada dalam satu tahun bertujuan untuk menghasilkan pemerintahan yang lebih stabil. Konstelasi politik yang baru, akan memandu lima tahun ke depan dan dibentuk secara bersamaan, sehingga seluruh level pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun daerah, akan memulai masa tugasnya pada waktu yang sama. Langkah ini penting untuk mengurangi potensi ketidakstabilan politik yang dapat timbul, akibat adanya perbedaan waktu pelaksanaan pemilihan yang dapat menimbulkan kekosongan kekuasaan, atau ketidaksesuaian kebijakan antar tingkat pemerintahan.

Pelaksanaan Pilkada serentak juga dirancang untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilihan itu sendiri. Dengan menggabungkan pemilu dan pilkada dalam satu periode waktu, beban administrasi dan logistik dapat dikurangi secara signifikan. Proses koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat, seperti KPU, Bawaslu, dan pihak-pihak terkait lainnya, menjadi lebih mudah dan terintegrasi, menghindari tumpang tindih dan duplikasi sumber daya yang sering terjadi jika pemilihan dilakukan terpisah. Keuntungan dari Pilkada serentak ini tidak hanya terbatas pada efisiensi operasional, tetapi juga mencakup manfaat ekonomis. Dengan mengurangi jumlah pemilihan yang harus dikelola dan dibiayai dalam periode yang berbeda, biaya total yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan dapat ditekan. Hal ini berkontribusi pada pengelolaan anggaran yang lebih baik dan pemanfaatan sumber daya yang lebih efektif.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.