Sukses

Kisah Hidup William James Sidis, Punya IQ Lebih Tinggi dari Einstein

Saat memasuki usia dewasa, William James Sidis memilih untuk menjauh dari perhatian publik.

Liputan6.com, Jakarta Saat berbicara tentang kejeniusan dan IQ tinggi, nama Albert Einstein sering kali muncul di benak kita. Namun, ada satu nama lain yang mungkin kurang dikenal tetapi memiliki kecerdasan lebih tinggi dari Einstein. William James Sidis yang lahir di New York City pada tahun 1898, merupakan anak ajaib yang IQ-nya diperkirakan 50 hingga 100 poin lebih tinggi dari Einstein.

Sejak usia dini, William James Sidis sudah menunjukkan kemampuan luar biasa. Bayangkan saja, ia bisa membaca koran New York Times sebelum usianya mencapai dua tahun. Pada usia enam tahun, Sidis sudah menguasai berbagai bahasa, seperti Inggris, Latin, Prancis, Jerman, Rusia, Ibrani, Turki, dan Armenia. Pencapaiannya yang paling mencolok adalah saat ia diterima di Universitas Harvard pada usia sebelas tahun, menjadikannya salah satu mahasiswa termuda dalam sejarah kampus tersebut.

Namun, saat memasuki usia dewasa, William James Sidis memilih untuk menjauh dari perhatian publik. Menurut penulis biografi Sidis, Amy Wallace, Sidis ingin menjalani kehidupan yang sederhana dan jauh dari sorotan. Ia tampaknya mencari ketenangan di luar panggung utama kehidupan publik. Berikut ulasan lebih lanjut tentang kisah hidup William James Sidis yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (14/8/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kecerdasan Tampak Sejak Bayi

William James Sidis diperkirakan memiliki IQ antara 250 hingga 300. Orang tua Sidis berperan besar dalam mendukung kecerdasan anak mereka. Sejak usia dini, tanda-tanda kecerdasan Sidis sudah terlihat jelas. Pada ulang tahunnya yang pertama, ibunya melihat bahwa William sudah bisa menulis surat sendiri, kemudian saat berusia 18 bulan Sidis sudah bisa membaca koran The New York Times. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kecerdasan Sidis melampaui usia normal anak seusianya.

Ketika Sidis berusia enam tahun, ia sudah mulai mempelajari berbagai buku, termasuk karya-karya Aristoteles. Bahkan ia juga telah menyelesaikan buku pertamanya pada usia tersebut. Kecerdasan Sidis tidak hanya terbatas pada matematika; ia juga sangat mahir dalam bahasa. Pada usia delapan tahun, ia sudah belajar sendiri bahasa Latin, Yunani, Prancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Menariknya, ia juga menciptakan bahasa ciptaannya sendiri yang disebut "Vendergood."

Orang tua Sidis, Boris dan Sarah, yang juga termasuk dalam kategori jenius. Ayahnya adalah seorang psikolog berpendidikan tinggi dengan empat gelar dari Harvard dan ibunya seorang dokter yang sangat mendukung perkembangan anak mereka. Mereka menghabiskan tabungan mereka untuk membeli kamus, buku, dan alat belajar lainnya untuk mendukung potensi Sidis yang luar biasa.

Meskipun kecerdasan Sidis sangat menonjol, ia menghadapi tantangan dalam sistem pendidikan konvensional. Ayahnya mendaftarkan Sidis ke Harvard saat ia baru berusia sembilan tahun, namun permohonan tersebut ditolak karena usia Sidis yang terlalu muda. Selama masa tunggu, Sidis terus belajar di sekolah lamanya dan menulis sebuah novel dalam bahasa Prancis. Akhirnya, pada tahun 1909, Sidis diterima di Harvard sebagai mahasiswa termuda dalam sejarah universitas tersebut.

3 dari 4 halaman

Masuk Harvard di Usia 11 Tahun

William James Sidis masuk ke Universitas Harvard pada usia yang sangat muda. William sebenarnya diterima di Harvard pada usia 9 tahun, tetapi pihak kampus meminta dia untuk menunggu hingga usianya mencapai 11 tahun sebelum memulai studinya. Pada akhirnya, Sidis lulus dari Harvard pada usia 16 tahun dengan predikat cum laude. Namun, pengalaman Sidis di Harvard tidak sepenuhnya mulus atau penuh dengan kebanggaan.

Menurut penulis biografi Sidis, Amy Wallace, hari-hari Sidis di Harvard dipenuhi dengan kesulitan. Ia menjadi bahan ejekan dari teman-teman sekelasnya. Sidis, yang hanya ingin fokus pada studi dan menghindari perhatian yang tidak diinginkan, merasa sangat tidak nyaman. Keinginan terbesarnya adalah untuk menjauh dari dunia akademis dan menjalani kehidupan yang lebih sederhana, seperti pekerjaan biasa, daripada terus menjadi pusat perhatian di lingkungan akademis.

Setelah lulus dari Harvard, Sidis mengalami masa transisi yang penuh gejolak. Ia mengambil pekerjaan sebagai profesor matematika untuk waktu yang singkat, kemudian berpindah dari kota ke kota, dari pekerjaan ke pekerjaan, sering menggunakan nama samaran untuk menjaga privasinya. 

Selama periode ini, Sidis juga menulis sejumlah buku, termasuk karya monumental tentang sejarah Amerika Serikat dan buku tentang tiket transfer trem, yang merupakan salah satu minatnya. Namun, banyak dari karya-karya ini tidak pernah dipublikasikan secara luas, dan Sidis sering menggunakan delapan nama samaran atau lebih untuk menerbitkan karyanya.

Menurut Wallace, banyak buku yang mungkin telah ditulis oleh Sidis tetap tersembunyi di balik nama-nama samaran, membuat kita hanya bisa berspekulasi tentang seberapa banyak karya yang benar-benar telah dia hasilkan.

4 dari 4 halaman

Menderita dan Kesepian

Meskipun dikenal sebagai salah satu anak ajaib dalam sejarah, hidup William James Sidis sebagai orang dewasa dipenuhi dengan kesulitan dan kesedihan. Setelah lulus dari Harvard, Sidis mengalami masa-masa sulit. Ia merasa terasing dan kesepian di universitas. Banyak teman sekelasnya menganggapnya aneh, dan dia tidak memiliki banyak teman. 

Media mengangkat kisahnya sebagai anak ajaib, yang semakin memperburuk situasi karena Sidis sangat tidak ingin menjadi pusat perhatian. Berita tentangnya seringkali menyoroti kecerdasan luar biasanya dengan cara yang merendahkan, menciptakan citra publik yang sangat tidak diinginkan oleh Sidis.

Kehidupan William James Sidis sebagai orang dewasa sangat berbeda dari harapan yang mungkin dimiliki orang-orang di masa mudanya. Dalam tahun-tahun ini, Sidis mengalami banyak kesulitan pribadi, termasuk ketidakberuntungan dalam mencari teman sejati dan mengalami pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman.

Pada tahun 1924, Sidis menjadi berita utama lagi ketika ditemukan bekerja dengan upah $23 per minggu. Berita ini semakin mengejek kecerdasannya dan menggambarkannya sebagai seseorang yang tidak lagi mampu melakukan apa yang ia lakukan sebagai anak. Sidis juga mengalami kesulitan emosional, termasuk penolakan untuk menghadiri pemakaman ayahnya, Boris, pada tahun 1923, yang menunjukkan betapa jauh ia terasing dari keluarganya.

Selain itu, Sidis terlibat dalam aktivisme dan menjadi penentang Perang Dunia I, yang mengakibatkan penangkapannya pada tahun 1919 selama protes di Boston. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 18 bulan, tetapi orang tuanya berhasil mengeluarkannya dan menempatkannya di sanatorium mereka selama dua tahun.

Kehidupan Sidis berakhir dengan tragis pada tahun 1944, ketika ia meninggal dunia akibat pendarahan otak pada usia 46 tahun. Menariknya, ayahnya juga meninggal dengan kondisi yang sama. Meskipun Sidis memiliki potensi yang luar biasa dan menunjukkan bakat yang sangat besar sejak usia dini, hidupnya sebagai orang dewasa adalah gambaran dari penderitaan dan isolasi, yang mencerminkan betapa sulitnya menjalani kehidupan dengan kejeniusan yang begitu besar namun terputus dari koneksi emosional dan sosial.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.