Liputan6.com, Jakarta Dalam beberapa tahun terakhir, muncul sebuah fenomena yang banyak diperbincangkan, terutama di kalangan generasi muda, yaitu "Marriage is Scary." Fenomena ini mencerminkan ketakutan dan keraguan yang dialami oleh generasi muda terhadap pernikahan. Bagi sebagian orang, pernikahan kini tidak lagi dipandang sebagai tujuan hidup yang harus diwujudkan, melainkan sebagai keputusan penting yang memerlukan pertimbangan yang mendalam.
Rasa takut terhadap pernikahan ini dapat dipicu oleh berbagai alasan, mulai dari kekhawatiran akan komitmen jangka panjang hingga ketidakpastian dalam aspek keuangan. Selain itu, tekanan sosial untuk menikah, khususnya di usia tertentu, sering kali menjadikan pernikahan terasa lebih sebagai beban daripada sebuah berkah.
Baca Juga
Di bawah ini akan dipaparkan secara lebih mendalam mengenai tren Marriage is Scary, mulai dari alasan di balik kepopulerannya, hingga serba-serbi menarik tentang mengapa pernikahan yang dianggap menakutkan di masyarakat. Berikut penjelasan selengkapnya sebagaimana dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber pada Rabu (21/8/2024).
Advertisement
1. Angka Perceraian yang Mencerminkan Kekhawatiran
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2023, terdapat 463.654 kasus perceraian di Indonesia, yang menunjukkan penurunan sebesar 10,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatat 516.344 kasus. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan, tetap saja jumlah perceraian yang terjadi cukup tinggi, menandakan bahwa banyak pasangan di Indonesia memilih perceraian sebagai solusi ketika menghadapi masalah dalam hubungan mereka.
Menariknya, 76% dari kasus perceraian tersebut merupakan cerai gugat, di mana istri yang mengambil langkah untuk mengajukan perceraian. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perempuan di Indonesia merasa tidak puas atau tidak nyaman dalam pernikahan mereka, sehingga memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut.
Advertisement
2. Mengapa Pernikahan Menjadi Menakutkan?
Ada berbagai faktor yang membuat banyak orang merasa takut terhadap pernikahan. Salah satu faktor utama adalah kekhawatiran akan kegagalan. Tingginya tingkat perceraian, seperti yang ditunjukkan oleh data BPS, menjadi salah satu alasan mengapa banyak individu, terutama dari kalangan generasi muda, merasa ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Mereka merasa cemas bahwa pernikahan yang dimulai dengan penuh harapan dapat berakhir dengan kekecewaan dan penyesalan.
Di samping itu, perubahan dalam dinamika sosial dan ekonomi juga berkontribusi pada rasa takut ini. Generasi muda saat ini lebih memprioritaskan pengembangan diri, karier, dan kebebasan pribadi. Mereka memandang pernikahan sebagai suatu komitmen yang dapat menghalangi pencapaian tujuan-tujuan pribadi yang telah mereka tetapkan.
Selain itu, bagi sebagian orang, pernikahan dianggap sebagai suatu pengorbanan yang besar, baik dari segi finansial maupun emosional. Tanggung jawab untuk membiayai kehidupan bersama, mengatur rumah tangga, dan mungkin juga membesarkan anak-anak, semuanya dianggap sebagai beban yang tidak mudah. Belum lagi, ada kekhawatiran akan kehilangan identitas diri atau kebebasan yang selama ini dinikmati.
3. Dampak Sosial dan Pandangan Baru terhadap Pernikahan
Fenomena "Marriage is Scary" tidak hanya memengaruhi statistik pernikahan dan perceraian, tetapi juga mengubah persepsi masyarakat terhadap institusi pernikahan itu sendiri. Banyak individu kini lebih memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali. Mereka lebih fokus pada kebahagiaan pribadi dan stabilitas emosional mereka.
Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa pernikahan sepenuhnya kehilangan maknanya. Masih ada banyak pasangan yang menjalani pernikahan dengan komitmen yang kuat dan berhasil menghadapi berbagai rintangan. Bagi mereka yang siap, pernikahan tetap dapat menjadi perjalanan yang penuh makna dan kebahagiaan.
Sangat penting bagi kamu untuk memahami dan mendekati isu pernikahan dengan sudut pandang yang lebih terbuka dan inklusif. Setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk keputusan untuk menikah atau tidak. Hal yang paling penting adalah menjaga keseimbangan antara harapan, kenyataan, dan kebahagiaan pribadi.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement