Sukses

Resesi Seksual Adalah Penurunan Aktvitas Seksual pada Suatu Negara, Ini Penyebabnya

Resesi seksual adalah fenomena sosial yang ditandai dengan penurunan aktivitas seksual dalam suatu populasi, terutama di kalangan generasi muda.

Liputan6.com, Jakarta Resesi seksual adalah fenomena sosial yang ditandai dengan penurunan aktivitas seksual dalam suatu populasi, terutama di kalangan generasi muda. Istilah ini muncul sebagai respons terhadap tren yang diamati di berbagai negara maju, di mana frekuensi hubungan seksual dan tingkat keintiman fisik dilaporkan mengalami penurunan signifikan. Fenomena ini menarik perhatian para peneliti, sosiolog, dan psikolog, yang berupaya memahami faktor-faktor kompleks yang berkontribusi terhadap perubahan perilaku seksual ini.

Berbagai studi menunjukkan bahwa resesi seksual dapat disebabkan oleh beragam faktor, termasuk perubahan gaya hidup, peningkatan stres, dan pergeseran prioritas personal. Penggunaan teknologi yang berlebihan, terutama media sosial dan hiburan digital, juga dianggap berperan dalam mengurangi interaksi fisik dan intimasi antar individu. Selain itu, faktor-faktor seperti perubahan norma sosial, peningkatan fokus pada karier, dan ketidakpastian ekonomi juga diyakini berkontribusi terhadap fenomena ini.

Agar lebih paham, berikut ini Liputan6.com ulas mengenai pengertian resesi seksual dan penyebabnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (4/9/2024).

2 dari 3 halaman

Pengertian Resesi Seksual

Mengutip jurnal The Atlantic, istilah 'resesi seks' merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara sehingga mempengaruhi tingkat kelahiran yang rendah. Implikasi jangka panjang dari fenomena ini dapat sangat signifikan, berpotensi menyebabkan kontraksi demografis yang serius akibat kombinasi dari rendahnya angka pernikahan, menurunnya minat terhadap hubungan seksual, dan berkurangnya keinginan untuk memiliki keturunan.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap resesi seksual ini sangat beragam dan kompleks, meliputi aspek-aspek seperti tekanan ekonomi, perubahan prioritas hidup, meningkatnya fokus pada karier, serta transformasi dalam dinamika sosial dan hubungan interpersonal di era digital.

Menariknya, fenomena resesi seksual tidak terbatas pada satu wilayah geografis atau budaya tertentu. Meskipun China sering menjadi sorotan karena skala dan kecepatan perubahan demografisnya, tren serupa juga teramati di berbagai negara maju lainnya, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa.

Setiap negara menghadapi variasi unik dari tantangan ini, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang spesifik. Misalnya, di Jepang, fenomena ini terkait erat dengan konsep 'herbivore men' atau pria yang kurang tertarik pada hubungan romantis dan seksual, sementara di negara-negara Barat, hal ini sering dikaitkan dengan perubahan prioritas generasi milenial dan Gen Z.

Konsekuensi dari resesi seksual melampaui sekadar masalah demografi; fenomena ini memiliki potensi untuk mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan politik suatu negara. Dari perspektif ekonomi, penurunan populasi dapat mengakibatkan berkurangnya angkatan kerja, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Secara sosial, perubahan dalam struktur keluarga dan hubungan interpersonal dapat mempengaruhi sistem dukungan tradisional dan mengubah dinamika masyarakat. Dalam konteks politik, pergeseran demografi dapat mempengaruhi kebijakan publik, misalnya dalam hal sistem pensiun, perawatan kesehatan, dan imigrasi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang fenomena resesi seksual dan upaya untuk mengatasi tantangannya menjadi semakin penting bagi pembuat kebijakan dan masyarakat secara keseluruhan.

3 dari 3 halaman

Penyebab Terjadinya Resesi Seksual

Masih dari sumber yang sama, berikut ini terdapat beberapa penyebab terjadinya resesi seksual, yakni:

1. Menemukan Kesenangan dengan Cara Lain

Salah satu faktor signifikan yang berkontribusi terhadap fenomena resesi seksual adalah evolusi cara manusia modern dalam mencari dan memperoleh kesenangan. Di era digital ini, individu memiliki akses yang hampir tak terbatas terhadap berbagai bentuk hiburan dan stimulasi yang tidak melibatkan interaksi seksual langsung dengan pasangan. Perkembangan teknologi telah membuka pintu bagi beragam alternatif untuk memuaskan dorongan seksual, mulai dari konten pornografi yang mudah diakses hingga alat bantu seksual canggih yang semakin populer.

Statistik menunjukkan pergeseran dramatis dalam perilaku seksual mandiri. Berdasarkan data yang dikumpulkan antara tahun 1992 dan 1994, terjadi peningkatan substansial dalam frekuensi masturbasi di kalangan penduduk Amerika.

Persentase pria yang melaporkan aktivitas masturbasi dalam periode waktu tertentu melonjak dua kali lipat, mencapai 54 persen. Lebih mencolok lagi, jumlah wanita yang terlibat dalam praktik ini meningkat lebih dari tiga kali lipat, menjadi 26 persen. Tren ini mencerminkan perubahan sikap terhadap seksualitas dan kepuasan diri.

Fenomena ini tidak terbatas pada Amerika Serikat saja. Di Jepang, misalnya, terjadi pergeseran persepsi tentang seks di kalangan generasi muda, seperti yang dilaporkan oleh The Economist. Beberapa kaum muda Jepang memandang aktivitas seksual sebagai "mendokusai" atau "melelahkan", menggambarkan perubahan prioritas dan nilai dalam masyarakat modern. Sebagai respons terhadap perubahan ini, muncul inovasi sosial yang unik seperti toko "onakura", di mana pelanggan dapat melakukan masturbasi di hadapan karyawan wanita, mencerminkan adaptasi budaya terhadap perubahan sikap seksual.

2. Persepsi Negatif terhadap Seks

Faktor lain yang berkontribusi terhadap resesi seksual adalah berkembangnya persepsi negatif tentang hubungan seksual itu sendiri. Beberapa individu, terutama di kalangan generasi muda, mulai memandang seks sebagai aktivitas yang berpotensi menyakitkan, baik secara fisik maupun emosional. Persepsi ini dapat berakar dari berbagai sumber, termasuk pengalaman negatif sebelumnya, kurangnya pendidikan seks yang komprehensif, atau paparan terhadap representasi yang tidak realistis tentang seks di media.

3. Masalah Ekonomi

Kondisi ekonomi memainkan peran krusial dalam membentuk perilaku seksual masyarakat. Studi menunjukkan korelasi antara status ekonomi dan aktivitas seksual, di mana individu dengan pendapatan lebih rendah atau yang mengalami pengangguran cenderung kurang aktif secara seksual. Fenomena ini tidak terbatas pada kelompok tertentu; mahasiswa dan pelajar juga termasuk dalam kategori yang mengalami penurunan aktivitas seksual, mungkin karena fokus pada pendidikan dan ketidakpastian finansial.

4. Tingkat Pernikahan yang Rendah

Penurunan tingkat pernikahan menjadi indikator penting dalam konteks resesi seksual. Di banyak negara maju, tren menunda pernikahan atau memilih untuk tidak menikah sama sekali semakin meningkat.

Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk prioritas karir, perubahan nilai sosial, dan ketidakpastian ekonomi. Mengingat pernikahan tradisional sering diasosiasikan dengan aktivitas seksual yang lebih teratur, penurunan angka pernikahan secara langsung berdampak pada frekuensi hubungan seksual dalam populasi.

5. Tekanan Pekerjaan dan Kelelahan

Dalam masyarakat modern yang semakin kompetitif, stres kerja dan kelelahan kronis muncul sebagai faktor signifikan yang berkontribusi terhadap resesi seksual. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, jam kerja yang panjang, dan keseimbangan hidup-kerja yang buruk seringkali menguras energi fisik dan mental individu.

Akibatnya, banyak orang menemukan diri mereka terlalu lelah atau tidak memiliki mood yang tepat untuk terlibat dalam aktivitas seksual setelah hari kerja yang melelahkan. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi frekuensi hubungan seksual, tetapi juga kualitasnya, karena stres dan kelelahan dapat mengurangi libido dan kepuasan seksual secara keseluruhan.

Â