Sukses

Puncak Mahameru di Pulau Jawa, Simak Legenda, Topografi dan Iklimnya

Mahameru adalah puncak Gunung Semeru.

Liputan6.com, Jakarta Mahameru merupakan sebutan sakral untuk puncak tertinggi Gunung Semeru. Terletak di Jawa Timur, Indonesia, Mahameru berdiri megah di ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut, menjadikannya titik tertinggi di Pulau Jawa. Nama ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Gunung Agung", mencerminkan keagungan dan kesakralan yang telah lama dilekatkan masyarakat terhadap gunung berapi aktif ini.

Bagi masyarakat Jawa kuno, Mahameru dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Mitologi Hindu menyebutkan bahwa Gunung Semeru adalah pecahan dari Gunung Meru yang dipindahkan dari India ke Jawa oleh para dewa. Kepercayaan ini menjadikan Mahameru bukan sekadar destinasi pendakian, melainkan juga situs spiritual yang menyimpan banyak cerita mistis dan legenda yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Perjalanan menuju Mahameru adalah sebuah pengalaman yang menantang sekaligus memukau. Para pendaki harus melalui berbagai ekosistem, mulai dari hutan tropis yang rimbun hingga padang savana yang luas, sebelum akhirnya mencapai kawasan vulkanik yang gersang di dekat puncak. Meskipun keindahannya tak terbantahkan, Mahameru juga mengingatkan kita akan kekuatan alam yang dahsyat.

Sebagai gunung berapi yang masih aktif, Semeru secara berkala mengeluarkan semburan abu dan asap dari kawahnya, menciptakan pemandangan yang menakjubkan sekaligus mengingatkan akan bahaya yang selalu mengintai. Fenomena ini yang oleh penduduk lokal disebut "Jonggring Saloko", menambah daya tarik sekaligus misteri Mahameru.

Berikut ini legenda seputar Mahameru yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (10/9/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mengenal Mahameru, Puncak dari Gunung Semeru

Mahameru adalah nama yang dikenal luas sebagai puncak Gunung Semeru, memiliki ketinggian sekitar 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dengan ketinggian ini, Mahameru menjadi puncak tertinggi di Pulau Jawa dan salah satu gunung berapi paling ikonik di Indonesia. Gunung Semeru yang terletak di Provinsi Jawa Timur, berada di antara dua wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Secara geografis, Gunung Semeru terletak pada koordinat antara 7°51’ - 8°11’ Lintang Selatan dan 112°47’ - 113°10’ Bujur Timur. Keberadaannya sebagai salah satu gunung berapi aktif di Pulau Jawa membuat Gunung Semeru tidak hanya menarik dari segi keindahan alamnya, tetapi juga sebagai objek studi geologi dan vulkanologi.

Keunikan Gunung Semeru terletak pada puncaknya Mahameru, yang sering terlihat dari kejauhan dengan bentuk kerucut yang sempurna, terutama jika dilihat dari Kota Malang. Namun, realitas di lapangan sedikit berbeda. Ketika mencapai puncak Mahameru, pendaki akan mendapati bahwa puncak ini berbentuk kubah luas dengan medan yang beralun di setiap sisi tebingnya. Kawasan puncak ini juga menjadi lokasi kawah aktif yang dikenal dengan nama Kawah Jonggring Saloko. Pada tahun 1913 dan 1946, kawah ini mengalami letusan besar yang menyebabkan tepi kawah runtuh. Aliran lava yang dihasilkan dari letusan ini mengalir ke arah selatan, melintasi daerah Pasirian, Candipura, hingga Lumajang.

Gunung Semeru adalah bagian dari formasi Pegunungan Jambangan, yang merupakan gunung api termuda di kawasan tersebut. Meskipun tergolong muda, Semeru telah berkembang menjadi stratovulkan besar yang terpisah. Aktivitas vulkanik gunung ini masih terus berlanjut hingga kini, dengan letusan yang kerap terjadi dan material vulkanik yang keluar berupa abu, lava blok tua, serta bom lava muda. Selain itu, aktivitas vulkanik ini juga sering disertai dengan material lahar yang bercampur dengan air hujan atau aliran sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya longsoran pada bagian kerucut gunung, yang kemudian diikuti oleh guguran lava dan aliran lahar panas yang bisa berbahaya bagi kawasan sekitar.

Adapun kondisi alam yang ekstrem ini menjadikan pendakian ke Mahameru sebagai pengalaman yang penuh tantangan dan risiko. Namun, di balik tantangan tersebut, Mahameru menawarkan keindahan alam yang luar biasa, dari pemandangan matahari terbit yang spektakuler hingga lanskap kawah yang eksotis. Mahameru tidak hanya menjadi tujuan bagi para pendaki gunung, tetapi juga menjadi simbol spiritual dan budaya bagi masyarakat sekitar, terutama mereka yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Gunung ini memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam, serta menjadi salah satu destinasi alam paling ikonik di Indonesia.

3 dari 4 halaman

Legenda Seputar Mahameru

Legenda Gunung Semeru merupakan salah satu kisah mitologis yang hidup dalam kepercayaan masyarakat Jawa, di mana berasal dari kitab kuno Tantu Pagelaran yang ditulis pada abad ke-15. Menurut cerita tersebut, pada zaman dahulu kala, Pulau Jawa tidak stabil dan terus berguncang karena mengambang di atas lautan luas. Para dewa khawatir dengan keadaan ini dan memutuskan untuk mencari cara agar pulau tersebut tidak lagi berguncang. Salah satu langkah yang diambil adalah memindahkan Gunung Meru, yang terletak di India, ke Pulau Jawa untuk menstabilkan daratan. Dalam mitologi ini, Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa yang mampu menggendong Gunung Meru di punggungnya, sementara Dewa Brahma mengambil wujud seekor ular panjang. Ular tersebut melilitkan tubuhnya di sekitar Gunung Meru dan badan kura-kura, memastikan bahwa gunung itu dapat dipindahkan dengan aman tanpa jatuh atau bergeser selama perjalanan. Bersama-sama, kedua dewa ini memulai tugas besar untuk membawa Gunung Meru dari India ke Pulau Jawa.

Sesampainya di Pulau Jawa, para dewa memutuskan untuk meletakkan gunung tersebut di bagian barat pulau. Namun, ternyata Gunung Meru terlalu berat, sehingga bagian timur Pulau Jawa terangkat dan menyebabkan ketidakseimbangan. Untuk memperbaiki hal ini, para dewa memindahkan gunung tersebut ke bagian timur Pulau Jawa. Saat mereka memindahkannya, serpihan dari Gunung Meru jatuh di sepanjang pulau, menciptakan jajaran pegunungan yang membentang dari barat hingga ke timur Pulau Jawa. Meskipun gunung telah dipindahkan ke timur, Pulau Jawa masih tetap miring. Untuk menyeimbangkannya, para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari Gunung Meru dan menempatkannya di bagian barat laut pulau. Potongan gunung ini kemudian menjadi Gunung Pawitra, yang saat ini dikenal sebagai Gunung Penanggungan. Sementara itu, bagian utama Gunung Meru yang tersisa kini dikenal sebagai Gunung Semeru, yang diyakini menjadi tempat bersemayamnya Dewa Shiwa. Dalam legenda ini juga disebutkan bahwa ketika Sang Hyang Shiwa datang ke Pulau Jawa, ia melihat banyak pohon Jawawut tumbuh di sana, sehingga pulau tersebut dinamakan "Jawa."

Kepercayaan tentang Gunung Semeru atau Mahameru, memiliki kaitan erat dengan simbol-simbol agama Hindu. Dalam ajaran Hindu, Gunung Meru diyakini sebagai pusat alam semesta dan tempat tinggal para dewa. Gunung ini dianggap sebagai jembatan penghubung antara bumi, tempat manusia hidup, dengan Kayangan, dunia para dewa. Oleh karena itu, banyak masyarakat Jawa dan Bali yang hingga kini masih menganggap gunung sebagai tempat sakral yang dihuni oleh para dewa, Hyang, dan makhluk halus. Bagi masyarakat Bali, Gunung Mahameru juga memiliki peranan penting dalam kepercayaan mereka. Gunung ini dianggap sebagai "bapak" dari Gunung Agung di Bali, yang juga memiliki makna spiritual dan religius. Masyarakat Bali mempersembahkan upacara sesaji kepada dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Mahameru sebagai bentuk penghormatan. Meski upacara ini hanya diadakan setiap 8 hingga 12 tahun sekali, hal tersebut dilakukan saat masyarakat Bali merasa telah menerima panggilan atau suara gaib dari para dewa Gunung Mahameru. Selain upacara sesaji, masyarakat Bali juga sering mengunjungi daerah Gua Widodaren untuk mengambil tirta suci, air yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual.

4 dari 4 halaman

Topografi dan Iklim Mahameru

Topografi cekungan yang mendominasi wilayah Gunung Semeru sering kali menyebabkan terjadinya angin siklus. Angin yang berhembus di kawasan ini berkaitan erat dengan pola angin yang ada di sekitarnya, seperti Angin Tenggara atau Angin Gending, Angin Timur Laut, dan Angin Barat Laut. Pola angin ini memainkan peran penting dalam memengaruhi kondisi cuaca di area tersebut, terutama di ketinggian gunung. Kecepatan angin di kawasan Gunung Semeru bervariasi, namun umumnya cukup kuat, berkisar antara 8 hingga 30 knots. Kecepatan ini terutama terjadi pada musim angin kencang yang berlangsung antara bulan Desember hingga Februari. Pada periode ini, sering terjadi insiden pohon tumbang akibat angin yang begitu kuat. Oleh karena itu, pendakian ke Gunung Semeru sangat tidak disarankan pada musim tersebut untuk menghindari risiko bahaya yang mungkin timbul, baik dari angin maupun dari kondisi alam yang ekstrem.

Kabut tebal adalah fenomena yang umum ditemui sepanjang jalur pendakian Gunung Semeru, terutama pada pagi, sore, hingga malam hari. Daerah Ranu Kumbolo dan Kalimati, yang sering menjadi tempat peristirahatan atau bermalam para pendaki, selalu diselimuti kabut tebal. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh suhu udara yang rendah dan proses kondensasi, tetapi juga diperburuk oleh angin yang berhembus di daerah tersebut. Angin membawa kabut dari lembah-lembah sekitarnya, membuat visibilitas menurun drastis, sehingga pendaki perlu waspada. Khusus di Ranu Kumbolo, danau yang cukup luas di area tersebut turut mendukung terbentuknya kabut yang lebih tebal. Proses penguapan air danau yang terus berlangsung menciptakan kabut tipis yang sering kali bertambah pekat saat suhu menurun di pagi dan sore hari. Ini menambah suasana mistis dan indah di kawasan Ranu Kumbolo, tetapi juga menuntut kesiapan fisik dan mental bagi pendaki yang berencana bermalam di area ini.

Secara keseluruhan, kondisi iklim di Gunung Semeru dan sekitarnya dikategorikan dalam tipe iklim B berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson. Curah hujan di wilayah ini sangat bervariasi, mulai dari 927 mm hingga 5.498 mm per tahun, dengan rata-rata hari hujan mencapai 136 hari per tahun. Musim hujan di kawasan ini biasanya berlangsung antara bulan November hingga April, dimana pada periode tersebut, pendakian menjadi semakin menantang karena kondisi alam yang lebih lembap dan licin. Suhu udara di puncak Gunung Semeru atau Mahameru selama musim hujan bisa mencapai kisaran 2 hingga 4 derajat Celsius. Suhu yang sangat dingin ini, ditambah dengan kabut dan angin yang terus berhembus, menuntut para pendaki untuk mempersiapkan peralatan yang memadai agar tetap aman dan nyaman selama perjalanan mereka. Kondisi cuaca di puncak Semeru, terutama pada bulan-bulan tersebut, membuat pendakian menjadi lebih berat dan berisiko, namun juga menawarkan pengalaman petualangan yang tidak terlupakan bagi para pencinta alam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.