Sukses

Korban Banjir Bandang Libya: Ketika Alam dan Kelalaian Manusia Memakan Ribuan Korban

Nasib korban banjir bandang Libya menjadi sorotan dunia.

Liputan6.com, Jakarta Banjir bandang yang melanda Libya pada September 2023 telah menyisakan duka mendalam bagi masyarakat setempat dan dunia internasional. Korban banjir bandang Libya bukan hanya angka, tapi juga cerminan dari sebuah tragedi kemanusiaan yang seharusnya bisa dicegah. Ribuan nyawa melayang, puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur vital hancur dalam sekejap mata, menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan alam yang diperparah oleh kelalaian manusia.

Nasib korban banjir bandang Libya menjadi sorotan dunia, mengungkap berbagai permasalahan yang telah lama mengakar di negara tersebut. Dari sistem peringatan dini yang tidak memadai hingga infrastruktur yang rapuh, tragedi ini membuka mata dunia akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana dan tata kelola pemerintahan yang baik. Korban banjir bandang Libya bukan hanya mereka yang tewas atau hilang, tapi juga mereka yang selamat namun harus menghadapi perjuangan panjang untuk membangun kembali kehidupan mereka dari nol.

Memahami situasi korban banjir bandang Libya menjadi penting tidak hanya sebagai bentuk solidaritas, tetapi juga sebagai pelajaran berharga bagi negara-negara lain dalam menghadapi ancaman bencana alam di era perubahan iklim. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang tragedi yang menimpa korban banjir bandang Libya, mulai dari kronologi kejadian, dampak bencana, hingga upaya pemulihan dan pertanggungjawaban yang dituntut oleh berbagai pihak.

Berikut ini telah Liputan6.com rangkum, berikut ini telah Liputan6.com rangkum kronologi lengkapnya, pada Rabu (11/9/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kronologi Bencana: Ketika Peringatan Diabaikan

Banjir bandang yang melanda Libya, khususnya kota Derna di bagian timur negara tersebut, pada September 2023 bukanlah bencana yang datang tanpa peringatan. Badai Daniel yang menjadi pemicu bencana ini sebenarnya telah diprediksi jauh sebelum menghantam wilayah Libya. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan bahwa Pusat Meteorologi Nasional Libya telah mengeluarkan peringatan 72 jam sebelum badai tiba dan mendesak "semua otoritas pemerintah" melalui email dan media untuk "mengambil tindakan pencegahan dan lebih berhati-hati."

Namun, respons terhadap peringatan ini tampaknya tidak memadai dan tidak terkoordinasi dengan baik. Meskipun pemerintah bagian timur menyatakan keadaan darurat dan mantan Walikota Derna, Abdelmonem al-Ghaithi, pada 9 September menginstruksikan evakuasi beberapa lingkungan, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mencegah tragedi yang akan terjadi. Bahkan, pada 10 September, Direktorat Keamanan Derna justru memerintahkan pemberlakuan jam malam penuh dari pukul 07.00 hingga 08.00 keesokan harinya, dengan hanya toko roti, apotek, SPBU, dan pusat medis yang diizinkan tetap buka.

Keputusan ini secara efektif menjebak warga di jalur banjir yang akan datang. Situasi semakin diperparah ketika pada pukul 01.12 dini hari, Kementerian Sumber Daya Air meyakinkan penduduk yang berada di bawah jam malam bahwa semua bendungan di Derna telah diperiksa dan dalam kondisi baik. Namun, hanya beberapa jam kemudian, pada pukul 02.59, kementerian mengumumkan bahwa bendungan telah mencapai kapasitasnya dan akan menimbulkan risiko banjir bagi masyarakat di hilir, menyerukan evakuasi mereka.

Sayangnya, pada saat itu bendungan sebenarnya sudah runtuh pada pukul 02.40 dan 02.50, dan jaringan komunikasi di Derna terganggu. Ketika peringatan akhirnya dikeluarkan, sudah terlambat untuk mengevakuasi penduduk sebelum banjir datang.

3 dari 5 halaman

Dampak Bencana: Kehancuran dan Duka yang Mendalam

Banjir bandang yang melanda Libya, terutama kota Derna, menyebabkan kehancuran yang luas dan menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, setidaknya 4.352 orang tewas dan lebih dari 43.000 orang mengungsi akibat bencana ini. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 8.000 orang masih dinyatakan hilang. Angka-angka ini menunjukkan besarnya skala tragedi yang menimpa masyarakat Libya.

Kehancuran fisik yang ditimbulkan oleh banjir bandang ini sangat luas. Seluruh lingkungan tersapu bersih oleh air bah, infrastruktur kritis seperti sistem pembuangan air dan air bersih rusak parah dan belum diperbaiki. Fasilitas kesehatan juga tidak luput dari dampak bencana, dengan rumah sakit utama mengalami kerusakan, menyisakan hanya satu rumah sakit yang berfungsi sebagian. Sektor pendidikan juga terkena dampak, dengan banyak sekolah yang rusak dan sebagian masih digunakan untuk menampung keluarga yang mengungsi.

Bencana ini tidak hanya merenggut nyawa dan menghancurkan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam bagi para penyintas. Kehilangan anggota keluarga, rumah, dan mata pencaharian dalam sekejap mata telah menciptakan trauma kolektif yang akan membutuhkan waktu lama untuk pulih. Proses pencarian dan identifikasi korban yang masih hilang juga menambah beban emosional bagi keluarga yang ditinggalkan, menciptakan ketidakpastian yang menyiksa.

 

Faktor Penyebab: Perpaduan Antara Bencana Alam dan Kelalaian Manusia

Tragedi yang menimpa korban banjir bandang Libya bukan semata-mata disebabkan oleh kekuatan alam yang tak terkendali. Sebuah kelompok ilmuwan menegaskan bahwa ketidakstabilan politik dan kegagalan dalam memelihara infrastruktur dengan baik, termasuk bendungan, telah memperparah dampak badai. Mereka menemukan bahwa sistem peringatan dini, kemampuan untuk memberikan prakiraan yang akurat, dan strategi respons krisis yang bisa diterapkan "tidak memadai" karena kurangnya "tata kelola yang kohesif untuk pencegahan bencana dan manajemen risiko."

Kekhawatiran tentang kondisi dua bendungan yang runtuh sebenarnya sudah ada sejak lama. Insinyur Libya telah memperingatkan adanya "kerentanan" pada kedua bendungan tersebut yang tidak ditangani sejak kerusakan akibat banjir pada tahun 1986. Sebuah studi hidrologi pada tahun 2022 bahkan telah mengklasifikasikan Cekungan Wadi Derna sebagai "berisiko tinggi" terhadap banjir dan menemukan "pengelolaan sumber daya air yang buruk" serta fakta bahwa "banjir berulang dari waktu ke waktu telah menjadi ancaman konstan bagi penduduk lembah dan kota Derna."

Studi tersebut merekomendasikan agar pihak berwenang "mengambil tindakan segera untuk melakukan pemeliharaan berkala terhadap bendungan yang ada karena jika terjadi banjir besar, hasilnya akan menjadi bencana bagi penduduk lembah dan kota," dan mengatakan bahwa pihak berwenang harus membuat penduduk di hilir "sadar akan bahaya banjir dan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk keselamatan mereka." Sayangnya, rekomendasi ini tampaknya tidak diindahkan, menambah daftar kelalaian yang berkontribusi pada besarnya jumlah korban banjir bandang Libya.

4 dari 5 halaman

Respons dan Penyelidikan: Mencari Keadilan di Tengah Kekacauan

Pasca bencana, berbagai pihak menuntut adanya penyelidikan independen untuk mengkaji kegagalan pihak berwenang Libya dalam mengelola banjir bandang yang katastrofik ini. Human Rights Watch menyerukan agar penyelidikan tersebut dilakukan untuk menentukan penyebab hilangnya nyawa dalam jumlah besar dan membuka jalan bagi pertanggungjawaban. Organisasi-organisasi Libya juga telah menyuarakan hal serupa, mempertanyakan kegagalan pihak berwenang dalam memberikan pemeliharaan yang memadai terhadap infrastruktur yang sudah tua, termasuk dua bendungan yang runtuh, meskipun telah lama ada kekhawatiran tentang kondisinya.

Pada 25 September, jaksa umum memanggil pejabat untuk diinterogasi dan membuka penyelidikan pidana terhadap 16 pejabat terkait pengelolaan dan pemeliharaan bendungan yang runtuh. Empat orang dilaporkan ditahan tetapi belum didakwa, termasuk Walikota al-Ghaithi, yang ditahan oleh Departemen Investigasi Kriminal di Benghazi bersama dengan dua pejabat lainnya. Seorang pejabat lainnya ditahan di Tripoli. Namun, hingga saat ini, jaksa umum belum mengumumkan temuan dari penyelidikan terhadap bencana tersebut.

Sementara itu, upaya rekonstruksi dan kompensasi bagi mereka yang terkena dampak badai telah diperumit oleh perpecahan politik yang mendalam antara dua pemerintahan yang bersaing di Libya. Kedua pemerintahan tersebut telah membentuk dana rekonstruksi untuk Derna dan Libya timur. Pemerintah bagian timur melaporkan telah mendistribusikan dana bantuan satu kali kepada 7.623 keluarga yang terkena dampak di 17 kotamadya di Libya timur, dengan total pembayaran sebesar 177.790.000 LYD (sekitar Rp 592,6 miliar), dan kepada 1.868 penerima di Derna, dengan total pembayaran sebesar 103.810.000 LYD (sekitar Rp 345,7 miliar), per 29 November.

 
5 dari 5 halaman

Pembelajaran dan Langkah Ke Depan: Membangun Kembali dengan Lebih Baik

Tragedi yang menimpa korban banjir bandang Libya harus menjadi pelajaran berharga, tidak hanya bagi Libya sendiri tetapi juga bagi negara-negara lain yang menghadapi risiko bencana serupa. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa dengan pemanasan global, mereka memperkirakan akan terjadi "lebih banyak peristiwa hujan ekstrem, yang menyebabkan banjir yang lebih parah." Ini menegaskan pentingnya kesiapsiagaan bencana dan sistem peringatan dini yang efektif.

Untuk Libya, tantangan ke depan tidak hanya terletak pada upaya rekonstruksi fisik, tetapi juga pada reformasi tata kelola dan sistem manajemen bencana. Diperlukan investasi yang signifikan dalam infrastruktur yang tahan bencana, sistem peringatan dini yang lebih baik, dan peningkatan koordinasi antar lembaga pemerintah. Selain itu, edukasi masyarakat tentang risiko bencana dan langkah-langkah mitigasi juga harus menjadi prioritas.

Komunitas internasional juga memiliki peran penting dalam mendukung upaya pemulihan dan pembangunan kembali Libya. Bantuan teknis dan finansial akan sangat diperlukan, terutama mengingat kompleksitas situasi politik di negara tersebut. Namun, bantuan ini harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang kuat untuk memastikan bahwa dana dan sumber daya digunakan secara efektif dan transparan.

Akhirnya, kisah korban banjir bandang Libya harus terus diingat sebagai pengingat akan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan. Ini juga menjadi panggilan bagi seluruh dunia untuk lebih serius dalam menangani perubahan iklim dan dampaknya terhadap frekuensi dan intensitas bencana alam. Hanya dengan pembelajaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat berharap untuk mencegah tragedi serupa di masa depan dan membangun masyarakat yang lebih tangguh menghadapi tantangan alam.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.