Liputan6.com, Jakarta Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, adalah salah satu tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat ini bukan hanya sekadar seorang politisi dan pejuang, melainkan juga seorang pemikir brilian yang memberikan kontribusi besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Perannya bagi Indonesia membuat gambar Moh Hatta dapat dengan mudah ditemui di dalam buku-buku sejarah Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Hatta, bersama dengan Soekarno, dikenal sebagai Bapak Proklamator yang menjadi tokoh sentral dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Peran ini menempatkannya dalam jajaran tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia, sehingga gambar Moh Hatta dapat ditemukan di berbaga media.
Tidak hanya dikenal sebagai Bapak Proklamator, Mohammad Hatta juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pandangan ekonominya yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat jelata membuatnya mendorong perkembangan koperasi sebagai model ekonomi yang adil dan inklusif. Hatta melihat koperasi sebagai cara untuk memberdayakan ekonomi rakyat agar mereka bisa terbebas dari penindasan ekonomi yang dirasakan selama penjajahan Belanda. Berikut gambar Moh Hatta dan kisah hidupnya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (12/9/2024).
Cikal Bakal Pemikir Besar dan Pemimpin Bangsa
Dr. (H.C) Drs. H. Mohammad Hatta, yang kelak dikenal sebagai salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada masa penjajahan kolonial Belanda. Lahir di tengah kondisi bangsa yang terjajah, Hatta tumbuh dengan karakter yang kuat, tekun, dan cerdas.
Sejak kecil, ia sudah menunjukkan sifat-sifat yang akan menjadi ciri khasnya di kemudian hari: kedisiplinan, ketekunan, serta semangat belajar yang tinggi. Selain dikenal tekun dalam hal belajar, Hatta juga dikenal sangat disiplin dalam mengaji dan menjalankan ajaran agamanya, memperlihatkan sisi religius yang kuat sejak usia dini.
Meski dibesarkan dalam lingkungan yang sederhana, Hatta menunjukkan kerendahan hati dan kedalaman pemikiran yang menonjol. Hal ini tercermin dalam pandangan budayawan Indonesia, Nurcholish Madjid, yang menyebut Hatta sebagai sosok yang rendah hati, sederhana, namun memiliki wawasan yang luas. Seiring waktu, Hatta muda tidak hanya tumbuh menjadi seorang yang religius, tetapi juga berkembang menjadi pribadi yang modern, mampu menyeimbangkan nilai-nilai tradisional dan pemikiran yang progresif.
Di luar dunia pendidikan dan pemikiran, ternyata Hatta kecil juga memiliki kecintaan terhadap olahraga, khususnya sepak bola. Tidak banyak yang tahu bahwa di balik ketenangannya sebagai pemikir, Hatta merupakan seorang pemain sepak bola yang berbakat. Sebagai seorang remaja, Hatta bahkan pernah bergabung dengan klub sepak bola lokal di Padang yang bernama Young Fellow.
Pada klub bola tersebut Hatta bermain sebagai gelandang tengah. Ia dikenal sebagai gelandang yang tangguh dan sulit ditembus. Bahkan, pemain-pemain Belanda yang sering bermain bersamanya pun terkesan dengan kemampuan bertahannya.
Advertisement
Perjuangan Menuju Kemerdekaan
Bung Hatta tidak hanya dikenal sebagai seorang wakil presiden pertama Indonesia atau Bapak Koperasi, tetapi juga sebagai seorang pemikir besar yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur tanpa kekerasan. Kesadaran politik Hatta mulai tumbuh sejak masa mudanya, ketika ia masih menjadi seorang pelajar yang religius dan modern. Saat itu, ia sudah sering menghadiri ceramah dan pertemuan-pertemuan politik yang diadakan oleh tokoh-tokoh politik lokal di Padang, tempat ia dibesarkan.
Bung Hatta adalah seorang pembaca yang luar biasa. Minatnya yang mendalam terhadap berbagai literatur dan gagasan para pemikir dunia menjadikannya sosok dengan kedalaman pemikiran yang tajam. Sejak remaja, ia sudah menggeluti berbagai buku untuk mencari format ideal bagi tatanan negara yang diimpikannya, sebuah negara yang sejahtera, adil, dan makmur.
Hatta tidak hanya menyimpan gagasannya dalam kepala, ia mulai menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Salah satu tulisan pertamanya, "Namaku Hindania!" diterbitkan di majalah Jong Sumatra saat usianya baru 18 tahun. Cerpen ini, yang mengandung personifikasi bangsa Indonesia yang menunjukkan ketertarikannya pada sastra dan kecintaannya pada tanah air.
Perjalanan Hatta berlanjut ketika ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Bisnis Rotterdam, Belanda, pada tahun 1921. Berada di Belanda, Hatta semakin aktif dalam dunia politik. Ia bergabung dengan Indische Vereeniging, sebuah perhimpunan mahasiswa Hindia Belanda yang semula bersifat sosial. Di bawah kepemimpinannya, perhimpunan ini berubah menjadi gerakan politik perlawanan.
Hatta bersama teman-temannya juga menerbitkan majalah Indonesia Merdeka, yang menampilkan tulisan-tulisan kritis terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Tulisan-tulisan ini, yang tersebar luas hingga ke berbagai negara berkat kemampuan bahasa Hatta yang fasih dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, membuat pemerintah Belanda merasa terusik.
Pada tahun 1927, pemerintah Belanda menahan Bung Hatta karena aktivitas politiknya yang dianggap mengancam stabilitas kolonial. Namun, penahanan ini tidak membuatnya gentar. Di dalam penjara, ia tetap menulis, dan dari sana lahirlah pidato terkenalnya, "Indonesia Merdeka," yang dibacakan di hadapan pengadilan.
Pidato ini berlangsung selama tiga setengah jam, berisi kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda dan memaparkan argumen kuat mengenai hak Indonesia untuk merdeka. Dengan keberanian dan kecerdasannya, Bung Hatta menunjukkan bahwa perjuangan melalui pena dan gagasan bisa lebih kuat daripada senjata.
Setelah menyelesaikan studinya di Belanda, Hatta kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Sutan Sjahrir. Bersama Sjahrir, ia mendirikan partai politik Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang fokus pada pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat. Namun, aktivitas politiknya kembali membuat pemerintah kolonial gelisah, dan pada tahun 1934, ia diasingkan ke Boven Digoel, sebuah daerah terpencil di Irian, bagian timur Indonesia. Di pengasingan, Hatta tetap produktif dengan membawa 16 peti penuh buku "amunisi" untuk memperkuat pemikiran dan strategi perlawanan non-kekerasannya.
Meski berada di pengasingan, tulisan-tulisan Hatta terus terbit di koran-koran di Batavia (Jakarta) dan Den Haag, Belanda. Gagasannya membakar semangat anak-anak muda bangsa untuk terus melawan dan memperjuangkan kemerdekaan. Strateginya yang mengedepankan kekuatan tulisan dan pemikiran dalam memperjuangkan kemerdekaan menjadi bukti bahwa perubahan bisa terjadi tanpa kekerasan. Seperti Mahatma Gandhi, Hatta memilih jalur perjuangan damai yang mengandalkan kekuatan intelektual dan diplomasi.
Janji, Cinta, dan Kesetiaan pada Bangsa
Mohammad Hatta, selain dikenal sebagai seorang negarawan besar dan proklamator kemerdekaan Indonesia, juga memiliki sisi kehidupan pribadi yang menarik. Salah satu kisah yang paling menonjol dari kehidupan pribadinya adalah janjinya untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka.
Janji ini menunjukkan betapa besar komitmen Hatta terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa. Baginya, kemerdekaan Indonesia adalah prioritas utama yang harus diwujudkan sebelum memikirkan kehidupan pribadinya. Janji ini ia tepati dengan luar biasa; Hatta baru melamar perempuan pilihannya, Rahmi Rahim, tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Kisah cinta Hatta dan Rahmi pun penuh dengan nuansa intelektual dan romantisme yang sederhana namun mendalam. Ketika melamar Rahmi, Hatta memberikan mahar yang sangat unik dan mencerminkan jati dirinya sebagai seorang intelektual. Emas kawin yang ia hadiahkan kepada calon istrinya bukanlah perhiasan mahal, melainkan sebuah buku tulisannya sendiri yang berjudul "Alam Pikiran Yunani." Buku ini, yang menggambarkan pemikiran filsafat Yunani kuno, menjadi simbol dari kecintaan Hatta terhadap ilmu pengetahuan dan juga sebagai tanda penghargaan terhadap Rahmi yang dipilihnya sebagai pendamping hidup.
Pilihan Hatta untuk memberikan buku sebagai mahar mencerminkan kepribadiannya yang sederhana dan intelektual. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat berharga, bahkan dalam konteks pernikahan. Keputusannya ini juga menunjukkan bahwa ia ingin berbagi sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya dengan orang yang dicintainya.
Advertisement
Peninggalan Mohammad Hatta
Mohammad Hatta tidak hanya meninggalkan jejak perjuangan politik yang menginspirasi, tetapi juga warisan intelektual yang sangat berharga bagi bangsa. Ketika Hatta wafat pada tahun 1980, ia meninggalkan perpustakaan pribadi yang luar biasa, berisi sekitar 30 ribu judul buku. Koleksi buku-buku ini mencerminkan ketekunan Hatta dalam belajar, membaca, dan menulis sepanjang hidupnya.
Perpustakaan pribadi Hatta adalah cerminan dari sosoknya yang begitu langka sebagai pemimpin bangsa: seseorang yang memiliki integritas, kesederhanaan, dan dedikasi terhadap ilmu pengetahuan. Dalam koleksi bukunya, Hatta mengumpulkan berbagai literatur dari beragam topik, mulai dari filsafat, ekonomi, politik, sejarah, hingga sastra. Ini menunjukkan luasnya wawasan dan ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan yang menjadikannya pemikir dan pemimpin yang visioner.
Warisan ini tidak hanya berharga dari segi jumlah dan kualitas buku yang terkandung di dalamnya, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi generasi muda untuk terus belajar dan memperkaya pengetahuan. Perpustakaan ini menjadi saksi bisu dari perjalanan intelektual Hatta yang penuh dedikasi, mulai dari masa mudanya hingga ia menjadi salah satu tokoh utama dalam sejarah Indonesia.